Alca meraih gagang pintu. Dengan perlahan, menarik gagang pintu ke arah bawah. Didorongnya dengan perlahan gagang pintu ke dalam dan membuat pintu terbuka. Alca melakukannya dengan pelan-pelan. Agar Ale yang berada di dalam kamar tidak terganggu.Alca melihat jelas jika Ale sedang tidur pulas. Tampak tangannya meraih sisi kosong di tempat tidur. Untuk memastikan Alca mengayunkan langkahnya untuk mendekat ke arah tempat tidur.Tepat saat di sisi Ale, Alca menempelkan punggung tangannya pada dahi Ale. Mengecek suhu tubuh sang istri. Memastikan jika istrinya itu baik-baik saja.“Sepertinya demamnya sudah benar-benar reda.” Alca mendapati jika demam yang dirasakan oleh Ale sudah reda. Dia merasa lega. Karena akhirnya istrinya itu sudah lebih baik. Paling tidak, dia tidak perlu khawatir.Saat mendapati Ale baik-baik saja, Alca memilih untuk segera keluar. Berniat kembali ke kamarnya. Namun, langkah Alca terhenti ketika mendengar suara.“Dima … Dima ….” Ale mengigau lagi.Mendapati Ale yang
Ale yang mendapati pertanyaan itu seketika langsung bingung. Menurut Ale, jelas Alca tidak mau mengantarkan karena tidak peduli dengannya. Namun, dia tidak bisa terlalu frontal mengatakan hal itu pada mertuanya.“Aku kurang tahu kenapa Kak Alca tidak mau mengantarkan, Ma.” Ale menjelaskan pada mertuanya tersebut.“Alca benar-benar. Harusnya dia mengantarkan kamu ke dokter, bukan malah menyuruh kakaknya.” Mama Arriel kesal sekali dengan sikap Alca. Dengan segera Mama Arriel pun mengambil ponselnya di dalam tas. Dia segera menghubungi anaknya itu. “Mama ada di rumah, cepat pulanglah dulu.” Mama Arriel yang menghubungi Alca meminta anaknya itu untuk segera pulang.Ale yang mendengar mertuanya itu meminta sang suami pulang, hanya bisa pasrah. Dia sendiri tidak menyangka jika mertuanya sampai meminta sang suami pulang.Mama Arriel beralih pada Ale. Membelai perut Ale yang besar. “Kamu yang sabar. Alca memang masih tak acuh padamu, tetapi Mama yakin dia akan peduli nanti padamu.” Mama Arrie
“Tahu aku diminta pulang hanya untuk ditanya seperti itu, aku tidak pulang.” Alca merasa malas ketika untuk kembali ke kantor. Namun, apa boleh dikata. Dia harus tetap bekerja. Alca pun segera berbalik. Bersiap untuk kembali ke kantor. “Alca, mau ke mana?” Mama Arriel kembali bertanya. “Ke kantor, Ma. Memang mau ke mana lagi?” Alca merasa heran dengan pertanyaan sang mama. “Sudah tidak perlu ke kantor. Temani Mama di sini saja.” Mama Arriel menjelaskan pada Alca. Alca membulatkan matanya. Bisa-bisanya sang mama menintanya untuk tidak bekerja. Sekali pun dia CEO di perusahaan, tentu saja tidak seenaknya tidak bekerja. “Sudah cepat Mama mau memasak. Kamu bantu saja.” Mama Arriel segera berdiri. “Memasak?” Alca mengerakkan mulutnya tanpa sama sekali mengeluarkan suara.“Sudah ayo.” Mama Arriel menarik putranya. Alca hanya bisa pasrah ketika ditarik oleh mamanya. Dia tahu jika sang mama memang tak terbantahkan. Ale hanya bisa melihat sang suami yang diajak pergi oleh ma
“Bersama mantan kekasihnya.” Mama Arriel akhirnya mengatakannya. Sebenarnya dia merasa tidak enak mengingat Ale pasti akan sedih. “Oh … bersama mantan kekasihnya.” Ale tersenyum. Dia memang tidak masalah. Lagi pula, dia sendiri punya masa lalu, jadi kenapa harus kesal jika Alca punya masa lalu. Melihat reaksi Ale membuat Mama Arriel jauh lebih tenang. Ale tampak tidak tersinggung sama sekali. Jadi tentu saja membuatnya merasa jauh lebih baik. “Itu hanya masa lalu, masa depannya adalah kamu dan anaknya.” Mama Arriel tersenyum. Ale mengangguk. Masa lalu mereka memang tetap ada di hidup mereka. Tinggal bagaimana menyikapi saja. Ale sendiri masih terbelenggu dengan bayangan mendiang suaminya. Pria yang tidak pernah dapat digantikan oleh siapa pun. Sesaat kemudian Alca menyelesaikan masaknya. Mama Arriel segera mengajak Ale untuk ke ruang makan. Menikmati makanan yang dibuat oleh Alca. Saat ke ruang makan, aroma masakan menyeruak begitu nikmatnya. Membuat Ale tiba-tiba lapar. Ber
Ale hanya terdiam ketika Alca menyindir. Mau bagaimana pun tetap saja Ale adalah tempat salah bagi Alca. “Maaf, Kak.” Hanya itu yang dapat diucapkan oleh Ale. “Sudahlah aku mau mandi.” Alca tidak mau berdebat. Dia memilih untuk berlalu pergi. Malas membahas hal itu dengan Ale. Ale tetap tenang saat Alca memilih menghindari pembicaraan dengannya. Seperti Alca, dia memilih untuk ke kamarnya. Mengobrol dengan mama membuatnya sedikit lelah. Jadi alhasil dia memilih untuk beristirahat. Alca baru saja selesai mandi. Waktu menujukan jam dua siang. Rasanya, dia malas memiliki banyak waktu kosong. Mau kembali ke kantor, hanya akan membuang waktu karena sampai sana hanya bekerja sebentar. Mau di rumah, malas ada Ale di rumah. “Bukannya ada yang harus aku kerjakan.” Alca berbinar. Tiba-tiba teringat jika ada yang bisa dikerjakan saat luang seperti ini. Alca menaruh handuk di tempat handuk. Kemudian menuju ke tempat tidur. Sambil duduk, Alca membuka laci yang berada di samping tempat
Alca yang berada di dalam kamar mendengar suara dari luar. Dia segera bangun dari posisi duduknya dan segera berjalan ke arah pintu. Mengecek siapa gerangan yang berada di depan pintu. Saat membuka pintu alangkah terkejutnya ketika melihat Ale berada di depan pintu dengan asisten rumah tangga. “Kalian sedang apa?” tanya Alca yang menatap dua wanita di depan pintu. Ale benar-benar seperti maling yang ketahuan. Sudah tidak bisa lari ke mana-mana. Tentu saja dia hanya bisa pasrah. “Tadi aku dengar suara tertawa. Jadi aku mencari sumber suara. Ternyata dari lantai atas aku hanya memastikan jika benar jika itu suara Kak Alca.” Ale menjelaskan pada suaminya itu. Alca lupa tertawa begitu kencang, hingga membuat Ale mendengar suaranya. Dia mengalihkan pandangan pada asisten rumah tangga. Selain Ale ada juga asisten rumah tangga. “Lalu Bi Jani kenapa di sini juga?” tanya Alca. Bi Jani ketakutan ketika ditanya oleh Lean. “Saya tadi hanya ingin memberitahu Non Ale kalau jeruk hangatnya
Alca menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia merasa benar-benar kesal karena justru terpesona dengan apa yang dilihatnya dari Ale.“Sial! Gara-gara aku membaca buku diary Dima pasti.” Alca merutuki kebodohannya yang terpesona dengan senyuman Ale.Alca segera berangsur bangun dari tempat tidurnya. Dia meraih buku diary yang diletakkannya di atas meja.“Sepertinya aku harus menyimpan buku diary ini.” Alca jadi takut ketika melihat buku diary milik Dima. Jika terus-terusan membacanya. Bisa jadi dia akan semakin terpesona dengan Ale.Dengan segera Alca memasukkan buku diary tersebut ke dalam laci lagi. Tak mau membacanya agar tidak luluh dengan pesona Ale. Membaca buku diary itu lebih menakutkan dibanding bertemu dengan Ale di depan mata.Kini Alca tidak punya kegiatan apa-apa. Dia tidak terbiasa tidur siang. Jadi tentu saja dia merasa bingung harus melakukan apa. Akhirnya Alca memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia turun lagi ke lantai bawah.Saat di lantai bawah, Alca melihat Al
Waktu begitu cepat. Lima bulan Dima meninggal. Semua orang mulai menerima kenyataan jika pria itu sudah meninggal. Mereka mulai menjalani hidup. Terus melangkah maju dan tak mau larut dalam kesedihan. Ale juga perlahan mulai menerima kenyataan jika suaminya sudah tiada. Dia harus tetap tegar demi anak yang berada di dalam kandungan. Ale tak mau anaknya ikut bersedih. Cara mengenang dan membuktikan cinta pada Dima adalah dengan menjaga anaknya dengan baik. Sesuai rencana hari ini, Ale akan pergi ke rumah sakit. Usia kandungan Ale kini sudah enam minggu bulan. Tentu saja dia begitu antusias sekali. “Apa kamu masih lama?” Suara dibalik pintu diiringi dengan ketukan pintu terdengar. Ale segera meraih tasnya dan keluar dari kamar. Saat membuka pintu, tampak Alca berada di balik pintu. Pria itu tampak kesal karena Ale begitu lama sekali bersiap.Sesuai permintaan Mama Mauren, Alca hari ini mengantarkan Ale ke dokter. Karena selama ini, Alca tidak pernah mau mengantarkan Ale untu