“Sophia ... kamu yakin mau hidup di tempat ini?”
“Wajahmu nggak pantas jadi pelayan seperti kami.” Bibi Ella tampak tak tega pada gadis secantik Sophia, yang harus tinggal di tempat tak layak seperti gudang tua ini. Todongan pertanyaan itu membuat Sophia mengulum senyum getir di tengah rasa lelah yang membakar punggung kecilnya. Andai ia bisa memilih, tentu saja jawabannya tidak. Namun, apa Sophia memiliki pilihan? “Aku budak yang dibeli Tuan Jackson, Bibi Ella. Jadi aku memang harus hidup sampai mati di sini.” “Ya Tuhan ....” Bibi Ella menutup mulut yang terbuka terkejut dengan satu tangan. Wanita separuh baya itu buru-buru melepas gagang sapu, lantas berlari kecil ke arah Sophia. Air mata pilunya menganak pinak di sudut mata. “Jangan katakan itu lagi.” Sebuah pelukan hangat menyergap tubuh dingin Sophia yang terhenyak, tapi di detik itu juga bahu kecilnya ikut bergetar. Sophia membalas pelukan hangat Bibi Ella dengan erat. Sejak kematian sang mama, Sophia hanya mendapatkan pelukan tulus dari sang pengasuh. Dan ia pikir setelah keluar dari keluarga Aland, semua akan hilang. Ternyata masih ada orang baik di sisi Sophia, seperti Bibi Ella. “Te-terima kasih, Bibi Ella,” balas Sophia terbata. Bibi Ella mengelus lembut kepala belakang Sophia, seakan tengah menenangkan sang putri kandung. “Dasar gadis bodoh, kamu sudah seperti putriku sendiri saat aku melihatmu keluar dari lift bersama Tuan Jackson dan Tuan Simon.” “... jangan canggung bertanya apa pun padaku. Dan jangan langsung percaya pada pelayan lain. Kita adalah pelayan kelas rendah, akan ada dua tingkat pelayan yang memanfaatkan kepolosan pelayan tingkat rendah seperti kita.” Pelukan perlahan terurai. Bibi Ella menyeka pipi basah Sophia saat gadis itu mengangguk sembari tersenyum haru. “Aku mengerti, Bibi.” “Bagus. Sekarang kita bersihkan tempat ini. Agar kamu bisa istirahat.” Untuk kesekian kali Sophia mengangguk patuh. Ia dan Bibi Ella bergegas menyapu, mengepel, membersihkan sarang laba-laba, bergotong royong memindahkan barang-barang gudang ke sisi pojok ruangan. Jarum jam terus bergerak cepat, tanpa peduli apa yang tengah di lakukan para manusia di tengah malam. Kedua wanita berbeda zaman itu saling bergantian memandang waktu dengan saling melempar senyum. Dan tanpa terasa mereka telah menyulap gudang tua tak bercat itu menjadi sebuah ruangan yang layak digunakan manusia. “Fuuuhhh! Akhirnya ....” Sophia mengembuskan napas lega. Ia tersenyum cerah pada hasil pekerjaannya bersama Bibi Ella. Bibi Ella menoleh, lantas menggeleng heran setelah memberi segelas air dingin pada Sophia. Dan hal itu membuat sepasang alis Sophia bertaut bingung. “Ada apa, Bibi? Apa ada kotoran di wajahku?” Punggung tangan Sophia reflek mengusap-usap sisi pipi dan dagu. Gadis itu berpikir ada debu yang tak sengaja tertinggal di wajah. “Haha, lucu sekali. Bukan begitu, Sophia. Tenang saja, wajahmu masih sangat cantik meskipun kotor.” Merasa canggung, Sophia menggaruk puncak kepala yang tak gatal. “Ah Bibi pandai menggodaku.” Pipi Sophia seketika memerah semu saat tersipu malu-malu. “Kamu memang cantik, Sophia.” “.... Aku hanya merasa heran, tubuhmu kecil, kulitmu halus. Kenapa kamu bisa sekuat itu? Apa kamu sudah mengalami masa sulit selama ini?” Dengan wajah miring, Bibi Ella mendadak begitu penasaran pada hidup gadis cantik di sisinya itu. “Sejak mama meninggal, hidupku memang sudah sulit, Bibi. Tapi, ini sudah malam. Bibi juga harus istirahat. Lain hari aku akan ceritakan lebih lengkap.” Kini tatapan Sophia teralih ke tempat lain. “Bibi Ella, nggak marah padaku kan?” Bibi Ella justru tertawa riang. “Kamu ini, mana mungkin aku marah.” Sudut mata Sophia mengintip ke arah jam dinding yang baru dipasang. “Terima kasih, Bibi. Sudah sangat larut. Bibi Ella kembalilah ke kamar. Istirahat. Sekali lagi terima kasih sudah membantuku, Bibi Ella.” Sophia kembali memeluk Bibi Ella lembut penuh rasa syukur. Dan setelahnya dilepas. “Ya. Kamu juga tidurlah. Jangan bangun kesiangan.” Mengusap sayang puncak kepala Sophia, sembari tersenyum lembut hingga wanita separuh baya itu menghilang dari balik pintu. Setelah kepergian Bibi Ella, Sophia melempar tubuh lelahnya pada kasur tanpa ranjang. Gadis cantik itu memejam dengan meletakan lengan kanan di atas dahi. “Hanya tinggal beberapa jam lagi sudah fajar. Apa aku akan bertemu Tuan Jackson?” “... tapi, mengingat aku pelayan kelas rendah, mungkin kesempatan bertemu sangat kecil. Kecuali ... ketika dia mengambil darahku.” Lanjut cicit sendu Sophia, yang mendadak dadanya terasa sesak. Kemudian gadis itu menautkan jemari, lantas diletakan di depan dada dengan mata masih memejam. Sophia berdoa khusuk, hingga tanpa sadar bulir bening mengalir membasahi pipi. “Tuhan, jika ada kehidupan kedua ... kumohon jangan pertemukan aku dengan Tuan Jackson.” “Karena aku sangat membencinya.” *** Rasa lelah yang teramat sangat, telah menarik Sophia ke dalam indahnya dunia mimpi. Di sana, gadis itu tak perlu merasa sakit disiksa dan dihina, apalagi ia bisa bersama dengan mendiang sang mama. Sophia menggeliat di atas kasur tipis, tanpa tahu sudah ada beberapa pelayan yang menerobos masuk ke kamar Sophia. Mereka tak suka kehadiran gadis cantik itu. Tatapan iri dan dengki memenuhi iris mata. “Tahan Bibi Ella, jangan sampai dia ke sini. Biar kuberi pelajaran pada gadis kampung ini!” Byur! Sebuah ember berisikan air dingin disiram begitu saja ke wajah lelap Sophia, hingga gadis itu gelagapan dan langsung reflek bangkit bangun terkejut. “Haaahh!” “A-ada apa ini, kenapa ada air?” monolog gadis itu kebingungan, dengan dada kembang kempis menahan keterkejutan yang masih tersisa. “Sophia, kau pikir ini hotel?” berang seorang pelayan yang membuat Sophia memindahkan tatapan pada pusat suara. “Bangun, dan cepat lakukan pekerjaanmu. Atau kau ingin aku siram lagi?” “Ma-maaf, aku sungguh kelelahan tadi malam membereskan tempat ini.” “... aku akan pergi bersiap-siap.” Lanjutnya dengan kepala tertunduk takut, sembari meneguk ludah kasar. “Banyak alasan!” Plak! Sebuah tamparan menghempas pipi basah Sophia, membuat gadis itu seketika terbelalak. ‘Sabar, Sophia, sabar. Ini hari pertamamu, jangan sampai membuat Tuan Jackson marah,’ batin geram Sophia dengan menggemeretakkan gigi, menahan gemuruh amarah. “Kau harus tau tempatmu. Kutunggu di luar. Awas kalau kau malas-malasan lagi.” Pelayan itu berkata lagi ketus. Bahkan pelayan itu masih sempat-sempatnya melempar kasar ember kosong ke arah perut kosong Sophia. “Aakhh!” erang Sophia lirih. Setelah pintu ditutup kencang, Sophia menarik napas dalam sembari menatap tubuh yang basah kuyup, lantas menoleh ke belakang pada kasurnya. Jemari lentik Sophia bergerak bergetar menyentuh permukaan kasur yang basah. “Ya Tuhan, bagaimana tidurku nanti?” Begitu jahat, tapi Sophia tak berdaya untuk melawan. Sedangkan suami yang seharusnya melindungi istri, nyatanya menatap benci pada Sophia. Melupakan sejenak apa yang dilakukan pelayan lama di rumah ini, kini Sophia telah membersihkan tubuh kemudian membalut dengan seragam pelayan. Sophia keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju ke lantai bawah. Baru saja ingin mencari Bibi Ella, lengan Sophia tiba-tiba disergap lantas ditarik kasar ke halaman luas depan Hamilton. “Dasar pelayan busuk! Cepat gabung dengan pelayan lain.” “Menyusahkan aku saja,” imbuhnya dengan hidung mendengkus tinggi. “Iya, iya. Jangan kasar begini,” protes Sophia yang hanya dibalas decakan lidah salah seorang anak buah Jackson. Terperangah. Bahkan kelopak mata Sophia sempat tak bergerak beberapa detik, saat melihat barisan para pelayan dan anak buah yang berkelompok rapi. “Maaf permisi, ada apa ini ya?” Sophia mencondongkan tubuh pada seorang pelayan muda seusia dirinya yang tampak memainkan jari di depan tubuh. Dia menoleh, menatap Sophia dalam. Di beberapa saat kemudian, pelayan itu meraih lantas menggenggam tangan Sophia, yang reflek membuatnya terkejut. “Oh kamu ya pelayan baru itu? Cantik sekali.” “Te-terima kasih. Iya, aku pelayan baru itu. Kamu belum jawab pertanyaan aku.” “Oh iya, aku lupa. Ini hanya pengecekan data oleh kepala pelayan, dan para penjaga inti.” “Karena keamanan mansion Hamilton sangat ketat, jadi siapa pun yang ketahuan kabur, dia akan diburu untuk dibunuh beserta keluarganya,” kata sang pelayan muda itu yang terlihat sangat serius. “Astaga, seram sekali.” “Iya, bahkan saat kita berdiri di sini, seluruh kamar pelayan sedang digeledah. Kalau ada yang ketahuan mencuri, tangannya akan dipotong saat ini juga.” “... oh ya, namamu siapa? Aku kemarin ada di barisan akhir, jadi aku nggak terlalu dengar. Aku Bella.” Sophia menerima uluran jabatan tangan Bella. “Sophia Alan ... maksudku, Sophia.” Hampir saja Sophia menamai dirinya dari marga busuk itu. “Salam kenal, Sophia. Sekarang kita teman. Kamu harus waspada di mana pun kamu berdiri.” “... Tuan Jackson sangat tampan. Dia selalu menjadi incaran para pelayan yang berharap bisa naik derajat. Lihatlah! Itu... Tuan Jackson hadir! Ini tidak biasanya Tuan hadir lho. Waah!” Menoleh pada arah tunjuk Bella, pandangan Sophia seketika tertuju ke arah Simon yang tengah mendorong kursi roda Jackson. ‘Dia ....’ Sophia bergumam dalam hati, ‘dia menatapku?’ sambungnya dengan detak jantung yang tiba-tiba berirama cepat. “Astaga, Tuan Jackson menatap ke arah barisan para pelayan. Kamu lihat itu kan, Sophia?” “... jangan-jangan Tuan Jackson melihatmu?” Lanjut celoteh histeris Bella, yang mendadak antusias lantas menarik-narik lengan Sophia. “Bella jangan begini. Para pelayan lain sedang menatapku tajam.” “Ma-mana mungkin itu terjadi.” Sophia meringis, yang seketika menunduk dalam dengan kucuran keringat dingin membasahi wajah. “Sebanyak ini para pelayan, Tuan Jackson tak mungkin melihatku.” Semangat Bella seketika turun, ikut menunduk lesu. “Ah iya, benar juga.” Bella mengelus punggung kecil Sophia, “tenang saja, kamu masih beruntung daripada kami.” Sophia tak menjawab, gadis itu hanya menoleh sembari tersenyum pahit. Beruntung? Bella salah. Sophia telah jatuh ke dalam lubang Neraka milik Jackson Hamilton. Mungkinkah ada kesempatan hidup lagi? “Kau kemari!” Di tengah kebisingan para pelayan yang kepanasan dijemur oleh anak buah Jackson, mendadak suasana menjadi hening ketika suara dingin Jackson terlontar. Seluruh barisan para pelayan saling menoleh bingung, sebab perintah yang dikeluar dari tuan mereka begitu ambigu. Siapa yang diminta menghadap? pikir Sophia mencibir sinis. “Brengsek. Beraninya dia mengabaikan perintahku. Simon, seret gadis itu kemari!” “Baik, Tuan.” Sang tangan kanan mengangguk paham. Dia pun melangkah menuruni anak tangga, lantas berjalan ke arah barisan para pelayan, sampai menerobos kian dalam. Tak begitu lama langkahnya berhenti. Mata Sophia membulat lebar, saat wangi parfum mewah menyeruak tajam ke hidungnya. “Nona Sophia, Tuan Jackson ingin kau menemuinya. Mari ikut saya.”“Ak ... ah, maaf. Maksudnya, saya?” Jari telunjuk Sophia menunjuk kaku ke diri sendiri.Merasa tak percaya diri, gadis itu mulai mengerjap-ngerjapkan kelopak mata.Sophia tak salah dengar kan?“Iya, itu kamu yang dipanggil,” timpal berbisik lirih Bella, yang sengaja berpura berdempetan dengan lengan Sophia.Menarik napas perlahan, kemudian menahan di dada. Bella ini mengapa sangat bawel? Apa dia pikir cara berbisiknya tak didengar Tuan Simon?Astaga!“Namamu jelas Sophia. Cepat bilang, iya. Nanti Tuan Jackson jadi marah.” Tambah Bella mengimbuhi.Dia sengaja memprovokasi sembari berakting menatap ke depan.Sophia meringis tak enak hati ke arah Tuan Simon, yang ikut tersenyum dengan melirik Bella dari sudut mata.“Nona rupanya sudah akrab dengan pelayan lain.”“Begitulah, Tuan Simon,” jawab Sophia canggung.Siku Sophia terus menyenggol lengan Bella yang tak peka, agar segera memberi sapaan.Namun, ternyata memang tak semudah itu.Bella sedang asik-asiknya menatapi ketamp
“Sophia, jangan melawan. Kamu harus melunasi hutang perusahaan dengan menukar tubuhmu. Jadi, layani Tuan Jackson sebaik mungkin!”“Apa?” Langkah terseok-seok Sophia Aland seketika memaksa berhenti di tengah jalan. Ruangan besar milik sebuah klub malam di tengah kota Madrid membuat tubuhnya membeku dalam hitungan detik.“Mama bilang, kamu harus nikah saat ini juga. Nikahi pria yang ada di foto ini. Kamu tak tuli bukan?” tandas jengah Belinda, sang mama tiri Sophia memperlihatkan foto di tangan penuh kedongkolan. Raut wajah memerah padam dengan menekan gatal deretan gigi yang dilakukan sang mama tiri, sangat jelas tersaji di pantulan mata berkaca-kaca Sophia.Perlahan, pandangan panas gadis itu turun, menamati dari ujung sepatu sampai pada gaun pendek cantik berwarna putih yang ia kenakan malam ini. Ini semua pilihan sang mama tiri. Saat itu, tiba-tiba saja Sophia diberi kotak kado berisikan gaun cantik sepulang dari lokasi syuting, dan diminta untuk menemani ke acara kondangan t
“Nona Sophia Aland?” Menarik napas dalam, wajah basah memerah sang pemilik nama mendongak dengan melempar tatapan bergetarnya ke pusat suara serak. “Benarkah kau salah satu putri Nyonya Belinda? Jadi, kau masih menunggu anak buah Tuan Jackson?” “Astaga, aku pas-pasti sedang mabuk ... haha, aku memang mabuk! Ka-kau sangat cantik, Nona,” sambung lelaki gemuk itu dengan nada terputus-putus akibat tawa kekehan mengejek untuk dirinya sendiri. Dia berjalan sempoyongan mendekati gadis yang terlihat menggoda di pantulan mata hijaunya. “Ja-jangan dekati aku!” pekik Sophia penuh peringatan, ketika mendadak ia merasai ada sentuhan menjijikkan dari punggung jemari gemuk lelaki separuh baya yang telah gadis itu sangka sebagai ‘Tuan Jackson’. “Cih! Jual mahal sekali dirimu, Nona. Kau tahu, Tuan Jackson tak pernah memedulikan seorang wanita. Apalagi gadis kecil sepertimu ini. Kau datang ke sini untuk menukar tubuh dengan hutang keluargamu, dan Tuan Simon memintaku memeriksa barang yang
“Tapi, Tuan Jackson ... hanya darah gadis itu yang cocok.” Dengan sorot mata sendu, Simon mencicit ragu untuk mengingatkan kembali pada tuan mudanya.“Dia sudah memilih jalan mati lebih cepat.”“Kirim data hutang, pengakusisian perusahaan, dan seluruh aset keluarga Aland. Percepat proses dalam satu malam.” Sembari memberi perintah, ekor mata dingin Jackson menangkap hamburan beberapa kertas berkas kontrak pernikahan antara dirinya dan Sophia.‘Sejak kapan ada orang yang berani berteriak di depan wajahku? Brengsek!’ umpat tak terima Jackson dalam hati. Gadis itu sudah mulai menyulut api kemurkaan seorang Jackson Hamilton. Sungguh sangat bernyali besar, pikirnya geram.“Kau sangat berani, Sophia Aland ....”***Sementara itu, akhirnya Sophia mampu keluar dari klub malam menakutkan tersebut dengan berlari tergopoh-gopoh, sampai menemukan sebuah taksi.Kepala belakang dilempar kasar di sandaran kursi penumpang, sembari memejamkan mata basahnya. Lagi, dan lagi, bulir bening mencur
“Terus hancurkan kuburan itu, buat rata dengan tanah. Beraninya dia membuatku malu.”“... dasar anak sialan! Dia seharusnya menyusul mamanya ke Neraka!” Suara umpatan kebencian itu seketika membuat suasana di sana kian mencekam. Tak ada lagi udara dingin malam hari, semua menjadi panas dan mencekik.“Hapus jejak Nyonya Pertama!”“Ja-jangan!” teriak kencang Sophia dalam hati. Dadanya kembang kempis menahan rasa sesak, bersamaan dengan kepalan tangan gadis itu meremas kuat di sisi tubuh, “kenapa aku ... tidak bisa mengeluarkan suara?” sambungnya merintih lirih tak berdaya. “Tidak, tidak. Papa tidak boleh menyentuh kuburan mama.”“Shopia sudah membuat Tuan Jackson marah besar. Seharusnya aku sendiri yang menyeret anak pembangkang itu! Sialan, sialan.”“... hancurkan semuanya! Tanaman bunga-bunga busuk milik Sophia, juga hancurkan!” Kembali, titah itu meraung, dan terlihat para anak buah keluarga Aland mengangguk patuh dengan kompak.Nyawa dalam tubuh gadis itu terasa hampir ter
“Sophia!” Tuan Felix memekik dengan intonasi sangat tinggi. Dia benar-benar tersulut api amarah pada jawaban sang putri sulung. “Sejak kapan kau jadi gadis pembantah seperti ini?”Garis senyum getir ditunjukkan ke arah sang papa, yang terlihat semakin berapi-api menghadapi pemberontakan Sophia.“Sejak Mama Belinda membodohi Papa dan masuk ke keluarga kita.”“Beraninya kau, Sophia!”PLAK!Ayunan tangan kencang Tuan Felix menghempas salah satu pipi Sophia, membuat gadis itu jatuh tersungkur memeluk batu nisan yang sudah setengah hancur.Sophia tertunduk dengan sorot mata muram. Ini bukan lagi kali pertama sang papa menampar Sophia, dan ... kali ini tamparan itu terjadi karena Sophia menyinggung si wanita licik.“Sophia, Papa sudah berkali-kali memperingatkanmu, jangan lagi menyalahkan Mama Belinda. Tapi, kau tetap mempersulit hidupmu sendiri.”‘Tamparan hari ini, sudah cukup membuatku sadar. Jika rumah ini ... sudah bukan lagi tempat ternyamanku. Maafkan Sophia, Ma ....’ Sophia
Brug! “Cepat beri hormat pada Tuan Jackson, Sophia.” “Aaagghh!” Tubuh kecil Sophia didorong kasar oleh Tuan Felix sampai jatuh dengan lutut tersentak ke lantai. Sophia bersimpuh tepat di depan barisan tubuh kekar para lelaki yang mengenakan jas hitam legam. Mereka membentuk barisan bak pilar-pilar tinggi guna menyembunyikan sosok misterius Jackson Hamilton. Ini adalah aturan yang telah diketahui semua orang jika akan menemui seorang Jackson, tapi sikap arogan Tuan Felix merasa tak terima. “Biarkan putriku bertemu Tuan Jackson,” imbuh Tuan Felix dengan sorot mata memaksa. Jika dihalangi seperti ini, dia jelas tak bisa mengambil keuntungan lebih. Brengsek! “Dia akan jadi Nyonya Hamilton. Minggir kalian semua!” “Lancang!” berang salah seorang pengawal. Tanpa aba-aba, stik baseball diayun lantas dengan cepat menghantam rahang Tuan Felix hingga lelaki itu jatuh tersungkur dengan mulut penuh darah. Di saat itu juga Tuan Felix melepeh sesuatu dari mulut, kemudian jemarinya