Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan.
Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas. "Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah. "Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi. "Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu. Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh. Bukan untuk menguping pembicaraan Arumi dan Bu Melinda, tapi karena ia cemas dengan kondisi fisik Arumi yang akhir-akhir ini menjadi lemah. "Mbok, saya mau istirahat dulu!" pamit Arumi sambil mengumpulkan tenaga yang ada untuk menggerakkan kedua kakinya. "Saya antar, Bu!" Mbok Piah dengan sigap hendak membantu menopang tubuh Arumi. Namun, Arumi menolak dengan halus. Ia masih berusaha meyakinkan Mbok Piah, bahwa ia masih kuat untuk berjalan sampai ke kamarnya. Dengan langkah tertatih, Arumi akhirnya sampai juga ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Sesampainya di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan kembali menangis sejadinya. Ia tak menduga kalau pernikahan yang sangat indah dahulu, kini sudah berubah menjadi begitu buruk. Orang tua Prayoga yang dulu sangat menyayanginya selayaknya anak sendiri, dan selalu mendukung setiap hal yang Arumi lakukan, kini perlahan tapi pasti menunjukkan perubahan yang signifikan. Tak ada lagi dukungan dan kasih sayang, yang ada hujatan demi hujatan yang terus dilayangkan pada Arumi. Tuntutan untuk segera memiliki anak, membuat Arumi menjadi sangat tertekan. Ia bahkan menjadi tak fokus lagi dalam bekerja, karena terus kepikiran akan hal itu. Entah bagaimana ia bisa mengatasi semua masalah itu, yang dari hari ke hari terasa kian bertambah rumit. _____ “Rum?" panggil Pria bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang menggerakkan perlahan tubuh Arumi yang terbaring di atas kasur. "Mas Yoga?!!" Arumi membuka perlahan kedua matanya dan mencoba membuka lebih lebar lagi untuk memastikan siapa orang yang sudah membuat ia terjaga dari tidurnya. "Kata Mbok Piah, Ibu tadi kesini?" tanya Prayoga, suami Arumi yang baru pulang dari kantor, sambil meletakkan tas yang ia bawa, di atas meja. Arumi segera bangun dari tidurnya, ia merasa senang karena Prayoga sudah pulang. Ia memang sejak tadi sudah tak sabar menunggu suaminya pulang, karena ia ingin menceritakan tentang apa yang terjadi tadi pagi antara ia dan Bu Melinda. "Mas, aku jadi khawatir, sepertinya Ibu memang benar sudah lelah menunggu program kehamilan kita berhasil" Arumi mulai mengadu pada suaminya tentang kegelisahan yang selama ini ia rasakan. Prayoga belum menanggapi ucapan Arumi itu, ia masih sibuk menikmati segelas jus jeruk dingin yang tadi dibuatkan oleh Mbok Piah. "Mas..?" "Iya, aku dengar" jawab Prayoga santai, seolah ia tak terbebani sama sekali dengan kegelisahan Arumi itu. "Aku takut Mas" keluh Arumi. Prayoga menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja di hadapannya. "Apa yang kau takutkan?" "Ibu tadi sangat marah padaku" Mendengar ucapan Arumi, Prayoga menatap sang istri dalam-dalam, seolah ia sedang berusaha menerka apa yang terjadi. "Marah?!" "Iya Mas, Ibu marah karena menganggap aku tak serius menjalani program kehamilan itu" "Ah!, kalau soal itu biarkan saja, abaikan!' ucap Prayoga sambil melepas kaos kakinya. "Abaikan katamu?!" Arumi tak menduga Prayoga akan sesantai itu menanggapi keluhannya dan seolah menganggap ketakutan Arumi itu sebagai hal yang tak penting. "Mana bisa aku mengabaikan hal sepenting itu, Ibu sudah keterlaluan kali ini Mas!" emosi Arumi mulai naik. "Apa kau bilang?!!" kedua mata Prayoga melotot saat mendengar Ibunya dimaki oleh Arumi. Arumi yang sadar jika suaminya mulai menunjukkan sikap yang tak biasa akhir-akhir ini merasa tersudut dengan reaksi Prayoga. Tapi ia tetap berusaha untuk mengeluarkan semua beban yang ada dipikirannya. "Jangan asal bicara kau Rum!" sergah Prayoga yang tak terima dengan pernyataan Arumi. "Aku tak asal bicara Mas!. Ibu memang sudah keterlaluan, bukankah selama ini beliau tahu kalau kita berdua sama-sama sehat dan subur, tapi dengan tega Ibu bilang kalau akulah penyebab kita tak bisa memiliki keturunan. Ibu bilang aku mandul Mas" suara Arumi mulai parau, rasa sakit yang begitu terasa membuat ia tak kuasa menahan rasa sedihnya. "Iya, aku juga sependapat denganmu, kita memang sehat Rum, tapi, lima tahun itu waktu yang sangat lama Rum" "Kita mungkin bisa sabar untuk menunggu lebih lama lagi, tapi Ibu dan Ayah tidak Rum. Mereka sudah semakin tua, sedang ada lini bisnis yang harus tetap diurus dan dikembangkan, oleh siapa lagi kalau bukan oleh keluarga kami, keturunan kami!" Prayoga mencoba memberi penjelasan pada Arumi. "Ja-jadi, jadi, apa maksudmu Mas?" Arumi kian gusar setelah mendengar pendapat Prayoga. Prayoga bangkit dari duduknya dsn lalu mendekati Arumi yang masih duduk di tepi tempat tidur. "Maaf Rum, tapi, sepertinya dengan berat hati aku harus coba saran Ibu" ucap Prayoga lirih, ia sebenarnya tak suka mengatakan itu, tapi jika permintaan sang Ibu agar ia menikah lagi tak segera dituruti, yang ada masalah pasti tak akan kunjung usai. "Saran?, sa-saran apa Mas?!" tanya Arumi penuh rasa takut. Prayoga menatap Arumi penuh rasa bersalah. "Ibu, Ibu..." lidah Prayoga terasa sangat berat untuk mengatakan yang sebenarnya. "Ibu apa Mas?!!" desak Arumi. Prayoga masih belum juga kuasa untuk jujur pada Arumi. "Ayo Mas, katakan!!" "Maaf Rum, sekali lagi aku sungguh minta maaf" "Iya, tapi apa Mas?, apa yang mereka inginkan?!" perasaan Arumi kian bercampur aduk tak karuan. "Ibu ingin aku, e, aku untuk me-menikah lagi" ("Bum!!") seketika Arumi merasa seperti langit runtuh dan menimpa tubuhnya hingga hancur berkeping-keping setelah mendengar kejujuran dari Prayoga. Ia sungguh tak menduga jika Bu Melinda justru berencana untuk membuat rumah tangganya bersama Prayoga hancur. "Su-sungguh Mas?" tanya Arumi dengan mata yang mulai mengembun. "Maaf Rum, ini sungguh bukan keinginanku, semua ini Ibu yang inginkan!" Prayoga mencoba meyakinkan Arumi. Arumi menggeleng lemah, ia tak percaya Prayoga akhirnya akan menyerah dari pergulatan ini. "Aku, aku sejujurnya tak ingin Rum, kau tahu, aku sangat mencintaimu Rum" "Percayalah, aku hanya ingin hidup denganmu, tapi, Ibu dan Ayah ingin segera memiliki sang pewaris dariku" Prayoga mencoba membela diri. "Aku terpaksa Rum" Arumi sekali lagi hanya bisa menggeleng lemah dan membiarkan air mata tumpah membasahi pipinya, ia merasa dunianya saat ini sudah hancur karena satu-satunya orang yang selama ini mendukung dirinya, sekarang justru mengkhianatinya. ______Arumi mondar-mandir di dalam ruang kerjanya di butik. Ia masih kepikiran soal pengakuan mengejutkan Prayoga semalam. Hati Arumi sungguh hancur, ia tak menyangka jika ternyata Prayoga akan setuju dengan ide konyol Bu Melinda untuk menikah lagi. Ketakutan Arumi sepertinya akan benar-benar terwujud. Rumah tangga yang sudah dibangun selama lima tahun, akan segera hancur. Prayoga yang selama ini berjuang bersamanya, kini mulai menyerah dan terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya. "Siapa?!" lamunan Arumi pecah saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk. "Maaf Bu" tampak seorang wanita berdiri di ambang pintu saat pintu dibuka. "Ada apa Ainah?" tanya Arumi pada Ainah, resepsionis di butik milik Arumi. "Ada orang yang datang untuk melamar pekerjaan, sepertinya lowongan yang kita sebar di sosial media sudah dibaca oleh para penggunanya " "Oh begitu, suruh dia masuk!" pinta Arumi sambil melenggang kembali ke meja kerjanya. Untuk sejenak ia harus menepikan urusan rumah tangganya.
Arumi merasa lega karena Selia akhirnya sepakat untuk menerima kontrak pernikahan itu. Dan setelah Selia menandatangani surat itu, Arumi pun langsung mengganjarnya dengan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar bagi seorang Selia yang berasal dari keluarga biasa. Seolah sedang berpacu dengan waktu, Arumi pun segera mengajak suaminya untuk pergi ke rumah Bu Melinda, untuk memberitahu tentang kabar itu. "Em, lumayan, cantik dan sepertinya ia juga gadis yang baik" puji Bu Melinda saat Arumi menyodorkan selembar potret yang merupakan potret Selia. Arumi merasa cemburu saat mendengar Bu Melinda memuji Selia, tapi meski demikian ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus tetap diam, demi memuluskan rencana yang sudah ia rancang sendiri. "Bagaimana menurutmu Yoga?" Bu Melinda memberikan foto Selia pada Prayoga yang duduk dihadapannya. Prayoga melirik kearah Arumi, seolah hendak meminta izin, tapi Arumi hanya diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau saat ini. "Terserah I
"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan. "Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, ka
"Rum, hari ini aku mau antar Selia ke Dokter, ini jadwalnya pemeriksaan" ucap Prayoga sambil mengganti pakaian seusai mandi. "Tapi hari ini, kan kita sudah sepakat untuk cari lokasi buat perayaan ulang tahunku Mas?" tanya Arumi cemas. "Iya, aku tahu. Tapi ini sudah jadwalnya Selia periksa Rum!" Prayoga mencoba mempertahankan pendapatnya. "Ya, itu bisa nanti, kan setelah kita pulang?, lagian juga paling nggak lama kok" "Ya nggak bisa gitu dong!. Kalau acara ulang tahun itu bisa dirayakan kapan aja, tapi kalau jadwal pemeriksaan, itu nggak bisa di tunda lagi. Kalau hari ini batal, kita harus nunggu jadwal minggu depan" tolak Prayoga. "Kamu bisa cari Dokter lain, kan Mas?" "Nggak semudah itu dong!" "Kenapa?, bukankah di kota ini ada banyak Dokter kandungan yang bagus?" "Iya, itu benar. Tapi sejak awal Selia udah sama Dokter Febbi, jadi kalau sampai ganti Dokter lain, aku khawatir nggak cocok lagi sama Selia" "Hah?!, serius Mas?, se khawatir itu kamu sama Selia?" Arumi m
Arumi gusar karena berulang kali ia mencoba menelpon suaminya, tapi tak dijawab. Pesan chat yang ia kirim juga tak satupun yang dibaca apalagi dibalas oleh Prayoga. Arumi sungguh tak menduga, jia ternyata Prayoga berubah dengan begitu cepat setelah kehamilan Selia. Cinta yang selama lima tahun ini sepenuhnya menjadi milik Arumi, seolah kini benar-benar sudah beralih pada Selia seutuhnya. Kehamilan Selia sudah merubah kehidupan Arumi menjadi seperti di neraka. Prayoga yang biasanya selalu bersemangat saat ulang tahun Arumi sudah dekat, menyiapkan acara atau hadiah-hadiah untuk menyenangkan Arumi, kini justru cuek dan bahkan menganggap ulang tahun Arumi sebagai sesuatu yang tak penting lagi." Jadi bagaimana Bu?, apa ibu jadi memesan tempat ini?" syara seorang karyawan cafe memecah kepenatan Arumi."Oh, i-iya, ja-jadi!" jawab Arumi tergagap."Kalau begitu, kapan Ibu akan menggunakan tempat ini?""Em, besok malam, saya akan berulang tahun besok ""Oke, pukul berapa?""Pukul berapa ya..?
"Mana Selia Mbok?" tanya Prayoga pada Mbok Piah yang sedang menghidangkan makanan untuk sarapan pagi.Mbok Piah tak langsung menjawab pertanyaan Prayoga itu, sebab disitu juga ada Arumi, ia merasa tak enak pada Arumi.Prayoga sepertinya juga sadar jika Mbok Piah enggan menjawab pertanyaannya karena segan dengan Arumi."Mbok??""E, iya, maaf Pak, saya nggak tahu" jawab Mbok Piah singkat, sambil berpamitan meminta izin untuk kembali ke dapur, karena masih ada makanan yang belum disajikan."Pasti kamu, kan yang udah nyuruh Mbok Piah bersikap begitu?!" tuduh Prayoga pada Arumi yang sedang duduk menghadap meja makan yang sudah berisi beberapa piring makanan.Arumi diam, tapi ia melirik tajam pada suaminya itu."Arumi, jawab aku!!" syara Prayoga meninggi.Akhir-akhir ini Prayoga memang sering bersikap agak keras pada Arumi. Berbeda jauh saat dirinya belum menikah dengan Selia. Terlebih saat Selia hamil, sikap Prayoga mulai berubah drastis. Ia jadi sering mengabaikan Arumi dan lebih mengutam
Arumi tak kuasa menahan rasa sedih dan sekaligus malu. Prayoga ternyata tak datang ke pesta ulang tahun Arumi. Beruntung para tamu yang datang hanyalah karyawan butik Arumi, sehingga mereka tak ada yang berani mempertanyakan keberadaan suami Arumi itu. Meski Arumi yakin, di dalam hati mereka pasti bertanya tentang hal itu."Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan!!" umpat Arumi sambil melangkah cepat menuju ke kamar.Dengan agak kasar ia membuka pintu kamarnya.Betapa terkejutnya Arumi, saat ia mendapati tak ada sosok Prayoga di kamar itu.Dengan darah yang mendidih menahan amarah, Arumi mempercepat langkahnya, kali ini ia menuju ke kamar lain di rumah itu, apalagi kalau bukan nanar Selia."Selia!!"Tok!, tok!, tok!!" Arumi terus menggedor pintu kamar Selia."Sel??!!!" panggil Arumi setengah berteriak.Mendengar teriakan Arumi, Mbok Piah yang kamarnya tak jauh dari kamar Selia, segera keluar kamar dan menghampiri Arumi."Ibu sudah pulang?" tanya Mbok Piah sambil mengikat rambutnya yang
"Mas Yoga??!!" langkah Arumi terhenti seketika di ambang pintu sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar tidur. Kakinya gemetar sehingga nyaris tak mampu menopang berat tubuh Arumi. "Rum??!!" Prayoga rupanya ada di dalam kamar itu. Ketika melihat Arumi sudah berdiri di ambang pintu, pria tampan itu bergegas menghampirinya "Ngapain kamu kesini?!" tanya Prayoga sambil menarik lengan Arumi agar menjauh dari tempat itu. "Lepaskan aku Mas!!" Arumi berontak, ia merasa seperti orang asing di rumah yang selama lima tahun ini menjadi rumah kedua baginya. "Husstt!!!" jangan berisik, nanti semua orang pada kebangun!!" ucap Prayoga yang terus menarik lengan Arumi, seperti tuan rumah yang menangkap basah maling di rumahnya, Prayoga dengan cepat membawa Arumi turun lagi ke lantai bawah. "Mas Yoga, lepaskan aku!, sakit Mas!!" iba Arumi yang mulai merasa lengannya nyeri karena Prayoga mencengkeram cukup kuat. Setibanya di lantai bawah, tepatnya di ruang tamu utama, Prayoga langsung me
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia
Arumi tertegun, ia tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk sekedar berpikir pun itu terasa sangat sulit baginya. Apa yang baru saja Selia katakan padanya sungguh membuat ia bagai di benamkan dalam lautan es, membeku dan tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana Bu?, apa Ibu bisa menolong saya?" suara Selia memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat alam sadar Arumi kembali seketika dari lamunannya. "Bu?!" "I-iya, iya, ada apa?!" Arumi tergagap. "Ibu bersedia membantu saya?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya. "Em, itu, aku akan pikir-pikir dulu" jawab Arumi sedapatnya. "Tapi Bu, saya nggak punya banyak waktu, Bu Melinda sepertinya sangat ingin sekali memisahkan saya dan Mas Yoga" suara Selia parau, raut wajahnya juga terlihat sedih, membuat Arumi sempat merasa iba. "Tapi kenapa?, bukankah kau baru saja melahirkan anak?" Arumi bingung. "Iya, tapi.." Selia tak melanjutkan kalimatnya, seperti ada beban tersendiri yang membuat ia ragu untuk terus berbicara. "Tapi apa?" "Anak
"Mas, tolong katakan pada Ibu tentang pernikahan kita" Selia memohon pada Prayoga. "Tolonglah Sel, aku masih berduka, jangan paksa aku!" Prayoga mengemasi beberapa dokumen, ia akan pergi ke kantor setelah lebih dari satu Minggu ia cuti. "Tapi Mas, kau udah janji, kan?" Selia mendesak. "Selia, tolonglah, jangan buat aku tambah pusing!" nada bicara Prayoga mulai meninggi, ia mulai kesal karena Selia sepertinya sama sekali tak perduli dengan kematian sang anak. "Jangan bilang kau akan ingkar janji Mas" Selia mendekati Prayoga dan menatapnya penuh curiga. Prayoga tak bergeming, ia tetap sibuk dengan aktivitasnya, bersiap hendak ke kantor. Merasa tak dihargai, Selia kian menjadi, ia mulai gusar. "Mas!, jawab aku!. Kapan kau akan nikahi aku?!" desak Selia sambil terus mengekori Prayoga. "Selia!, stop!" hardik Prayoga. Selia kaget dan menatap tajam pada Prayoga, ia tak menduga Prayoga akan membentaknya. "Kau dengarkan aku sekarang, aku baru saja kehilangan anakku.." "Ka
"Cucuku, ngngng!!" rintihan tangis yang menyayat terus terdengar dari bibir Bu Melinda. Wanita itu tak henti-hentinya menangis sepanjang prosesi pemakaman. Bahkan setelah jasad sang cucu selesai di kuburkan, dan orang-orang juga sudah mulai pamit pulang satu-persatu, hingga hanya menyisakan keluarga inti saja, Bu Melinda tetap tak menghentikan tangisnya. Harapannya untuk memiliki sang pewaris kini telah kandas. Anak yang dinanti selama ini dengan begitu banyak pengharapan, kini harus pergi untuk selamanya, bahkan sebelum ia sempat menggendongnya walau untuk sebentar. "Bu, sudahlah, jangan ditangisi terus, kita harus merelakan dengan ikhlas agar ia tenang di sana" Pak Harun mencoba membujuk sang istri yang masih duduk bersimpuh di dekat nisan. "Nggak Yah, Ibu nggak bisa merelakan begitu saja!" tolak Bu Melinda disela Isak tangisnya. "Tapi dia sudah pergi, meski Ibu nggak reka, cucu kita nggak akan kembali lagi Bu" tegas Pak Harun. "Jadi, Ibu nggak usah terus meratap seperti i
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
Prayoga merasa hancur seketika setelah mendengar penjelasan sang Dokter. Anaknya yang baru lahir ke dunia beberapa menit lalu dinyatakan dalam kondisi mengkhawatirkan. Belum lagi istri sirinya, Selia, yang juga di diagnosa memiliki masalah dengan rahimnya paska melahirkan. Kondisi Selia tak kalah buruk dibandingkan dengan kondisi anak ya, keduanya harus segera mendapatkan tindakan medis, karena jika tidak, terkhusus sang anak nyawanya bisa terancam. Tak ada pilihan bagi Prayoga selain dari menandatangani surat pernyataan setuju untuk tindakan medis bagi keduanya. Waktu tak bisa menunggu terlalu lama, ia bahkan tak sempat memberitahu pada orang tuanya tentang hal itu. "Yoga, mana cucu Ibu?, Ibu nggak sabar pengen lihat!" Bu Melinda segera mencecar Prayoga ketika melihat puteranya itu berjalan kearahnya. "Iya Nak, mana bayinya, kok kita nggak diberi kesempatan untuk melihat sih?" Pak Harun juga sepertinya tak sabar ingin melihat cucu pertamanya itu. Prayoga tak menjawab, ia seger
Sementara itu di rumah sakit pusat kota. "Mas, aku takut" bisik Selia pada Prayoga. "Kamu nggak usah takut, ada aku disini, semua akan baik-baik saja" Prayoga berusaha menguatkan Selia, meski ia sendiri sebenarnya juga didera rasa takut. Seumur hidup, ia belum pernah masuk ke ruang operasi. Melihat ruangan yang dipenuhi oleh peralatan medis, dan aroma obat yang begitu menusuk hidung, membuat Prayoga merasa pusing. Tapi , ia tak boleh memperlihatkan rasa tak nyamannya itu. Demi Selia, Prayoga harus kuat dan terlihat baik-baik saja. Tak berselang lama, beberapa petugas medis masuk. Mereka sudah menggunakan pakaian operasi lengkap. Melihat hal itu, Prayoga kian tegang. Begitu juga Selia, ia terlihat panik. "Bagaimana Ibu, kita bisa mulai operasinya?" tanya seorang petugas medis yang merupakan dokter yang akan mengepalai operasi kelahiran itu. "E, Dokter, ini nggak sakit, kan?" tanya Selia yang tak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Mendegar pertanyaan Selia, Dokter itu terseny