Share

Chapter 2

Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan.

Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas.

"Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah.

"Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi.

"Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu.

Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh. Bukan untuk menguping pembicaraan Arumi dan Bu Melinda, tapi karena ia cemas dengan kondisi fisik Arumi yang akhir-akhir ini menjadi lemah.

"Mbok, saya mau istirahat dulu!" pamit Arumi sambil mengumpulkan tenaga yang ada untuk menggerakkan kedua kakinya.

"Saya antar, Bu!" Mbok Piah dengan sigap hendak membantu menopang tubuh Arumi. Namun, Arumi menolak dengan halus. Ia masih berusaha meyakinkan Mbok Piah, bahwa ia masih kuat untuk berjalan sampai ke kamarnya.

Dengan langkah tertatih, Arumi akhirnya sampai juga ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Sesampainya di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan kembali menangis sejadinya.

Ia tak menduga kalau pernikahan yang sangat indah dahulu, kini sudah berubah menjadi begitu buruk. Orang tua Prayoga yang dulu sangat menyayanginya selayaknya anak sendiri, dan selalu mendukung setiap hal yang Arumi lakukan, kini perlahan tapi pasti menunjukkan perubahan yang signifikan.

Tak ada lagi dukungan dan kasih sayang, yang ada hujatan demi hujatan yang terus dilayangkan pada Arumi. Tuntutan untuk segera memiliki anak, membuat Arumi menjadi sangat tertekan. Ia bahkan menjadi tak fokus lagi dalam bekerja, karena terus kepikiran akan hal itu.

Entah bagaimana ia bisa mengatasi semua masalah itu, yang dari hari ke hari terasa kian bertambah rumit.

_____

“Rum?" panggil Pria bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang menggerakkan perlahan tubuh Arumi yang terbaring di atas kasur.

"Mas Yoga?!!" Arumi membuka perlahan kedua matanya dan mencoba membuka lebih lebar lagi untuk memastikan siapa orang yang sudah membuat ia terjaga dari tidurnya.

"Kata Mbok Piah, Ibu tadi kesini?" tanya Prayoga, suami Arumi yang baru pulang dari kantor, sambil meletakkan tas yang ia bawa, di atas meja.

Arumi segera bangun dari tidurnya, ia merasa senang karena Prayoga sudah pulang. Ia memang sejak tadi sudah tak sabar menunggu suaminya pulang, karena ia ingin menceritakan tentang apa yang terjadi tadi pagi antara ia dan Bu Melinda.

"Mas, aku jadi khawatir, sepertinya Ibu memang benar sudah lelah menunggu program kehamilan kita berhasil" Arumi mulai mengadu pada suaminya tentang kegelisahan yang selama ini ia rasakan.

Prayoga belum menanggapi ucapan Arumi itu, ia masih sibuk menikmati segelas jus jeruk dingin yang tadi dibuatkan oleh Mbok Piah.

"Mas..?"

"Iya, aku dengar" jawab Prayoga santai, seolah ia tak terbebani sama sekali dengan kegelisahan Arumi itu.

"Aku takut Mas" keluh Arumi.

Prayoga menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja di hadapannya.

"Apa yang kau takutkan?"

"Ibu tadi sangat marah padaku"

Mendengar ucapan Arumi, Prayoga menatap sang istri dalam-dalam, seolah ia sedang berusaha menerka apa yang terjadi.

"Marah?!"

"Iya Mas, Ibu marah karena menganggap aku tak serius menjalani program kehamilan itu"

"Ah!, kalau soal itu biarkan saja, abaikan!' ucap Prayoga sambil melepas kaos kakinya.

"Abaikan katamu?!" Arumi tak menduga Prayoga akan sesantai itu menanggapi keluhannya dan seolah menganggap ketakutan Arumi itu sebagai hal yang tak penting.

"Mana bisa aku mengabaikan hal sepenting itu, Ibu sudah keterlaluan kali ini Mas!" emosi Arumi mulai naik.

"Apa kau bilang?!!" kedua mata Prayoga melotot saat mendengar Ibunya dimaki oleh Arumi.

Arumi yang sadar jika suaminya mulai menunjukkan sikap yang tak biasa akhir-akhir ini merasa tersudut dengan reaksi Prayoga.

Tapi ia tetap berusaha untuk mengeluarkan semua beban yang ada dipikirannya.

"Jangan asal bicara kau Rum!" sergah Prayoga yang tak terima dengan pernyataan Arumi.

"Aku tak asal bicara Mas!. Ibu memang sudah keterlaluan, bukankah selama ini beliau tahu kalau kita berdua sama-sama sehat dan subur, tapi dengan tega Ibu bilang kalau akulah penyebab kita tak bisa memiliki keturunan. Ibu bilang aku mandul Mas" suara Arumi mulai parau, rasa sakit yang begitu terasa membuat ia tak kuasa menahan rasa sedihnya.

"Iya, aku juga sependapat denganmu, kita memang sehat Rum, tapi, lima tahun itu waktu yang sangat lama Rum"

"Kita mungkin bisa sabar untuk menunggu lebih lama lagi, tapi Ibu dan Ayah tidak Rum. Mereka sudah semakin tua, sedang ada lini bisnis yang harus tetap diurus dan dikembangkan, oleh siapa lagi kalau bukan oleh keluarga kami, keturunan kami!" Prayoga mencoba memberi penjelasan pada Arumi.

"Ja-jadi, jadi, apa maksudmu Mas?" Arumi kian gusar setelah mendengar pendapat Prayoga.

Prayoga bangkit dari duduknya dsn lalu mendekati Arumi yang masih duduk di tepi tempat tidur.

"Maaf Rum, tapi, sepertinya dengan berat hati aku harus coba saran Ibu" ucap Prayoga lirih, ia sebenarnya tak suka mengatakan itu, tapi jika permintaan sang Ibu agar ia menikah lagi tak segera dituruti, yang ada masalah pasti tak akan kunjung usai.

"Saran?, sa-saran apa Mas?!" tanya Arumi penuh rasa takut.

Prayoga menatap Arumi penuh rasa bersalah.

"Ibu, Ibu..." lidah Prayoga terasa sangat berat untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Ibu apa Mas?!!" desak Arumi.

Prayoga masih belum juga kuasa untuk jujur pada Arumi.

"Ayo Mas, katakan!!"

"Maaf Rum, sekali lagi aku sungguh minta maaf"

"Iya, tapi apa Mas?, apa yang mereka inginkan?!" perasaan Arumi kian bercampur aduk tak karuan.

"Ibu ingin aku, e, aku untuk me-menikah lagi"

("Bum!!")

seketika Arumi merasa seperti langit runtuh dan menimpa tubuhnya hingga hancur berkeping-keping setelah mendengar kejujuran dari Prayoga.

Ia sungguh tak menduga jika Bu Melinda justru berencana untuk membuat rumah tangganya bersama Prayoga hancur.

"Su-sungguh Mas?" tanya Arumi dengan mata yang mulai mengembun.

"Maaf Rum, ini sungguh bukan keinginanku, semua ini Ibu yang inginkan!" Prayoga mencoba meyakinkan Arumi.

Arumi menggeleng lemah, ia tak percaya Prayoga akhirnya akan menyerah dari pergulatan ini.

"Aku, aku sejujurnya tak ingin Rum, kau tahu, aku sangat mencintaimu Rum"

"Percayalah, aku hanya ingin hidup denganmu, tapi, Ibu dan Ayah ingin segera memiliki sang pewaris dariku" Prayoga mencoba membela diri.

"Aku terpaksa Rum"

Arumi sekali lagi hanya bisa menggeleng lemah dan membiarkan air mata tumpah membasahi pipinya, ia merasa dunianya saat ini sudah hancur karena satu-satunya orang yang selama ini mendukung dirinya, sekarang justru mengkhianatinya.

______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status