Sesuai dengan rencana. Hari ini Ale dan Alca pergi untuk menemani Ale kelas ibu hamil. Alca juga merasa jika dia harus mempersiapkan diri untuk kelahiran anak Ale. Mengingat kelak anak itu juga akan menjadi anaknya. Saat masuk ke kelas. Sudah ada banyak pasangan yang datang. Seperti halnya Alca yang datang untuk menemani istri-istri mereka. “Selamat pagi calon Ibu dan Bapak. Terima kasih atas kehadirannya. Kelas hari ini kita akan belajar untuk mempersiapkan prosesi melahirkan. Kami dari team akan membagikan informasi-informasi apa saja yang harus Bapak dan Ibu lakukan jelang melahirkan.” Pelatih kali ini memberitahukan pada Ale, Alca, dan calon orang tua lainnya. Ale dan Alca mendengarkan dengan saksama. Pelatih memberitahu apa saja yang harus dipersiapkan jelang melahirkan. Tak hanya peralatan-peralatan untuk bayinya. Mereka memberitahu jika orang tua harus menyiapkan mental mereka. Terutama saat prosesi melahirkan. “Saat melahirkan pastinya Ibu dan Bapak tidak perlu panik. Ka
Ale melihat Alca yang sedang belajar memandikan bayi. Kemudian berlanjut memakaikan popok pada boneka yang tadi siang dibeli. Beberapa kali Alca tampak salah. Namun, dia mengulangnya lagi. Itu membuat Ale tersenyum. Belum lagi Alca yang bergumam sendiri membuat Ale merasa lucu. “Ternyata Kak Alca benar-benar menanti anak aku.” Ale bergumam. Merasa begitu bahagia sekali ketika Alca menanti anaknya. “Sepertinya gendongnya tadi begini.” Alca masih mencari posisi pas untuk menggendong anaknya. Dia masih merasa bingung memosisikan tangannya.Ale yang gemas perlahan masuk ke kamar. Kemudian meraih tangan Alca yang salah sewaktu memegang bayi. Ale yang tiba-tiba di belakangnya jelas membuat Alca begitu terkejut sekali. “Cara pegagangnya seperti ini.” Ale membenarkan cara pegang Alca. “Al.” Alca menatap Ale yang berada di belakangnya. Senyum Alca mengembang ketika mendapat arahan bagaimana menggendong yang benar dari istrinya.“Kak Alca fokus.” Ale menegur sang suami yang sedang melihat
Ale kini fokus pada kandungannya. Apalagi kini kandungannya sudah menginjak delapan bulan. Sudah mendekati hari melahirkan. Hari ini Ale memeriksakan kandungan. Tak sendiri dia ditemani oleh Alca. Suaminya itu meluangkan waktu di tengah kesibukannya. Apalagi pemeriksaan kandungan kali ini di jam kerja.“Kenapa Mama Mauren tidak bisa ikut mengantarkan?” Di dalam perjalanan, Alca bertanya pada istrinya itu. “Katanya papa tidak enak badan. Jadi mama tidak bisa ikut.” Tadi Mama Mauren menghubungi untuk mengabari jika tidak bisa ikut memeriksakan kandungan. “Kalau begitu kita ke rumah Mama Mauren saja besok saat aku libur. Sekalian kita melihat keadaan Papa David.” Alca memberikan ide pada sang istri. “Boleh-boleh.” Ale setuju sekali. Karena dia juga ingin mengecek keadaan papa mertuanya itu. Ale dan Alca sampai di rumah sakit. Mereka segera melakukan pendaftaran. Tadi Alca sudah mendaftarkan Ale lewat saluran telepon. Jadi kali ini hanya tinggal konfirmasi saja. Setelah urusan pen
“Zira mau bunuh diri?” tanya Alca memastikan.“Al, tolong. Sekali ini saja, Al. Tolong datang ke apartemen Zira. Tante tidak bisa membujuknya. Dia ingin melompat dari apartemen.” Mama Zaida benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ketakutan sekali. Alca benar-benar berada dalam dilema. Dia sudah janji pada Ale untuk tidak berhubungan dengan Zira lagi. Namun, ternyata mama Zira menghubunginya seperti ini. Membuatnya tidak tahu harus bagaimana lagi. “Al, sekali ini saja. Tante mohon.” Mama Zaida memohon dengan kesungguhan hati. “Baiklah, aku akan ke sana.” Alca akhirnya memutuskan untuk datang ke sana. Tak membuang waktu, akhirnya Alca segera ke apartemen Zira. Mencegah Zira untuk bunuh diri lagi.Di saat Alca pergi, Ale hanya terdiam di balik tembok yang mengarah ke ruang tamu. Tadi Ale berniat untuk menitip pesan pada sang suami. Meminta untuk membelikan kue untuknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alca yang mengatakan jik
Alca segera bergegas ke unit apartemen Zira. Dia berlari-lari ke lift agar segera dapat mencegah Zira melakukan hal yang tak terduga. Akhirnya Alca sampai juga di apartemen Zira. Dia berusaha membuka apartemen Zira dengan kode yang diketahuinya. Beruntung kode apartemen Zira belum dibuka. Saat membuka pintu apartemen, pemandangan pertama adalah Zira yang berada di balkon. Dia duduk di sana. Seolah tengah bersiap untuk naik ke pagar dan meloncat. Tampak Mama Zaida dari kejauhan menjaga anaknya. Pastinya wanita paruh baya itu tidak bisa membujuk sang anak. Alca mengayunkan langkahnya ke arah Zira. Dilihatnya wanita itu tampak kacau sekali. Matanya bengkak. Entah sudah berapa banyak air mata yang dibuangnya. Melihat hal itu, Alca benar-benar tidak tega sama sekali. “Ra.” Alca mencoba memanggil Zira.Zira langsung menangis ketika melihat Alca. Rasa rindunya membuatnya segera berdiri untuk menghampiri Alca.Mama Zaida bersyukur sekali Zira mau mengayunkan langkahnya menjauh dari balko
Mendapati pertanyaan itu membuat Alca terdiam. Dia merasa bingung harus menjawab apa.“Zira, sebaiknya kamu istirahat. Lihatlah, wajahmu pucat sekali. Apa kamu mau Alca melihatmu seperti ini.” Mama Zaida mencoba membuat Alca tidak menjawab pertanyaan Zira. Alca sudah banyak berjanji tadi. Takut akan banyak beban jika menjawab lagi. Alca dan Zira mengalihkan pandangan pada Mama Zaida ketika wanita paruh baya itu bicara. “Apa aku berantakan sekali?” tanya Zira seraya melihat ke arah tubuhnya. “Jelas kamu berantakan sekali. Jadi kamu harus pergi mandi. Malu dekat-dekat Alca lagi.” Mama Zaida membujuk anaknya untuk pergi dari Alca. Ini cara agar Alca punya celah untuk pergi. “Al, aku akan mandi dulu. Aku mohon jangan pergi dulu.” Zira menatap Alca dengan penuh permohonan. Alca memilih diam. Dia takut ketika harus berjanji lagi dan tidak bisa menempati.“Iya, Alca akan menunggu.” Sebelum Alca menjawab, Mama Zaida langsung menjawab. “Baiklah, aku akan mandi dulu.” Zira langsung berdi
“Kamu meminta aku membencimu?” tanya Zira memastikan.“Iya, bencilah aku agar kamu bisa melupakan aku.” Alca memberanikan diri mengatakan hal itu. Walaupun sejujurnya berat untuknya. Zira tidak menyangka jika Alca akan memperlakukan dirinya seperti ini. “Kamu adalah Zira yang tangguh. Jadi bangkitlah dan lupakan aku. Aku menjagamu dengan baik. Tidak merusakmu sama sekali. Jadi aku yakin kamu akan mendapatkan pria lain yang lebih baik dariku.” Alca berharap jika Zira mau berhenti memaksa dirinya untuk bersamanya. “Aku ingin kamu berhenti untuk mengakhiri hidupmu. Bangkit dan teruslah jalani hidupmu dengan baik.” Penolakan Alca seperti terhadap dirinya membuatnya merasa semakin sakit. Ternyata hanya dirinya yang sangat mencintai. Tidak dengan Alca. “Pergilah!” Zira menangis. Menumpahkan kesedihan dengan tangisnya. “Pergi!” Zira berteriak mengusir Alca. Alca hanya bisa melihat kemarahan Zira itu. Memang itu yang dia inginkan. Semakin Zira membencinya. Semakin Zira akan dapat melupa
“Aku dengar kamu bicara di telepon.” Ale menjelaskan dari mana dia tahu. Alca langsung memiringkan tubuhnya agar dapat melihat wajah sang istri. Mendengarkan apa yang diceritakannya. “Tadi, aku mau menitip pesan untuk membeli kue, tapi tanpa sengaja aku dengar kamu bicara dengan seseorang, dan membahas Zira. Jadi aku pikir kamu bertemu dengan Zira.” Ale menjelaskan pada Alca. Alca merasa bersalah sekali karena tidak langsung izin Ale. Padahal dia sudah berjanji pada Ale. “Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku sendiri. Padahal aku sendiri janji jika tidak akan menemui Zira lagi.” Alca meraih tangan Ale meyakinkan istrinya itu. Ale sadar jika Alca sudah berjanji padanya. Namun, di saat seperti tadi, pastinya sulit untuknya tidak datang. Karena nyawa seseorang jadi taruhan.“Aku memaafkan kamu. Apalagi kamu menceritakan sebelum aku tanya.” Ale ingat bagaimana Alca yang menceritakan padanya sebelum bertanya. Alca merasa lega karena Ale tidak sama sekali marah padanya.“Apa ta