Alca yang merasakan Ale demam pun segera berlalu ke dapur. Dia mengambil air untuk mengompres istrinya itu. Alca cukup panik mengingat ketika Ale sedang demam saat keadaan hamil. Tentu saja itu sangat membahayakan.Alca membawa satu wadah berisi air. Suhu air hanya normal. Karena tidak baik jika orang yang sedang panas, dikompres dengan air dingin atau bahkan panas. Dia juga mengambil handuk kecil untuk alat mengompres.Segera Alca masuk kembali ke kamar. Meletakkan wadah berisi air tadi di atas nakas. Alca memasukkan haduk kecil yang dibawanya itu untuk dibasahi, kemudian memerasnya. Handuk kecil basah tadi ditempelkan di dahi Ale. Berharap suhu tubuh Ale segera turun. Alca melakukan berulang kali. Memastikan jika suhu tubuh Ale berangsur turun. Alca jelas tidak bisa memberikan obat, mengingat Ale sedang hamil. Jadi mengompres jadi alternatif terbaik saat ini. Suhu tubuh Ale sangat tinggi, tentu saja itu membuatnya harus bersabar untuk terus mengompres. Mengulang terus agar suhu tu
Ale pikir Alca yang akan mengompresnya. Namun, ternyata bukan. Tentu saja itu membuat Ale sedikit kecewa. Ternyata pria itu tidak peduli sama sekali padanya.“Non Ale jangan lupa dimakan dulu rotinya. Bibi ke dapur dulu. Jika perlu apa-apa tinggal panggil.”’“Iya, Bi.” Asisten rumah tangga tersebut mengambil air yang berada di wadah berisi air yang Alca pakai untuk mengompres. Meninggalkan Ale di kamar sendiri.Saat menutup pintu, Bi Jani mengembuskan napas. Rasanya, tidak nyaman sekali ketika berbohong.Tadi pagi saat suhu tubuh Ale sudah reda, Alca segera keluar dari kamar. Tepat di depan kamar, Alca bertemu dengan Bi Jani yang kebetulan bersiap untuk merapikan rumah.“Den.” Bi Jani menyapa Alca. Dia cukup terkejut ketika melihat Alca keluar dari kamar Ale. Setahunya, sejak Ale dan Alca menikah, mereka tidur terpisah. Alca di lantai atas, sedangkan Ale di lantai bawah.“Bi, semalam saya mengompres Ale. Pasti dia akan bertanya siapa yang mengompres nanti saat bangun. Tolong bilang j
Seharian Ale tidur. Apalagi setelah minum obat, rasa kantuknya menghinggapi. Setelah minum obat, demam Ale pun berangsur reda. Badannya juga sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Sehingga dia bisa bangun dan duduk di ruang keluarga.“Non, ini saya buatkan teh hangat.” Bi Jani memberikan minuman hangat itu pada Ale.“Terima kasih, Bi.” Ale tersenyum sambil menerima teh yang diberikan oleh Bi Jani.Ale menikmati teh hangat yang dibuat asisten rumah tangga. Rasa hangat yang dirasakannya begitu memberikan ketenangan.Saat menikmati teh, terdengar suara mobil datang. Ale menebak jika itu adalah mobil Alca. Benar saja. Selang beberapa saat kemudian Alca masuk ke rumah.Alca meliat Ale yang sedang duduk menikmati minuman di ruang keluarga. Tampak istrinya itu sudah lebih baik karena sudah bangun dan berada di ruang keluarga.“Kamu sudah lebih baik?” Alca memilih untuk berhenti.“Sudah.” Ale menjawab singkat. Tidak sama sekali menoleh pada Alca dan fokus pada minumannya.Alca melihat reaksi
Alca meraih gagang pintu. Dengan perlahan, menarik gagang pintu ke arah bawah. Didorongnya dengan perlahan gagang pintu ke dalam dan membuat pintu terbuka. Alca melakukannya dengan pelan-pelan. Agar Ale yang berada di dalam kamar tidak terganggu.Alca melihat jelas jika Ale sedang tidur pulas. Tampak tangannya meraih sisi kosong di tempat tidur. Untuk memastikan Alca mengayunkan langkahnya untuk mendekat ke arah tempat tidur.Tepat saat di sisi Ale, Alca menempelkan punggung tangannya pada dahi Ale. Mengecek suhu tubuh sang istri. Memastikan jika istrinya itu baik-baik saja.“Sepertinya demamnya sudah benar-benar reda.” Alca mendapati jika demam yang dirasakan oleh Ale sudah reda. Dia merasa lega. Karena akhirnya istrinya itu sudah lebih baik. Paling tidak, dia tidak perlu khawatir.Saat mendapati Ale baik-baik saja, Alca memilih untuk segera keluar. Berniat kembali ke kamarnya. Namun, langkah Alca terhenti ketika mendengar suara.“Dima … Dima ….” Ale mengigau lagi.Mendapati Ale yang
Ale yang mendapati pertanyaan itu seketika langsung bingung. Menurut Ale, jelas Alca tidak mau mengantarkan karena tidak peduli dengannya. Namun, dia tidak bisa terlalu frontal mengatakan hal itu pada mertuanya.“Aku kurang tahu kenapa Kak Alca tidak mau mengantarkan, Ma.” Ale menjelaskan pada mertuanya tersebut.“Alca benar-benar. Harusnya dia mengantarkan kamu ke dokter, bukan malah menyuruh kakaknya.” Mama Arriel kesal sekali dengan sikap Alca. Dengan segera Mama Arriel pun mengambil ponselnya di dalam tas. Dia segera menghubungi anaknya itu. “Mama ada di rumah, cepat pulanglah dulu.” Mama Arriel yang menghubungi Alca meminta anaknya itu untuk segera pulang.Ale yang mendengar mertuanya itu meminta sang suami pulang, hanya bisa pasrah. Dia sendiri tidak menyangka jika mertuanya sampai meminta sang suami pulang.Mama Arriel beralih pada Ale. Membelai perut Ale yang besar. “Kamu yang sabar. Alca memang masih tak acuh padamu, tetapi Mama yakin dia akan peduli nanti padamu.” Mama Arrie
“Tahu aku diminta pulang hanya untuk ditanya seperti itu, aku tidak pulang.” Alca merasa malas ketika untuk kembali ke kantor. Namun, apa boleh dikata. Dia harus tetap bekerja. Alca pun segera berbalik. Bersiap untuk kembali ke kantor. “Alca, mau ke mana?” Mama Arriel kembali bertanya. “Ke kantor, Ma. Memang mau ke mana lagi?” Alca merasa heran dengan pertanyaan sang mama. “Sudah tidak perlu ke kantor. Temani Mama di sini saja.” Mama Arriel menjelaskan pada Alca. Alca membulatkan matanya. Bisa-bisanya sang mama menintanya untuk tidak bekerja. Sekali pun dia CEO di perusahaan, tentu saja tidak seenaknya tidak bekerja. “Sudah cepat Mama mau memasak. Kamu bantu saja.” Mama Arriel segera berdiri. “Memasak?” Alca mengerakkan mulutnya tanpa sama sekali mengeluarkan suara.“Sudah ayo.” Mama Arriel menarik putranya. Alca hanya bisa pasrah ketika ditarik oleh mamanya. Dia tahu jika sang mama memang tak terbantahkan. Ale hanya bisa melihat sang suami yang diajak pergi oleh ma
“Bersama mantan kekasihnya.” Mama Arriel akhirnya mengatakannya. Sebenarnya dia merasa tidak enak mengingat Ale pasti akan sedih. “Oh … bersama mantan kekasihnya.” Ale tersenyum. Dia memang tidak masalah. Lagi pula, dia sendiri punya masa lalu, jadi kenapa harus kesal jika Alca punya masa lalu. Melihat reaksi Ale membuat Mama Arriel jauh lebih tenang. Ale tampak tidak tersinggung sama sekali. Jadi tentu saja membuatnya merasa jauh lebih baik. “Itu hanya masa lalu, masa depannya adalah kamu dan anaknya.” Mama Arriel tersenyum. Ale mengangguk. Masa lalu mereka memang tetap ada di hidup mereka. Tinggal bagaimana menyikapi saja. Ale sendiri masih terbelenggu dengan bayangan mendiang suaminya. Pria yang tidak pernah dapat digantikan oleh siapa pun. Sesaat kemudian Alca menyelesaikan masaknya. Mama Arriel segera mengajak Ale untuk ke ruang makan. Menikmati makanan yang dibuat oleh Alca. Saat ke ruang makan, aroma masakan menyeruak begitu nikmatnya. Membuat Ale tiba-tiba lapar. Ber
Ale hanya terdiam ketika Alca menyindir. Mau bagaimana pun tetap saja Ale adalah tempat salah bagi Alca. “Maaf, Kak.” Hanya itu yang dapat diucapkan oleh Ale. “Sudahlah aku mau mandi.” Alca tidak mau berdebat. Dia memilih untuk berlalu pergi. Malas membahas hal itu dengan Ale. Ale tetap tenang saat Alca memilih menghindari pembicaraan dengannya. Seperti Alca, dia memilih untuk ke kamarnya. Mengobrol dengan mama membuatnya sedikit lelah. Jadi alhasil dia memilih untuk beristirahat. Alca baru saja selesai mandi. Waktu menujukan jam dua siang. Rasanya, dia malas memiliki banyak waktu kosong. Mau kembali ke kantor, hanya akan membuang waktu karena sampai sana hanya bekerja sebentar. Mau di rumah, malas ada Ale di rumah. “Bukannya ada yang harus aku kerjakan.” Alca berbinar. Tiba-tiba teringat jika ada yang bisa dikerjakan saat luang seperti ini. Alca menaruh handuk di tempat handuk. Kemudian menuju ke tempat tidur. Sambil duduk, Alca membuka laci yang berada di samping tempat