Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan. Sebentar lagi Ale akan melahirkan. Alca akhirnya mengalah untuk tidur di kamar Ale dan Dima. Dengan kesepakatan bersama, Ale melepas beberapa foto Dima yang terpasang di kamar. Terutama yang ada di dinding. Yaitu foto pernikahan Ale dan Dima. Alih-alih mengganti foto dengan foto Ale dan Alca, mereka membiarkan dinding tetap kosong. “Halo, Sayang. Papa tidak sabar bertemu denganmu.” Alca mendaratkan kecupan di perut Ale. Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan dan bisa melahirkan lebih awal dari tanggal perkiraan melahirkan atau lebih lewat dari tanggal perkiraan melahirkan. “Sabar, Papa. Sebentar lagi kita bertemu.” Ale tersenyum sambil membelai rambut Alca. Alca menegakkan kepalanya. Kemudian menatap sang istri. “Aku benar-benar berdebar-debar menunggu anak kita lahir.” “Jangan takut. Nanti aku jadi ikut takut.” Ale menekuk bibirnya. Dia merasa takut ketika suaminya ikut takut. Alca memikirkan ucapan sang istri. Jika dirinya t
“Aku ke sini untuk melihat seperti apa wanita yang menghancurkan hidupku.” Zira bicara lembut, tapi jelas menusuk. Ale yang mendengar itu pun langsung terperangah. Jantungnya terasa dihantam batu besar. Benar-benar di luar dugaannya Zira akan mengatakan seperti itu. Bibir Ale tertutup rapat. Tak berani berkata sepatah kata pun.“Aku menjalani hubungan dengan Alca sejak sekolah menengah atas. Sudah cukup lama aku menjalin hubungan. Ada banyak mimpi yang kami bangun selama ini. Namun, seketika hancur berkeping-keping.” Zira menahan sesak yang menyelimuti hatinya. Ale tidak berani menjawab apa-apa mengingat apa yang dikatakan Zira ada benarnya. Dia adalah pihak yang menghancurkan semua mimpi Zira.“Apa kamu tahu jika saat menikah denganmu Alca masih berhubungan denganku?” Zira menatap Ale dengan tatapan nanar. “Aku tidak tahu sebelumnya, dan aku baru tahu saat melihatmu di toko Kak Lolo.” Ale menjawab apa adanya. “Lalu apa yang kamu pikirkan saat itu?” Zira menatap tajam pada Ale.
Ale begitu terkejut ketika Mama Mauren berada di depan rumah. Pikirannya melayang memikirkan apakah mertuanya itu dengar yang dikatakan oleh Zira. Mama Mauren menatap Ale seraya mengambil ponselnya di dalam tas. Kemudian mencoba menghubungi seseorang. “Pulanglah sekarang!” perintah Mama Mauren itu seolah tak terbantahkan. Ale hanya terdiam ketika mendengar Mama Mauren bicara di dalam sambungan telepon. Dia merasa jika mertuanya itu pasti bicara pada suaminya. Dari nada bicara Mama Mauren yang ketus, membuat Ale yakin jika tadi Mama Mauren mendengar pembicaraannya dan Zira. “Ayo masuk!” Mama Mauren menarik kopernya. Mengajak Ale untuk masuk ke rumah. Ale benar-benar takut sekali. Karena mama mertuanya justru diam. Alih-alih bertanya padanya, dia justru diam saja. Tak mau membantah, Ale langsung bergegas masuk. Di dalam rumah Mama Mauren langsung memanggil asisten rumah tangga. Meminta asisten rumah tangga untuk membawa kopernya ke atas. Ale memilih duduk di sofa ruang keluarga
Mama Mauren langsung memeluk Alca. Dia menangis di pelukan Alca. “Maafkan Mama menempatkan kamu di situasi tidak nyaman. Membuatmu harus menikah karena keinginan Mama yang ingin mempertahankan apa yang dimiliki Ale. Pasti kamu tersiksa.” Mama Mauren menganggap Alca adalah anaknya juga. Namun, dia lupa jika sebagai orang tua, dia harusnya memikirkan bagaimana perasaan anaknya itu. “Ma.” Alca tidak menyangka jika reaksi mamanya akan seperti itu. Dia pikir mamanya akan marah, tapi ternyata tidak.“Mama tidak sama sekali memikirkan perasaanmu. Pasti tidak enak menikah tanpa cinta.” Mama Mauren masih menangis. Alca melepaskan pelukannya. “Jangan merasa bersalah, Ma. Mamang aku akui jika awalnya aku tidak mencintai Ale, tapi sekarang aku mencintainya.” Alca mencoba meyakinkan Mama Mauren.Mama Mauren beralih menatap Ale. Tangannya membelai lembut wajah Ale. “Aku lupa jika menantu adalah anak, sampai aku tidak percaya jika apa yang ditinggalkan Dima akan dijaga. Maafkan Mama yang tidak
Mendapati pertanyaan itu Ale mengangguk. Dia memang sudah punya nama untuk anaknya. Alca menegakkan tubuhnya. Menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang istri. Ale menarik tangan Alca. Mengajaknya untuk duduk di tempat tidur. Dia segera meraih tangan suaminya. Menggenggamnya erat. “Kak, aku mau menamai anak ini kita dengan nama Dima. Apa kamu keberatan?” Ale menatap Alca penuh harap. Berharap sang suami mau menuruti keinginannya. Ale sengaja ingin menamai anaknya dengan nama mendiang suaminya. Agar nama itu selalu bersamanya. Untuk sesaat Alca terdiam. Sedang bahagianya, tiba-tiba sang istri meminta nama Dima untuk dipakai menamai anaknya. Bukan Alca tidak suka, tapi bayang-bayang Dima seolah menghantuinya terus. Tak akan pernah terlepas. Apalagi jika nama Dima itu akan selalu terucap setiap hari. “Bisakah kamu memberikan aku waktu.” Alca tidak bisa menjawab langsung. Dia ingin menyiapkan hatinya dulu. Ale pikir suaminya akan langsung setuju. Namun, ternyata tidak. Dia masih b
Alca menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Memandangi langit-langit kamar. “Kadang aku ingin egois, Dim. Mau memiliki Ale seutuhnya. Tanpa aku sadar, tanpamu aku tak akan bisa mendapatkan Ale.” Alca merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya cemburu dengan Dima. Saat memikirkan Dima, Alca teringat dengan buku harian milik Dima. Sudah lama sekali Alca tidak membaca buku harian itu. Dengan segera Alca memiringkan tubuhnya. Tangannya meraih laci yang berada di nakas. Mengambil buku harian di dalamnya. Alca segera membuka sambil memosisikan tubuhnya tengkurap. Mencari posisi nyaman untuk membaca.Halaman demi halaman dibuka. Alca mencari halaman berapa terakhir dibacanya. Saat dia mendapatkan, dia segera membacanya kembali. Dima menuliskan bagaimana pernikahannya dengan Ale. Seberapa bahagianya Dima saat menikah dengan Ale. Dima juga menuliskan jika dia ingin selalu membahagiakan Ale. Ale tidak memiliki siapa-siapa lagi. Orang tua angkatnya meninggalkan Ale. Sampai di hari perni
Alca tersenyum ketika melihat sang istri yang tampak baru bangun tidur. “Apa aku membangunkan kamu?” Alca sedikit panik ketika ternyata pintunya yang dibuka membangunkan sang istri. “Tidak, aku memang sudah bangun.” Ale berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Melihat sang istri yang sedang berusaha bangkit, Alca segera menghampiri sang istri. Membantu sang istri untuk bangun. Ale melihat suami yang membantunya. Ada perasaan senang ketika melihat sang suami yang mau membantunya. Alca membantu sang istri untuk duduk di tempat tidur. Alca ikut duduk di tempat tidur. Berada di samping sang istri. “Apa kamu menungguku?” tanya Alca tersenyum. “Iya, dan aku sampai ketiduran.” Ale mendudukkan pandangannya. Tadi Alca terlalu asyik membaca buku harian Dima. Sampai-sampai tak kunjung turun untuk menyusul sang istri. “Maaf, membuatmu menunggu.” Alca meraih dagu sang istri. Memandangi wajah sang istri. Dima benar-benar menggambarkan Ale sempurna hingga membuatnya benar-benar jatuh cinta.
“Aku mau makan kue dan secangkir coklat.” Ale memikirkan hal itu ketika kesedihan menghampiri. Coklat adalah minuman yang menenangkan. “Baiklah, aku akan mengajakmu ke tempat di mana kuenya enak.” Alca berdiri mengajak sang istri untuk pergi. “Kalau begitu aku bersiap dulu.” Ale jadi bersemangat. Setengah jam Ale dan Alca bersiap. Mereka begitu bersemangat sekali pergi berdua. Alca menggandeng sang istri dengan erat. Kemudian mengajaknya keluar. Saat keluar ternyata sudah ada Papa David yang sudah pulang. Ale dan Alca menyalami Papa David. “Kamu sudah pulang?” tanya Papa David. Dia tidak tahu jika Alca sudah pulang. Alca bingung harus menjawab apa.“Aku memintanya pulang, agar membantu membawa barang.” Mama Mauren menjelaskan pada sang suami. Mama Mauren sengaja tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya.“Oh ....” Papa David percaya saja. Mama Mauren bernapas lega. Karena suaminya percaya. Dia memang tidak mau sampai suaminya tahu. Lagi pula masalah Alca dan mantannya sudah se