Suara mobil terdengar berhenti di depan. Ale yang sedang menikmati waktunya bersantai sambil membaca artikel langsung bangun untuk membuka pintu. Mengecek siapa gerangan yang datang siang ini.Saat membuka pintu, tampak Mama Arriel di balik pintu. Senyum wanita paruh baya tersebut menyambut Ale yang membuka pintu.“Mama Arriel.” Ale menyapa wanita yang kini jadi mertuanya itu.“Apa kabar?” Mama Arriel menautkan pipinya pada sang menantu.“Baik, Ma.” Ale tersenyum sambil menerima tautan pipi.Mama Arriel beralih pada perut Ale yang sudah terlihat besar. “Apa kabar dengan kandunganmu?” Mama Arriel membelai lembut perut Ale.“Baik, Ma.”Ale mempersilakan mertuanya itu untuk masuk. Mereka berdua duduk bersama di ruang keluarga. Mereka duduk sambil menikmati makanan yang disajikan oleh asisten rumah tangga.“Maaf, Mama baru bisa ke sini sekarang.” Mama Arriel merasa tidak enak. Sejak anaknya menikah, dia justru belum pernah berkunjung ke rumah. “Tidak apa-apa, Ma.” Ale tahu jika mama mert
Alca yang merasakan Ale demam pun segera berlalu ke dapur. Dia mengambil air untuk mengompres istrinya itu. Alca cukup panik mengingat ketika Ale sedang demam saat keadaan hamil. Tentu saja itu sangat membahayakan.Alca membawa satu wadah berisi air. Suhu air hanya normal. Karena tidak baik jika orang yang sedang panas, dikompres dengan air dingin atau bahkan panas. Dia juga mengambil handuk kecil untuk alat mengompres.Segera Alca masuk kembali ke kamar. Meletakkan wadah berisi air tadi di atas nakas. Alca memasukkan haduk kecil yang dibawanya itu untuk dibasahi, kemudian memerasnya. Handuk kecil basah tadi ditempelkan di dahi Ale. Berharap suhu tubuh Ale segera turun. Alca melakukan berulang kali. Memastikan jika suhu tubuh Ale berangsur turun. Alca jelas tidak bisa memberikan obat, mengingat Ale sedang hamil. Jadi mengompres jadi alternatif terbaik saat ini. Suhu tubuh Ale sangat tinggi, tentu saja itu membuatnya harus bersabar untuk terus mengompres. Mengulang terus agar suhu tu
Ale pikir Alca yang akan mengompresnya. Namun, ternyata bukan. Tentu saja itu membuat Ale sedikit kecewa. Ternyata pria itu tidak peduli sama sekali padanya.“Non Ale jangan lupa dimakan dulu rotinya. Bibi ke dapur dulu. Jika perlu apa-apa tinggal panggil.”’“Iya, Bi.” Asisten rumah tangga tersebut mengambil air yang berada di wadah berisi air yang Alca pakai untuk mengompres. Meninggalkan Ale di kamar sendiri.Saat menutup pintu, Bi Jani mengembuskan napas. Rasanya, tidak nyaman sekali ketika berbohong.Tadi pagi saat suhu tubuh Ale sudah reda, Alca segera keluar dari kamar. Tepat di depan kamar, Alca bertemu dengan Bi Jani yang kebetulan bersiap untuk merapikan rumah.“Den.” Bi Jani menyapa Alca. Dia cukup terkejut ketika melihat Alca keluar dari kamar Ale. Setahunya, sejak Ale dan Alca menikah, mereka tidur terpisah. Alca di lantai atas, sedangkan Ale di lantai bawah.“Bi, semalam saya mengompres Ale. Pasti dia akan bertanya siapa yang mengompres nanti saat bangun. Tolong bilang j
Seharian Ale tidur. Apalagi setelah minum obat, rasa kantuknya menghinggapi. Setelah minum obat, demam Ale pun berangsur reda. Badannya juga sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Sehingga dia bisa bangun dan duduk di ruang keluarga.“Non, ini saya buatkan teh hangat.” Bi Jani memberikan minuman hangat itu pada Ale.“Terima kasih, Bi.” Ale tersenyum sambil menerima teh yang diberikan oleh Bi Jani.Ale menikmati teh hangat yang dibuat asisten rumah tangga. Rasa hangat yang dirasakannya begitu memberikan ketenangan.Saat menikmati teh, terdengar suara mobil datang. Ale menebak jika itu adalah mobil Alca. Benar saja. Selang beberapa saat kemudian Alca masuk ke rumah.Alca meliat Ale yang sedang duduk menikmati minuman di ruang keluarga. Tampak istrinya itu sudah lebih baik karena sudah bangun dan berada di ruang keluarga.“Kamu sudah lebih baik?” Alca memilih untuk berhenti.“Sudah.” Ale menjawab singkat. Tidak sama sekali menoleh pada Alca dan fokus pada minumannya.Alca melihat reaksi
Alca meraih gagang pintu. Dengan perlahan, menarik gagang pintu ke arah bawah. Didorongnya dengan perlahan gagang pintu ke dalam dan membuat pintu terbuka. Alca melakukannya dengan pelan-pelan. Agar Ale yang berada di dalam kamar tidak terganggu.Alca melihat jelas jika Ale sedang tidur pulas. Tampak tangannya meraih sisi kosong di tempat tidur. Untuk memastikan Alca mengayunkan langkahnya untuk mendekat ke arah tempat tidur.Tepat saat di sisi Ale, Alca menempelkan punggung tangannya pada dahi Ale. Mengecek suhu tubuh sang istri. Memastikan jika istrinya itu baik-baik saja.“Sepertinya demamnya sudah benar-benar reda.” Alca mendapati jika demam yang dirasakan oleh Ale sudah reda. Dia merasa lega. Karena akhirnya istrinya itu sudah lebih baik. Paling tidak, dia tidak perlu khawatir.Saat mendapati Ale baik-baik saja, Alca memilih untuk segera keluar. Berniat kembali ke kamarnya. Namun, langkah Alca terhenti ketika mendengar suara.“Dima … Dima ….” Ale mengigau lagi.Mendapati Ale yang
Ale yang mendapati pertanyaan itu seketika langsung bingung. Menurut Ale, jelas Alca tidak mau mengantarkan karena tidak peduli dengannya. Namun, dia tidak bisa terlalu frontal mengatakan hal itu pada mertuanya.“Aku kurang tahu kenapa Kak Alca tidak mau mengantarkan, Ma.” Ale menjelaskan pada mertuanya tersebut.“Alca benar-benar. Harusnya dia mengantarkan kamu ke dokter, bukan malah menyuruh kakaknya.” Mama Arriel kesal sekali dengan sikap Alca. Dengan segera Mama Arriel pun mengambil ponselnya di dalam tas. Dia segera menghubungi anaknya itu. “Mama ada di rumah, cepat pulanglah dulu.” Mama Arriel yang menghubungi Alca meminta anaknya itu untuk segera pulang.Ale yang mendengar mertuanya itu meminta sang suami pulang, hanya bisa pasrah. Dia sendiri tidak menyangka jika mertuanya sampai meminta sang suami pulang.Mama Arriel beralih pada Ale. Membelai perut Ale yang besar. “Kamu yang sabar. Alca memang masih tak acuh padamu, tetapi Mama yakin dia akan peduli nanti padamu.” Mama Arrie
“Tahu aku diminta pulang hanya untuk ditanya seperti itu, aku tidak pulang.” Alca merasa malas ketika untuk kembali ke kantor. Namun, apa boleh dikata. Dia harus tetap bekerja. Alca pun segera berbalik. Bersiap untuk kembali ke kantor. “Alca, mau ke mana?” Mama Arriel kembali bertanya. “Ke kantor, Ma. Memang mau ke mana lagi?” Alca merasa heran dengan pertanyaan sang mama. “Sudah tidak perlu ke kantor. Temani Mama di sini saja.” Mama Arriel menjelaskan pada Alca. Alca membulatkan matanya. Bisa-bisanya sang mama menintanya untuk tidak bekerja. Sekali pun dia CEO di perusahaan, tentu saja tidak seenaknya tidak bekerja. “Sudah cepat Mama mau memasak. Kamu bantu saja.” Mama Arriel segera berdiri. “Memasak?” Alca mengerakkan mulutnya tanpa sama sekali mengeluarkan suara.“Sudah ayo.” Mama Arriel menarik putranya. Alca hanya bisa pasrah ketika ditarik oleh mamanya. Dia tahu jika sang mama memang tak terbantahkan. Ale hanya bisa melihat sang suami yang diajak pergi oleh ma
“Bersama mantan kekasihnya.” Mama Arriel akhirnya mengatakannya. Sebenarnya dia merasa tidak enak mengingat Ale pasti akan sedih. “Oh … bersama mantan kekasihnya.” Ale tersenyum. Dia memang tidak masalah. Lagi pula, dia sendiri punya masa lalu, jadi kenapa harus kesal jika Alca punya masa lalu. Melihat reaksi Ale membuat Mama Arriel jauh lebih tenang. Ale tampak tidak tersinggung sama sekali. Jadi tentu saja membuatnya merasa jauh lebih baik. “Itu hanya masa lalu, masa depannya adalah kamu dan anaknya.” Mama Arriel tersenyum. Ale mengangguk. Masa lalu mereka memang tetap ada di hidup mereka. Tinggal bagaimana menyikapi saja. Ale sendiri masih terbelenggu dengan bayangan mendiang suaminya. Pria yang tidak pernah dapat digantikan oleh siapa pun. Sesaat kemudian Alca menyelesaikan masaknya. Mama Arriel segera mengajak Ale untuk ke ruang makan. Menikmati makanan yang dibuat oleh Alca. Saat ke ruang makan, aroma masakan menyeruak begitu nikmatnya. Membuat Ale tiba-tiba lapar. Ber
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker