Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat
Acara yang selesai menyisakan mama dan papa Alca dan Dima saja. Mereka masih mengobrol banyak hal. “Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Al. Lagi pula rumah ini kosong nanti jika Ale kamu bawa pulang ke rumah.” Mama Mauren memberitahu keponakannya itu. Ale juga berniat untuk tinggal di rumah Dima. Lebih mudah dirinya yang pindah, dibanding Ale yang pindah. “Al, kalau bisa jangan sampai kamu melakukan hubungan suami istri sebelum Ale melahirkan.” Papa Adriel memberitahu anaknya. Mengingat Ale mengandung anak Dima, haram bagi Alca menyentuh Ale. Dahi Alca berkerut dalam, diiringi dengan alis yang bertautan. Dia benar-benar tidak berpikir hal itu. “Aku tidak akan melakukannya, Pa,” jawab Ale malas. “Bagus kalau begitu.” Papa Adriel merasa jauh lebih tenang karena Alca tidak akan melakukan hal yang dilarang. “Kalau begitu kami pulang dulu.” Papa David berpamitan. “Besok akan ada orang yang akan merapikan dekorasi ini.” Dia memberitahu Alca sambil berpamitan. Alca pun mengangguk. B
“Tidak.” Alca menjawab sambil berlalu pergi.Mendapati jawaban itu, membuat Ale terpaku. Apalagi Alca pergi begitu saja. Ale mengalihkan pandangan pada makanan yang dibuatnya, tak tersentuh sama sekali. Padahal, dia membuat masakan cukup banyak.Ale mengembuskan napasnya. Dia masih terus bertanya dalam hatinya, ‘kenapa Alca terus bersikap seperti itu padanya?’ Jika boleh jujur, pernikahan ini pun bukan keinginannya, lalu kenapa dirinya yang jadi pelampiasan kemarahan.“Mungkin dia masih butuh adaptasi.” Ale berusaha untuk berpikir positif. Berusaha untuk tetap kuat dengan sikap Alca. Berharap setelah mereka tinggal bersama cukup lama, mungkin Alca akan berubah.Ale pun memilih untuk segera kembali ke meja makan. Menikmati makanan yang tadi dibuatnya.“Aku pikir setelah ada orang di rumah ini, aku tidak akan makan sendirian.” Ale tersenyum tipis ketika dia bergumam sendiri. Ternyata dia tetap makan sendiri, walaupun ada Alca di rumah.Seharian Alca menikmati waktu di rumah dengan memba
Ale segera berdiri ketika mendengar suara mobil. Menyambut kedatangan Alca. “Kak Alca mau aku siapkan makan sekarang?” Ale segera melemparkan pertanyaan itu saat Alca baru saja masuk.Alca melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukan jam delapan. “Kamu belum makan?” tanyanya.“Aku sudah makan.” Ale tadi memang sengaja makan lebih dulu. Jika makan berat saat malam, dia merasa perutnya tidak enak. Jadi dia makan tepat jam tujuh. Sisanya, dia akan makan buah.“Jika kamu sudah makan, tidak perlu kamu siapkan. Aku mau langsung tidur, jadi tidak makan.” Selesai bicara Ale segera berlalu ke lantai atas. Seperti biasa, dia mengabaikan Ale.Ale hanya bisa mengembuskan napas. Sepertinya Ale sudah mulai terbiasa diabaikan oleh Alca. Apalagi ditolak Alca.“Aku hanya ingin bersikap baik, tetapi sepertinya Kak Alca masih belum bisa menerima.” Di saat Ale sudah mulai berdamai dengan keadaan, Alca justru terus masih kesal dengan Ale. Karena Alca tidak mau makan, akhirnya Ale memi
Setelah tahu jika mama mertuanya itu membawanya ke mal, Ale segera bersiap. Dia pergi bersama sang mama dengan mobil dan supir keluarga Janitra. Ale memang kehilangan Dima, tetapi tidak kehilangan mertuanya. Walaupun, perhatian itu didapat karena adanya anaknya, paling tidak Ale mendapatkan kasih sayang dari mertuanya itu juga.“Kapan kamu cek kandungan lagi?” Mama Mauren menatap Ale ketika sedang asyik memilih baju bayi.“Dua minggu lagi, Ma.” Ale menjelaskan pada Mama Mauren. Dua minggu lagi usia kandungannya menginjak enam bulan. Jadi dia akan memeriksakannya.“Alca tidak pernah ikut memeriksakan kandungannya, coba minta dia untuk ikut juga memeriksakan kandungan. Apalagi sekarang kalian sudah menikah.” Mama Mauren mencoba memberitahu Ale. Memang baru saja mereka menikah. Jadi Alca paling tidak harus mengambil peran dalam tumbuh peran keponakannya, apalagi sekarang dia adalah ayahnya.“Aku akan coba mengatakannya nanti pada Kak Alca, Ma.” Ale sendiri tidak tahu akan berani mengataka
Alca turun ke lantai bawah. Dilihatnya makanan di atas meja. Ale tidak pernah berhenti menyiapkan makanan, meskipun dirinya tidak makan. Hal itu membuatnya heran.Alca jelas tidak akan mau makan. Dia tidak akan memberikan kesempatan Ale untuk mendekatinya. Alca tidak mau terjebak dalam rencana licik Ale.Seperti biasa, Alca memilih untuk berangkat bekerja tanpa sarapan. Dia lebih memilih sarapan di kantor dibanding harus sarapan bersama Ale. Alca melajukan mobilnya meninggalkan komplek. Dari kejauhan dilihatnya Ale yang sedang berjalan di pinggir jalan. Alca pikir, Ale masih di kamarnya seperti biasa, tetapi ternyata Ale berada di luar.“Mau ke mana dia?” Alca merasa heran. Mau ke mana gerangan perginya istrinya itu.Alca yang penasaran memilih untuk menghentikan mobilnya. Dia ingin tahu ke mana gerangan sang istri pergi.Alca menurunkan kaca mobilnya. “Mau ke mana kamu?” tanyanya.Ale terkejut ketika melihat mobil berhenti di sampingnya. Saat melihat mobil tersebut, dia sudah tahu mo
“Iya karena aku tidak bisa membawanya. Ini besar sekali. Jadi jelas aku tidak bisa membawanya.” Ale merasa jika memang labunya cukup besar. Jadi jelas dia tidak bisa membawanya. Alca mengembuskan napasnya. Merasa sedikit kesal karena ternyata mengantarkan Ale ke pasar membuatnya harus membantunya juga. “Baiklah,” jawab Alca ketus. Dia segera mengangkat labu tersebut. Alangkah terkejutnya Alca jika labu tersebut begitu berat sekali. Dia tidak menyangka jika akan seberat itu. Namun, Alca juga tidak bisa menyuruh Ale untuk membawa labu tersebut. Mereka sampai di mobil. Alca segera meletakkan labu tersebut di dalam mobil. Segera dia melajukan mobilnya ke rumah saat Ale sudah berada di dalam mobil. “Apa Kak Alca akan terlambat?” Ale merasa tidak enak membuat Alca terlambat bekerja. “Sudah tahu kenapa harus bertanya,” jawab Alca ketus. Pertanyaan Ale itu sudah jelas sekali jawabannya. Jadi harusnya tidak dipertanyakan. Mendapati jawaban ketus itu membuat Ale langsung diam. Dia tidak b
Alca kembali duduk. Rasa penasarannya membuat segera membuka isi dari buku yang ditemukannya itu. Terdapat tulisan "Dima Diary". Tentu saja itu menarik senyum Alca."Dima seperti wanita saja menulis diary." Alca merasa lucu sekali.Alca segera membuka buku diary milik Dima itu. Dia ingin tahu apa yang ditulis oleh Dima.Alca membaca buku diary tersebut. Terdapat hari dan tanggal di pojok kanan atas. Mata Alca membulat sempurna. Dilihatnya jika tanggal yang tertera sudah sepuluh tahun lalu. Tentu saja itu membuat Alca terperangah. Dia memikirkan bagaimana caranya seorang anak laki-laki, menulis diary sejak sekolah.Tak mau pusing memikirkan apa yang membuat Dima menulis, Alca memilih segera membacanya.Ternyata isi diary tersebut adalah pertemuannya dengan Ale. Di buku itu tertulis bagaimana Dima bertemu dengan Ale. Dima menulis jika dia melihat seorang anak gadis yang menangis. Dima menuliskan jika dia mencoba mendekati Ale untuk menenangkan gadis itu. Ternyata, apa yang dilakukannya