Mendapati pertanyaan itu membuat Alca terdiam. Dia merasa bingung harus menjawab apa.“Zira, sebaiknya kamu istirahat. Lihatlah, wajahmu pucat sekali. Apa kamu mau Alca melihatmu seperti ini.” Mama Zaida mencoba membuat Alca tidak menjawab pertanyaan Zira. Alca sudah banyak berjanji tadi. Takut akan banyak beban jika menjawab lagi. Alca dan Zira mengalihkan pandangan pada Mama Zaida ketika wanita paruh baya itu bicara. “Apa aku berantakan sekali?” tanya Zira seraya melihat ke arah tubuhnya. “Jelas kamu berantakan sekali. Jadi kamu harus pergi mandi. Malu dekat-dekat Alca lagi.” Mama Zaida membujuk anaknya untuk pergi dari Alca. Ini cara agar Alca punya celah untuk pergi. “Al, aku akan mandi dulu. Aku mohon jangan pergi dulu.” Zira menatap Alca dengan penuh permohonan. Alca memilih diam. Dia takut ketika harus berjanji lagi dan tidak bisa menempati.“Iya, Alca akan menunggu.” Sebelum Alca menjawab, Mama Zaida langsung menjawab. “Baiklah, aku akan mandi dulu.” Zira langsung berdi
“Kamu meminta aku membencimu?” tanya Zira memastikan.“Iya, bencilah aku agar kamu bisa melupakan aku.” Alca memberanikan diri mengatakan hal itu. Walaupun sejujurnya berat untuknya. Zira tidak menyangka jika Alca akan memperlakukan dirinya seperti ini. “Kamu adalah Zira yang tangguh. Jadi bangkitlah dan lupakan aku. Aku menjagamu dengan baik. Tidak merusakmu sama sekali. Jadi aku yakin kamu akan mendapatkan pria lain yang lebih baik dariku.” Alca berharap jika Zira mau berhenti memaksa dirinya untuk bersamanya. “Aku ingin kamu berhenti untuk mengakhiri hidupmu. Bangkit dan teruslah jalani hidupmu dengan baik.” Penolakan Alca seperti terhadap dirinya membuatnya merasa semakin sakit. Ternyata hanya dirinya yang sangat mencintai. Tidak dengan Alca. “Pergilah!” Zira menangis. Menumpahkan kesedihan dengan tangisnya. “Pergi!” Zira berteriak mengusir Alca. Alca hanya bisa melihat kemarahan Zira itu. Memang itu yang dia inginkan. Semakin Zira membencinya. Semakin Zira akan dapat melupa
“Aku dengar kamu bicara di telepon.” Ale menjelaskan dari mana dia tahu. Alca langsung memiringkan tubuhnya agar dapat melihat wajah sang istri. Mendengarkan apa yang diceritakannya. “Tadi, aku mau menitip pesan untuk membeli kue, tapi tanpa sengaja aku dengar kamu bicara dengan seseorang, dan membahas Zira. Jadi aku pikir kamu bertemu dengan Zira.” Ale menjelaskan pada Alca. Alca merasa bersalah sekali karena tidak langsung izin Ale. Padahal dia sudah berjanji pada Ale. “Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku sendiri. Padahal aku sendiri janji jika tidak akan menemui Zira lagi.” Alca meraih tangan Ale meyakinkan istrinya itu. Ale sadar jika Alca sudah berjanji padanya. Namun, di saat seperti tadi, pastinya sulit untuknya tidak datang. Karena nyawa seseorang jadi taruhan.“Aku memaafkan kamu. Apalagi kamu menceritakan sebelum aku tanya.” Ale ingat bagaimana Alca yang menceritakan padanya sebelum bertanya. Alca merasa lega karena Ale tidak sama sekali marah padanya.“Apa ta
Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan. Sebentar lagi Ale akan melahirkan. Alca akhirnya mengalah untuk tidur di kamar Ale dan Dima. Dengan kesepakatan bersama, Ale melepas beberapa foto Dima yang terpasang di kamar. Terutama yang ada di dinding. Yaitu foto pernikahan Ale dan Dima. Alih-alih mengganti foto dengan foto Ale dan Alca, mereka membiarkan dinding tetap kosong. “Halo, Sayang. Papa tidak sabar bertemu denganmu.” Alca mendaratkan kecupan di perut Ale. Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan dan bisa melahirkan lebih awal dari tanggal perkiraan melahirkan atau lebih lewat dari tanggal perkiraan melahirkan. “Sabar, Papa. Sebentar lagi kita bertemu.” Ale tersenyum sambil membelai rambut Alca. Alca menegakkan kepalanya. Kemudian menatap sang istri. “Aku benar-benar berdebar-debar menunggu anak kita lahir.” “Jangan takut. Nanti aku jadi ikut takut.” Ale menekuk bibirnya. Dia merasa takut ketika suaminya ikut takut. Alca memikirkan ucapan sang istri. Jika dirinya t
“Aku ke sini untuk melihat seperti apa wanita yang menghancurkan hidupku.” Zira bicara lembut, tapi jelas menusuk. Ale yang mendengar itu pun langsung terperangah. Jantungnya terasa dihantam batu besar. Benar-benar di luar dugaannya Zira akan mengatakan seperti itu. Bibir Ale tertutup rapat. Tak berani berkata sepatah kata pun.“Aku menjalani hubungan dengan Alca sejak sekolah menengah atas. Sudah cukup lama aku menjalin hubungan. Ada banyak mimpi yang kami bangun selama ini. Namun, seketika hancur berkeping-keping.” Zira menahan sesak yang menyelimuti hatinya. Ale tidak berani menjawab apa-apa mengingat apa yang dikatakan Zira ada benarnya. Dia adalah pihak yang menghancurkan semua mimpi Zira.“Apa kamu tahu jika saat menikah denganmu Alca masih berhubungan denganku?” Zira menatap Ale dengan tatapan nanar. “Aku tidak tahu sebelumnya, dan aku baru tahu saat melihatmu di toko Kak Lolo.” Ale menjawab apa adanya. “Lalu apa yang kamu pikirkan saat itu?” Zira menatap tajam pada Ale.
Ale begitu terkejut ketika Mama Mauren berada di depan rumah. Pikirannya melayang memikirkan apakah mertuanya itu dengar yang dikatakan oleh Zira. Mama Mauren menatap Ale seraya mengambil ponselnya di dalam tas. Kemudian mencoba menghubungi seseorang. “Pulanglah sekarang!” perintah Mama Mauren itu seolah tak terbantahkan. Ale hanya terdiam ketika mendengar Mama Mauren bicara di dalam sambungan telepon. Dia merasa jika mertuanya itu pasti bicara pada suaminya. Dari nada bicara Mama Mauren yang ketus, membuat Ale yakin jika tadi Mama Mauren mendengar pembicaraannya dan Zira. “Ayo masuk!” Mama Mauren menarik kopernya. Mengajak Ale untuk masuk ke rumah. Ale benar-benar takut sekali. Karena mama mertuanya justru diam. Alih-alih bertanya padanya, dia justru diam saja. Tak mau membantah, Ale langsung bergegas masuk. Di dalam rumah Mama Mauren langsung memanggil asisten rumah tangga. Meminta asisten rumah tangga untuk membawa kopernya ke atas. Ale memilih duduk di sofa ruang keluarga
Mama Mauren langsung memeluk Alca. Dia menangis di pelukan Alca. “Maafkan Mama menempatkan kamu di situasi tidak nyaman. Membuatmu harus menikah karena keinginan Mama yang ingin mempertahankan apa yang dimiliki Ale. Pasti kamu tersiksa.” Mama Mauren menganggap Alca adalah anaknya juga. Namun, dia lupa jika sebagai orang tua, dia harusnya memikirkan bagaimana perasaan anaknya itu. “Ma.” Alca tidak menyangka jika reaksi mamanya akan seperti itu. Dia pikir mamanya akan marah, tapi ternyata tidak.“Mama tidak sama sekali memikirkan perasaanmu. Pasti tidak enak menikah tanpa cinta.” Mama Mauren masih menangis. Alca melepaskan pelukannya. “Jangan merasa bersalah, Ma. Mamang aku akui jika awalnya aku tidak mencintai Ale, tapi sekarang aku mencintainya.” Alca mencoba meyakinkan Mama Mauren.Mama Mauren beralih menatap Ale. Tangannya membelai lembut wajah Ale. “Aku lupa jika menantu adalah anak, sampai aku tidak percaya jika apa yang ditinggalkan Dima akan dijaga. Maafkan Mama yang tidak
Mendapati pertanyaan itu Ale mengangguk. Dia memang sudah punya nama untuk anaknya. Alca menegakkan tubuhnya. Menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang istri. Ale menarik tangan Alca. Mengajaknya untuk duduk di tempat tidur. Dia segera meraih tangan suaminya. Menggenggamnya erat. “Kak, aku mau menamai anak ini kita dengan nama Dima. Apa kamu keberatan?” Ale menatap Alca penuh harap. Berharap sang suami mau menuruti keinginannya. Ale sengaja ingin menamai anaknya dengan nama mendiang suaminya. Agar nama itu selalu bersamanya. Untuk sesaat Alca terdiam. Sedang bahagianya, tiba-tiba sang istri meminta nama Dima untuk dipakai menamai anaknya. Bukan Alca tidak suka, tapi bayang-bayang Dima seolah menghantuinya terus. Tak akan pernah terlepas. Apalagi jika nama Dima itu akan selalu terucap setiap hari. “Bisakah kamu memberikan aku waktu.” Alca tidak bisa menjawab langsung. Dia ingin menyiapkan hatinya dulu. Ale pikir suaminya akan langsung setuju. Namun, ternyata tidak. Dia masih b