"Sudah ke Dokter?!" tanya seorang wanita separuh baya yang sedang duduk dengan anggun di sebuah sofa.
Di hadapan wanita itu, seorang wanita berwajah ayu terduduk dengan wajah pucat, seperti orang yang sedang ketakutan. Sedangkan wanita yang duduk di sofa itu terus menatap tajam ke arah wanita muda itu. “Sudah, Bu” jawab wanita muda itu pelan. Namanya Arumi Syafillah, istri dari anak Bu Melinda, mertuanya yang kini sedang menatapnya setajam silet, Prayoga Harun. "Oh, baguslah kalau begitu!" seloroh Bu Melinda dengan nada bicara yang sinis. Ia menyilangkan satu kakinya di atas kakinya yang lain sebelum kemudian melanjutkan kembali perkataannya. "Jadi, bagaimana hasilnya? Jangan bilang kalau kamu gagal lagi!". Perkataan Bu Melinda membuat Arumi terdiam dan hanya mampu menelan ludah yang rasanya entah mengapa menjadi sangat pahit, padahal saat ini ia sedang tidak sakit. Gestur Arumi membuat Bu Melinda melirik ke arah Arumi dengan ujung mata. Arumi tak berani mengangkat wajah, karena ia tahu kalau saat ini pasti sang mertua sedang menatapnya dengan sinis. Perasaan bersalah karena belum juga mampu memberi mertuanya cucu, membuat ia selalu dihantui rasa takut dan panik apabila harus berhadapan dengan orang tua Prayoga, terkhusus sang Ibu mertua yang sejak beberapa waktu terakhir selalu saja mempersoalkan ihwal keturunan itu. "Cih!!" umpat Bu Melinda. Arumi kian merasa nelangsa kala mendapat perlakuan buruk semacam itu dari sang ibu mertua. Sebab, Bu Melinda sepertinya sudah sangat kecewa dengan Arumi, sehingga ia kini sudah tak sungkan lagi menunjukan rasa bencinya pada orang yang dulu begitu ia sayangi. "Sudah kuduga. Pasti ada yang tak sehat di antara kalian. Namun, Prayoga itu anakku. Aku dan suamiku hanya memerlukan dua bulan untuk memiliki Prayoga. Jadi, sudah bisa dipastikan kalau anakku itu sehat!" ujar Bu Melinda bicara panjang lebar. Seperti biasa, ia menyindir Arumi dengan kata-kata yang selalu berhasil membuat mata Arumi mengembun. Meski begitu, Arumi hanya bisa diam karena tak mampu memperpanjang masalah. Selain itu, wanita yang berprofesi sebagai pemilik butik itu pun tak kuasa menahan air mata yang menumpuk di ujung matanya kala merasakan rasa sakit hati yang sangat menyayat. Di sisi lain,Bu Melinda juga tak bisa disalahkan begitu saja atas perubahan sikapnya yang drastis sejak beberapa tahun terakhir. Sebab, Prayoga adalah anak tunggal. Sudah kayak dan sewajarnya kalau datangnya seorang pewaris menjadi satu-satunya hal yang sangat dinanti-nantikan oleh keluarga suaminya. Terlebih, keluarga suaminya memiliki lini bisnis yang harus diteruskan. Oleh karena itu, ketakutan yang dirasakan oleh Arumi kian memuncak kala ia dan Prayoga belum juga dikaruniai keturunan meski sudah menikah selama lima tahun lamanya. Awalnya, orang tua Prayoga masih mendukung anak menantunya itu sambil terus berharap kalau suatu hari nanti Arumi akan benar-benar hamil. Namun, waktu yang ditunggu tak juga tiba. Dan entah bagaimana, tiba-tiba orang tua Prayoga, terkhususnya Bu Melinda, mulai berubah. Ia yang dahulu selalu mendukung Arumi untuk melakukan program hamil, kini seperti sudah lelah dan bosan. Akibatnya, dia pun mulai terang-terangan menyerang Arumi menggunakan perkataannya yang tajam hingga sikap dan perbuatannya yang tidak menyenangkan. Hal itu tak ayal membuat Arumi kian tersudut dan sering merasa putus asa karena termakan rasa bersalah. Ditambah lagi dengan ocehan para tetangga yang kian memperkeruh keadaan, tak ayal hal itu membuat tubuh dan jiwa Arumi terguncang akhir-akhir ini. "Kenapa kamu tidak pernah serius saat mengikuti program itu sih, Rum?!" tanya Bu Melinda dengan nada bicara jengkel. Tak ada kesan lembut sedikit pun pada wanita yang sudah lima tahun menjadi menantunya itu. “Arumi selalu menjalaninya dengan serius kok, Bu. Hanya saja, sepertinya kami memang belum diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua." Arumi menjawab dengan bibir gemetar. “Arumi juga sudah mengikuti semua arahan dari dokter”. sambungnya pelan. "Ya, kalau begitu mana hasilnya?!!" protes Bu Melinda. "Kalau kamu memang benar mengikuti program itu dengan baik, terus kenapa sampai sekarang kamu belum hamil juga, Arumi!!" Bu Melinda mulai naik emosinya. Arumi menggeleng lemah, ia hanya pasrah dan tak bisa melakukan perlawanan yang setidaknya bisa membuat harga dirinya tak terus dijatuhkan oleh Bu Melinda. Kedua matanya kini mulai sakit, karena terlalu lama menahan sesuatu yang sejak tadi terus mendesak untuk keluar. Ia tak ingin terlihat lemah, meski sesungguhnya hatinya sedang hancur saat ini. Sebab, meski tak ada perlawanan yang berarti yang ia tunjukkan, setidaknya ia tetap berusaha tak kalah di hadapan Bu Melinda. "Kamu tahu nggak, ini sudah bulan yang beberapa kalian mengikuti program kehamilan?!" Arumi masih diam sambil menundukkan kepala. "Sudah satu setengah tahun, Rum! ini sudah lama sekali!, terus mana hasilnya? Mana?!!" suara Bu Melinda menggelegar seiring dengan tubuhnya yang bangkit dari sofa. "Saya curiga ya, kalau kamu sebenarnya itu nggak sehat. Mandul!!",celetuk Bu Melinda. Dengan raut wajah yang congkak, wanita sosialita itu meraih tas kecil hitam yang tadi ia letakkan di atas meja kaca yang ada di hadapannya. Dia sepenuhnya mengabaikan ekspresi wajah Arumi yang kini menatap wajahnya dengan tak percaya. "Sepertinya lebih baik kamu nggak usah ikuti program hamil itu lagi. Jangan menyebarkan harapan sehingga membuat kami jenuh menunggu!" ucap Bu Melinda ketus sebelum bergegas melenggang pergi dari sana. "Bu, Arumi mohon. Dengarkan penjelasan Arumi dulu!" ucap Arumi sambil mengekori langkah Bu Melinda. "Arumi yakin kalau Arumi sehat, Bu. Arumi akan buktikan. Beri Rum waktu Bu!" Namun, Bu Melinda tetap tak bergeming. Wanita penyuka barang-barang mahal itu tetap melangkah dengan tenang tanpa menghiraukan ratapan Arumi sedikitpun. ____Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan. Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas. "Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah. "Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi. "Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu. Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh.
Arumi mondar-mandir di dalam ruang kerjanya di butik. Ia masih kepikiran soal pengakuan mengejutkan Prayoga semalam. Hati Arumi sungguh hancur, ia tak menyangka jika ternyata Prayoga akan setuju dengan ide konyol Bu Melinda untuk menikah lagi. Ketakutan Arumi sepertinya akan benar-benar terwujud. Rumah tangga yang sudah dibangun selama lima tahun, akan segera hancur. Prayoga yang selama ini berjuang bersamanya, kini mulai menyerah dan terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya. "Siapa?!" lamunan Arumi pecah saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk. "Maaf Bu" tampak seorang wanita berdiri di ambang pintu saat pintu dibuka. "Ada apa Ainah?" tanya Arumi pada Ainah, resepsionis di butik milik Arumi. "Ada orang yang datang untuk melamar pekerjaan, sepertinya lowongan yang kita sebar di sosial media sudah dibaca oleh para penggunanya " "Oh begitu, suruh dia masuk!" pinta Arumi sambil melenggang kembali ke meja kerjanya. Untuk sejenak ia harus menepikan urusan rumah tangganya
Arumi merasa lega karena Selia akhirnya sepakat untuk menerima kontrak pernikahan itu. Dan setelah Selia menandatangani surat itu, Arumi pun langsung mengganjarnya dengan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar bagi seorang Selia yang berasal dari keluarga biasa. Seolah sedang berpacu dengan waktu, Arumi pun segera mengajak suaminya untuk pergi ke rumah Bu Melinda, untuk memberitahu tentang kabar itu. "Em, lumayan, cantik dan sepertinya ia juga gadis yang baik" puji Bu Melinda saat Arumi menyodorkan selembar potret yang merupakan potret Selia. Arumi merasa cemburu saat mendengar Bu Melinda memuji Selia, tapi meski demikian ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus tetap diam, demi memuluskan rencana yang sudah ia rancang sendiri. "Bagaimana menurutmu Yoga?" Bu Melinda memberikan foto Selia pada Prayoga yang duduk dihadapannya. Prayoga melirik kearah Arumi, seolah hendak meminta izin, tapi Arumi hanya diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau saat ini. "Terserah I
"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan. "Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, ka
"Rum, hari ini aku mau antar Selia ke Dokter, ini jadwalnya pemeriksaan" ucap Prayoga sambil mengganti pakaian seusai mandi. "Tapi hari ini, kan kita sudah sepakat untuk cari lokasi buat perayaan ulang tahunku Mas?" tanya Arumi cemas. "Iya, aku tahu. Tapi ini sudah jadwalnya Selia periksa Rum!" Prayoga mencoba mempertahankan pendapatnya. "Ya, itu bisa nanti, kan setelah kita pulang?, lagian juga paling nggak lama kok" "Ya nggak bisa gitu dong!. Kalau acara ulang tahun itu bisa dirayakan kapan aja, tapi kalau jadwal pemeriksaan, itu nggak bisa di tunda lagi. Kalau hari ini batal, kita harus nunggu jadwal minggu depan" tolak Prayoga. "Kamu bisa cari Dokter lain, kan Mas?" "Nggak semudah itu dong!" "Kenapa?, bukankah di kota ini ada banyak Dokter kandungan yang bagus?" "Iya, itu benar. Tapi sejak awal Selia udah sama Dokter Febbi, jadi kalau sampai ganti Dokter lain, aku khawatir nggak cocok lagi sama Selia" "Hah?!, serius Mas?, se khawatir itu kamu sama Selia?" Arumi m
Arumi gusar karena berulang kali ia mencoba menelpon suaminya, tapi tak dijawab. Pesan chat yang ia kirim juga tak satupun yang dibaca apalagi dibalas oleh Prayoga. Arumi sungguh tak menduga, jia ternyata Prayoga berubah dengan begitu cepat setelah kehamilan Selia. Cinta yang selama lima tahun ini sepenuhnya menjadi milik Arumi, seolah kini benar-benar sudah beralih pada Selia seutuhnya. Kehamilan Selia sudah merubah kehidupan Arumi menjadi seperti di neraka. Prayoga yang biasanya selalu bersemangat saat ulang tahun Arumi sudah dekat, menyiapkan acara atau hadiah-hadiah untuk menyenangkan Arumi, kini justru cuek dan bahkan menganggap ulang tahun Arumi sebagai sesuatu yang tak penting lagi." Jadi bagaimana Bu?, apa ibu jadi memesan tempat ini?" syara seorang karyawan cafe memecah kepenatan Arumi."Oh, i-iya, ja-jadi!" jawab Arumi tergagap."Kalau begitu, kapan Ibu akan menggunakan tempat ini?""Em, besok malam, saya akan berulang tahun besok ""Oke, pukul berapa?""Pukul berapa ya..?
"Mana Selia Mbok?" tanya Prayoga pada Mbok Piah yang sedang menghidangkan makanan untuk sarapan pagi.Mbok Piah tak langsung menjawab pertanyaan Prayoga itu, sebab disitu juga ada Arumi, ia merasa tak enak pada Arumi.Prayoga sepertinya juga sadar jika Mbok Piah enggan menjawab pertanyaannya karena segan dengan Arumi."Mbok??""E, iya, maaf Pak, saya nggak tahu" jawab Mbok Piah singkat, sambil berpamitan meminta izin untuk kembali ke dapur, karena masih ada makanan yang belum disajikan."Pasti kamu, kan yang udah nyuruh Mbok Piah bersikap begitu?!" tuduh Prayoga pada Arumi yang sedang duduk menghadap meja makan yang sudah berisi beberapa piring makanan.Arumi diam, tapi ia melirik tajam pada suaminya itu."Arumi, jawab aku!!" syara Prayoga meninggi.Akhir-akhir ini Prayoga memang sering bersikap agak keras pada Arumi. Berbeda jauh saat dirinya belum menikah dengan Selia. Terlebih saat Selia hamil, sikap Prayoga mulai berubah drastis. Ia jadi sering mengabaikan Arumi dan lebih mengutam
Arumi tak kuasa menahan rasa sedih dan sekaligus malu. Prayoga ternyata tak datang ke pesta ulang tahun Arumi. Beruntung para tamu yang datang hanyalah karyawan butik Arumi, sehingga mereka tak ada yang berani mempertanyakan keberadaan suami Arumi itu. Meski Arumi yakin, di dalam hati mereka pasti bertanya tentang hal itu."Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan!!" umpat Arumi sambil melangkah cepat menuju ke kamar.Dengan agak kasar ia membuka pintu kamarnya.Betapa terkejutnya Arumi, saat ia mendapati tak ada sosok Prayoga di kamar itu.Dengan darah yang mendidih menahan amarah, Arumi mempercepat langkahnya, kali ini ia menuju ke kamar lain di rumah itu, apalagi kalau bukan nanar Selia."Selia!!"Tok!, tok!, tok!!" Arumi terus menggedor pintu kamar Selia."Sel??!!!" panggil Arumi setengah berteriak.Mendengar teriakan Arumi, Mbok Piah yang kamarnya tak jauh dari kamar Selia, segera keluar kamar dan menghampiri Arumi."Ibu sudah pulang?" tanya Mbok Piah sambil mengikat rambutnya yang