“Tidak.” Alca menjawab sambil berlalu pergi.Mendapati jawaban itu, membuat Ale terpaku. Apalagi Alca pergi begitu saja. Ale mengalihkan pandangan pada makanan yang dibuatnya, tak tersentuh sama sekali. Padahal, dia membuat masakan cukup banyak.Ale mengembuskan napasnya. Dia masih terus bertanya dalam hatinya, ‘kenapa Alca terus bersikap seperti itu padanya?’ Jika boleh jujur, pernikahan ini pun bukan keinginannya, lalu kenapa dirinya yang jadi pelampiasan kemarahan.“Mungkin dia masih butuh adaptasi.” Ale berusaha untuk berpikir positif. Berusaha untuk tetap kuat dengan sikap Alca. Berharap setelah mereka tinggal bersama cukup lama, mungkin Alca akan berubah.Ale pun memilih untuk segera kembali ke meja makan. Menikmati makanan yang tadi dibuatnya.“Aku pikir setelah ada orang di rumah ini, aku tidak akan makan sendirian.” Ale tersenyum tipis ketika dia bergumam sendiri. Ternyata dia tetap makan sendiri, walaupun ada Alca di rumah.Seharian Alca menikmati waktu di rumah dengan memba
Ale segera berdiri ketika mendengar suara mobil. Menyambut kedatangan Alca. “Kak Alca mau aku siapkan makan sekarang?” Ale segera melemparkan pertanyaan itu saat Alca baru saja masuk.Alca melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukan jam delapan. “Kamu belum makan?” tanyanya.“Aku sudah makan.” Ale tadi memang sengaja makan lebih dulu. Jika makan berat saat malam, dia merasa perutnya tidak enak. Jadi dia makan tepat jam tujuh. Sisanya, dia akan makan buah.“Jika kamu sudah makan, tidak perlu kamu siapkan. Aku mau langsung tidur, jadi tidak makan.” Selesai bicara Ale segera berlalu ke lantai atas. Seperti biasa, dia mengabaikan Ale.Ale hanya bisa mengembuskan napas. Sepertinya Ale sudah mulai terbiasa diabaikan oleh Alca. Apalagi ditolak Alca.“Aku hanya ingin bersikap baik, tetapi sepertinya Kak Alca masih belum bisa menerima.” Di saat Ale sudah mulai berdamai dengan keadaan, Alca justru terus masih kesal dengan Ale. Karena Alca tidak mau makan, akhirnya Ale memi
Setelah tahu jika mama mertuanya itu membawanya ke mal, Ale segera bersiap. Dia pergi bersama sang mama dengan mobil dan supir keluarga Janitra. Ale memang kehilangan Dima, tetapi tidak kehilangan mertuanya. Walaupun, perhatian itu didapat karena adanya anaknya, paling tidak Ale mendapatkan kasih sayang dari mertuanya itu juga.“Kapan kamu cek kandungan lagi?” Mama Mauren menatap Ale ketika sedang asyik memilih baju bayi.“Dua minggu lagi, Ma.” Ale menjelaskan pada Mama Mauren. Dua minggu lagi usia kandungannya menginjak enam bulan. Jadi dia akan memeriksakannya.“Alca tidak pernah ikut memeriksakan kandungannya, coba minta dia untuk ikut juga memeriksakan kandungan. Apalagi sekarang kalian sudah menikah.” Mama Mauren mencoba memberitahu Ale. Memang baru saja mereka menikah. Jadi Alca paling tidak harus mengambil peran dalam tumbuh peran keponakannya, apalagi sekarang dia adalah ayahnya.“Aku akan coba mengatakannya nanti pada Kak Alca, Ma.” Ale sendiri tidak tahu akan berani mengataka
Alca turun ke lantai bawah. Dilihatnya makanan di atas meja. Ale tidak pernah berhenti menyiapkan makanan, meskipun dirinya tidak makan. Hal itu membuatnya heran.Alca jelas tidak akan mau makan. Dia tidak akan memberikan kesempatan Ale untuk mendekatinya. Alca tidak mau terjebak dalam rencana licik Ale.Seperti biasa, Alca memilih untuk berangkat bekerja tanpa sarapan. Dia lebih memilih sarapan di kantor dibanding harus sarapan bersama Ale. Alca melajukan mobilnya meninggalkan komplek. Dari kejauhan dilihatnya Ale yang sedang berjalan di pinggir jalan. Alca pikir, Ale masih di kamarnya seperti biasa, tetapi ternyata Ale berada di luar.“Mau ke mana dia?” Alca merasa heran. Mau ke mana gerangan perginya istrinya itu.Alca yang penasaran memilih untuk menghentikan mobilnya. Dia ingin tahu ke mana gerangan sang istri pergi.Alca menurunkan kaca mobilnya. “Mau ke mana kamu?” tanyanya.Ale terkejut ketika melihat mobil berhenti di sampingnya. Saat melihat mobil tersebut, dia sudah tahu mo
“Iya karena aku tidak bisa membawanya. Ini besar sekali. Jadi jelas aku tidak bisa membawanya.” Ale merasa jika memang labunya cukup besar. Jadi jelas dia tidak bisa membawanya. Alca mengembuskan napasnya. Merasa sedikit kesal karena ternyata mengantarkan Ale ke pasar membuatnya harus membantunya juga. “Baiklah,” jawab Alca ketus. Dia segera mengangkat labu tersebut. Alangkah terkejutnya Alca jika labu tersebut begitu berat sekali. Dia tidak menyangka jika akan seberat itu. Namun, Alca juga tidak bisa menyuruh Ale untuk membawa labu tersebut. Mereka sampai di mobil. Alca segera meletakkan labu tersebut di dalam mobil. Segera dia melajukan mobilnya ke rumah saat Ale sudah berada di dalam mobil. “Apa Kak Alca akan terlambat?” Ale merasa tidak enak membuat Alca terlambat bekerja. “Sudah tahu kenapa harus bertanya,” jawab Alca ketus. Pertanyaan Ale itu sudah jelas sekali jawabannya. Jadi harusnya tidak dipertanyakan. Mendapati jawaban ketus itu membuat Ale langsung diam. Dia tidak b
Alca kembali duduk. Rasa penasarannya membuat segera membuka isi dari buku yang ditemukannya itu. Terdapat tulisan "Dima Diary". Tentu saja itu menarik senyum Alca."Dima seperti wanita saja menulis diary." Alca merasa lucu sekali.Alca segera membuka buku diary milik Dima itu. Dia ingin tahu apa yang ditulis oleh Dima.Alca membaca buku diary tersebut. Terdapat hari dan tanggal di pojok kanan atas. Mata Alca membulat sempurna. Dilihatnya jika tanggal yang tertera sudah sepuluh tahun lalu. Tentu saja itu membuat Alca terperangah. Dia memikirkan bagaimana caranya seorang anak laki-laki, menulis diary sejak sekolah.Tak mau pusing memikirkan apa yang membuat Dima menulis, Alca memilih segera membacanya.Ternyata isi diary tersebut adalah pertemuannya dengan Ale. Di buku itu tertulis bagaimana Dima bertemu dengan Ale. Dima menulis jika dia melihat seorang anak gadis yang menangis. Dima menuliskan jika dia mencoba mendekati Ale untuk menenangkan gadis itu. Ternyata, apa yang dilakukannya
“Aku ….” Alca menggantung ucapannya. Dia memikirkan menjawab apa pada papanya.“Menumpang makan?” Papa Adriel menebak apa yang anaknya akan lakukan. Terakhir anaknya datang untuk makan. Jadi dia menduga jika anaknya akan melakukan hal yang sama.Alca melirik sang papa. Entah kenapa, papanya tahu saja niatnya. Dia ingin makan masakan rumah. Jadi memilih ke rumah orang tuanya. Dari pada harus ke restoran.“Apa Ale tidak memasak, Al?” Mama Arriel menatap anaknya. Seharusnya sang anak bisa makan di rumah. Apalagi tampak Ale sudah berganti pakaian dengan pakaian santai. Artinya, anaknya itu sudah pulang ke rumah. Alca diam saja. Bingung mau menjawab apa. Ale selalu memasak. Selalu memintanya untuk makan. Namun, selalu saja dia menolak.“Jelas Ale memasak. Hanya saja anakmu ini yang tidak mau makan.” Papa Adriel pun menebak apa yang dilakukan oleh anaknya itu. Sambil menyelipkan sindiran untuk anaknya.Alca kali ini tidak bisa mengelak dengan yang dituduhkan oleh papanya. Yang dikatakan p
Suara mobil terdengar berhenti di depan. Ale yang sedang menikmati waktunya bersantai sambil membaca artikel langsung bangun untuk membuka pintu. Mengecek siapa gerangan yang datang siang ini.Saat membuka pintu, tampak Mama Arriel di balik pintu. Senyum wanita paruh baya tersebut menyambut Ale yang membuka pintu.“Mama Arriel.” Ale menyapa wanita yang kini jadi mertuanya itu.“Apa kabar?” Mama Arriel menautkan pipinya pada sang menantu.“Baik, Ma.” Ale tersenyum sambil menerima tautan pipi.Mama Arriel beralih pada perut Ale yang sudah terlihat besar. “Apa kabar dengan kandunganmu?” Mama Arriel membelai lembut perut Ale.“Baik, Ma.”Ale mempersilakan mertuanya itu untuk masuk. Mereka berdua duduk bersama di ruang keluarga. Mereka duduk sambil menikmati makanan yang disajikan oleh asisten rumah tangga.“Maaf, Mama baru bisa ke sini sekarang.” Mama Arriel merasa tidak enak. Sejak anaknya menikah, dia justru belum pernah berkunjung ke rumah. “Tidak apa-apa, Ma.” Ale tahu jika mama mert
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker