“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing.
Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu. Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan. “Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya. “Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus. “Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran. Alca melepaskan tangannya yang dilipatnya di dada sambil menegakkan tubuhnya. “Jelas karena sikap tidak sopanmu. Apalagi?” Selesai bicara langkahnya diayunkan meninggalkan Ale. Ale terpaku di tempatnya berpijak. Tidak menyangka jika sikapnya yang asal pergi membuat klien pergi juga. “Apa kamu akan berdiri di sana terus?” Alca bicara tanpa menoleh sama sekali. Ale mengembuskan napasnya. Ketakutannya semakin bertambah ketika dia baru saja merusak pertemuan dengan klien. Dia tahu di mata Alca apa yang dilakukannya terus saja salah. Jadi ini seperti nilai buruk yang tersemat di rapor miliknya. “Cepat.” Kali ini Alca menoleh. Karena melihat tidak ada pergerakan sama sekali dari Ale. Ale segera mengayunkan langkahnya mengejar Alca. Mereka segera ke mobil yang berada di tempat parkir. Alca memutuskan untuk mengantarkan Ale pulang. Mengingat kondisi Ale pucat, “Lain kali jangan makan dulu sebelum bertemu klien.” Sambil menyetir Alca berbicara. Pria itu tidak menoleh sama sekali pada Ale. Pandangannya tetap fokus pada jalanan. Ale menelan salivanya. Larangan itu pastinya ada hubungannya dengan dirinya yang muntah dulu. Tadi memang sebelum bertemu klien, mereka makan lebih dulu. Tidak menyangka ketika klien datang, Ale justru mual dan memilih ke toilet. “Iya, Kak.” Ale mengiyakan apa yang dikatakan oleh Alca. Alca hanya melirik istri sepupunya yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Mobil terus melaju. Ale melihat jika arah mobil yang melaju adalah ke rumahnya. Tentu saja itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati, ‘kenapa Kak Alca membawa aku ke rumah?’ Mobil sampai di rumah kediaman milik Dima yang ditempati oleh Ale. Alca memarkirkan mobilnya di tempat parkir, tetapi tanpa mematikan mesin mobilnya. “Istirahatlah, agar besok kamu bisa bekerja.” Alca sengaja mengantarkan Ale ke rumah. Jika dipaksakan ke kantor, yang ada wanita itu bisa pingsan. Akhirnya Ale tahu alasan Alca mengantarkannya pulang. “Terima kasih, Kak. Aku akan berusaha kejadian kemarin tidak akan terulang kembali.” Ale sadar jika kesalahan hari ini terlampau keterlaluan. “Memang seharusnya kamu tidak ulang lagi.” Alca menjawab dengan nada penuh sindiran. Sindiran semacam ini memang sudah biasa diterima Ale. Jadi makin lama, dia makin kuat. Dia seolah sudah kehilangan sosok Alca yang ramah sewaktu suaminya masih ada. “Aku masuk dulu, Kak.” Ale turun dari mobil. Tak ada jawaban dari Alca. Pria itu memilih diam saja. Saat Ale keluar, dia langsung melajukan kembali mobilnya. Ale masih berdiri sambil melihat mobil Alca hilang dari pandangan. Helaan napas terasa berat ketika melihat Alca dengan sikapnya. “Sabar, Sayang. Uncle Alca hanya sedang kesal saja.” Ale membelai lembut perutnya. Menenangkan anaknya di dalam kandungan. *** Ale mengayunkan langkahnya kembali ke kamar. Merebahkan kembali tubuhnya di atas tempat tidur. Ale merasa begitu lelah sekali. Karena sudah sejak dinyatakan hamil, dia selalu tersiksa dengan mual. Tak ada teman di rumah, yang membuat Ale harus berjuang sendiri. Terkadang Ale rindu pada Dima di saat-saat seperti ini. Andai ada suaminya itu, tentu saja akan ada yang membantunya. Merasa begitu lemas, Ale memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar. Setelah ini nanti dia akan segera bersiap untuk berangkat bekerja. Ale tidur begitu nyenyak. Hingga tidak menyadari jika waktu bergulir dengan cepatnya. Suara ketukan pintu, membuat Ale yang masih tidur, segera membuka matanya. Dilihatnya jam dinding yang berada di dinding kamarnya. Alangkah terkejutnya ketika melihat waktu menunjukan jam sembilan pagi. “Non Ale.” Suara Bi Jani terdengar dari balik pintu. Ale seketika panik. Harusnya dia tidur tiga puluh menit saja, bukan tiga jam. Dengan segera Ale bangun. Hal pertama yang dilakukan Ale adalah membuka pintu dulu. Ada hal yang ingin ditanyakannya pada asisten rumah tangganya. “Bi, apa tadi Kak Alca sudah datang?” Saat pintu terbuka, Ale segera melemparkan pertanyaan itu. “Den Alca tadi ke sini. Lalu saat Non Ale tidak kunjung keluar dari kamar, akhirnya dia pergi.” Mendengar cerita dari asisten rumah tangga tersebut, Ale merasa kesal. Dia merutuki kesalahannya yang ketiduran dan alhasil dia tidak bisa ke kantor. Namun, nasi sudah jadi bubur. Percuma untuk disesali. Karena Alca pasti sudah kesal. “Bibi kenapa ketuk pintu?” Ale menatap asisten rumah tangganya itu. “Non Ale belum sarapan. Bibi mau membangunkan agar bisa sarapan. Kasihan si kecil di perut pasti lapar.” Ale mengalihkan pandangan para perutnya yang mulai membuncit itu. Ada perasaan menghangat ketika masih ada orang-orang yang memerhatikannya. Salah satunya adalah asisten rumah tangganya. Sejak suaminya meninggal, dia memang tinggal dengan asisten rumah tangganya itu. “Aku akan makan, Bi.” Ale tersenyum. “Baiklah, saya permisi dulu.” Setelah asisten rumah tangga pergi, akhirnya Ale menutup pintu. Ada hal penting yang ingin dilakukannya. Apalagi jika bukan menghubungi Alca. Dia harus memberitahu jika tadi dia ketiduran. Jadi dia tidak bisa ke kantor. Ale mencoba menghubungi Alca. Sayangnya, sambungan telepon tersebut tidak direspon. Ale pun memilih untuk menghubungi Alca lewat sambungan telepon kantor. Berharap Alca mau menerima sambungan telepon tersebut. “Halo, selamat siang dengan Janitra Grup.” Suara resepsionis di seberang sana terdengar. “Saya Alegra Cecilia, sekretaris CEO. Bisa minta sambungkan ke ruang CEO langsung?” Ale memberitahu resepsionis di kantornya. “Baik, Bu Ale, saya akan sambungkan.” Ale menunggu sesaat. Sesaat kemudian barulah sambungan telepon tersebut tersambung. “Halo.” Suara dingin terdengar di seberang sana. “Selamat pagi, Pak. Saya Alegra.” Ale mulai bicara. “Ada apa?” tanya Alca ketus. Mendengar suara ketus dari Alca tentu saja membuat nyali Ale ciut. “Maaf, Pak, hari ini saya tidak bisa masuk kerja.” Ale memberanikan diri memberitahu atasan sekaligus calon suaminya.Pagi ini Ale bekerja, sayangnya Alca tidak menjemputnya. Karena itu dia memutuskan untuk berangkat bekerja sendiri dengan menaiki taksi. Ale berpikir jika Alca sengaja tidak menjemputnya karena berpikir jika dirinya tidak akan ke kantor. Beruntung pagi ini Ale jauh lebih baik. Jadi bisa datang ke kantor dengan keadaan sehat. Saat sampai di kantor, dia segera ke ruangannya. Kali ini, semangatnya cukup besar untuk ke kantor. Mengingat seharian kemarin dia di rumah. Saat lift terbuka, Ale mengayunkan langkahnya ke meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Anisa, temannya yang berkerja di bagian HRD. “Nisa kenapa di sini?” Ale menatap temannya itu. Penasaran dengan keberadaan sang teman. “Aku dipindahkan ke sini, Al. Memang Pak Alca tidak bilang kamu?” Tubuh Ale membeku. Tidak ada pembicaraan sama sekali tentang hal ini padanya. Jadi tentu saja dia tidak tahu apa-apa. “Maksudnya kamu dipindah sementara ke sini?” tanya Ale memastikan. Nisa sedikit bingung deng
Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat
Acara yang selesai menyisakan mama dan papa Alca dan Dima saja. Mereka masih mengobrol banyak hal. “Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Al. Lagi pula rumah ini kosong nanti jika Ale kamu bawa pulang ke rumah.” Mama Mauren memberitahu keponakannya itu. Ale juga berniat untuk tinggal di rumah Dima. Lebih mudah dirinya yang pindah, dibanding Ale yang pindah. “Al, kalau bisa jangan sampai kamu melakukan hubungan suami istri sebelum Ale melahirkan.” Papa Adriel memberitahu anaknya. Mengingat Ale mengandung anak Dima, haram bagi Alca menyentuh Ale. Dahi Alca berkerut dalam, diiringi dengan alis yang bertautan. Dia benar-benar tidak berpikir hal itu. “Aku tidak akan melakukannya, Pa,” jawab Ale malas. “Bagus kalau begitu.” Papa Adriel merasa jauh lebih tenang karena Alca tidak akan melakukan hal yang dilarang. “Kalau begitu kami pulang dulu.” Papa David berpamitan. “Besok akan ada orang yang akan merapikan dekorasi ini.” Dia memberitahu Alca sambil berpamitan. Alca pun mengangguk. B
“Tidak.” Alca menjawab sambil berlalu pergi.Mendapati jawaban itu, membuat Ale terpaku. Apalagi Alca pergi begitu saja. Ale mengalihkan pandangan pada makanan yang dibuatnya, tak tersentuh sama sekali. Padahal, dia membuat masakan cukup banyak.Ale mengembuskan napasnya. Dia masih terus bertanya dalam hatinya, ‘kenapa Alca terus bersikap seperti itu padanya?’ Jika boleh jujur, pernikahan ini pun bukan keinginannya, lalu kenapa dirinya yang jadi pelampiasan kemarahan.“Mungkin dia masih butuh adaptasi.” Ale berusaha untuk berpikir positif. Berusaha untuk tetap kuat dengan sikap Alca. Berharap setelah mereka tinggal bersama cukup lama, mungkin Alca akan berubah.Ale pun memilih untuk segera kembali ke meja makan. Menikmati makanan yang tadi dibuatnya.“Aku pikir setelah ada orang di rumah ini, aku tidak akan makan sendirian.” Ale tersenyum tipis ketika dia bergumam sendiri. Ternyata dia tetap makan sendiri, walaupun ada Alca di rumah.Seharian Alca menikmati waktu di rumah dengan memba
Ale segera berdiri ketika mendengar suara mobil. Menyambut kedatangan Alca. “Kak Alca mau aku siapkan makan sekarang?” Ale segera melemparkan pertanyaan itu saat Alca baru saja masuk.Alca melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukan jam delapan. “Kamu belum makan?” tanyanya.“Aku sudah makan.” Ale tadi memang sengaja makan lebih dulu. Jika makan berat saat malam, dia merasa perutnya tidak enak. Jadi dia makan tepat jam tujuh. Sisanya, dia akan makan buah.“Jika kamu sudah makan, tidak perlu kamu siapkan. Aku mau langsung tidur, jadi tidak makan.” Selesai bicara Ale segera berlalu ke lantai atas. Seperti biasa, dia mengabaikan Ale.Ale hanya bisa mengembuskan napas. Sepertinya Ale sudah mulai terbiasa diabaikan oleh Alca. Apalagi ditolak Alca.“Aku hanya ingin bersikap baik, tetapi sepertinya Kak Alca masih belum bisa menerima.” Di saat Ale sudah mulai berdamai dengan keadaan, Alca justru terus masih kesal dengan Ale. Karena Alca tidak mau makan, akhirnya Ale memi
Setelah tahu jika mama mertuanya itu membawanya ke mal, Ale segera bersiap. Dia pergi bersama sang mama dengan mobil dan supir keluarga Janitra. Ale memang kehilangan Dima, tetapi tidak kehilangan mertuanya. Walaupun, perhatian itu didapat karena adanya anaknya, paling tidak Ale mendapatkan kasih sayang dari mertuanya itu juga.“Kapan kamu cek kandungan lagi?” Mama Mauren menatap Ale ketika sedang asyik memilih baju bayi.“Dua minggu lagi, Ma.” Ale menjelaskan pada Mama Mauren. Dua minggu lagi usia kandungannya menginjak enam bulan. Jadi dia akan memeriksakannya.“Alca tidak pernah ikut memeriksakan kandungannya, coba minta dia untuk ikut juga memeriksakan kandungan. Apalagi sekarang kalian sudah menikah.” Mama Mauren mencoba memberitahu Ale. Memang baru saja mereka menikah. Jadi Alca paling tidak harus mengambil peran dalam tumbuh peran keponakannya, apalagi sekarang dia adalah ayahnya.“Aku akan coba mengatakannya nanti pada Kak Alca, Ma.” Ale sendiri tidak tahu akan berani mengataka
Alca turun ke lantai bawah. Dilihatnya makanan di atas meja. Ale tidak pernah berhenti menyiapkan makanan, meskipun dirinya tidak makan. Hal itu membuatnya heran.Alca jelas tidak akan mau makan. Dia tidak akan memberikan kesempatan Ale untuk mendekatinya. Alca tidak mau terjebak dalam rencana licik Ale.Seperti biasa, Alca memilih untuk berangkat bekerja tanpa sarapan. Dia lebih memilih sarapan di kantor dibanding harus sarapan bersama Ale. Alca melajukan mobilnya meninggalkan komplek. Dari kejauhan dilihatnya Ale yang sedang berjalan di pinggir jalan. Alca pikir, Ale masih di kamarnya seperti biasa, tetapi ternyata Ale berada di luar.“Mau ke mana dia?” Alca merasa heran. Mau ke mana gerangan perginya istrinya itu.Alca yang penasaran memilih untuk menghentikan mobilnya. Dia ingin tahu ke mana gerangan sang istri pergi.Alca menurunkan kaca mobilnya. “Mau ke mana kamu?” tanyanya.Ale terkejut ketika melihat mobil berhenti di sampingnya. Saat melihat mobil tersebut, dia sudah tahu mo
“Iya karena aku tidak bisa membawanya. Ini besar sekali. Jadi jelas aku tidak bisa membawanya.” Ale merasa jika memang labunya cukup besar. Jadi jelas dia tidak bisa membawanya. Alca mengembuskan napasnya. Merasa sedikit kesal karena ternyata mengantarkan Ale ke pasar membuatnya harus membantunya juga. “Baiklah,” jawab Alca ketus. Dia segera mengangkat labu tersebut. Alangkah terkejutnya Alca jika labu tersebut begitu berat sekali. Dia tidak menyangka jika akan seberat itu. Namun, Alca juga tidak bisa menyuruh Ale untuk membawa labu tersebut. Mereka sampai di mobil. Alca segera meletakkan labu tersebut di dalam mobil. Segera dia melajukan mobilnya ke rumah saat Ale sudah berada di dalam mobil. “Apa Kak Alca akan terlambat?” Ale merasa tidak enak membuat Alca terlambat bekerja. “Sudah tahu kenapa harus bertanya,” jawab Alca ketus. Pertanyaan Ale itu sudah jelas sekali jawabannya. Jadi harusnya tidak dipertanyakan. Mendapati jawaban ketus itu membuat Ale langsung diam. Dia tidak b