Brug!
“Cepat beri hormat pada Tuan Jackson, Sophia.” “Aaagghh!” Tubuh kecil Sophia didorong kasar oleh Tuan Felix sampai jatuh dengan lutut tersentak ke lantai. Sophia bersimpuh tepat di depan barisan tubuh kekar para lelaki yang mengenakan jas hitam legam. Mereka membentuk barisan bak pilar-pilar tinggi guna menyembunyikan sosok misterius Jackson Hamilton. Ini adalah aturan yang telah diketahui semua orang jika akan menemui seorang Jackson, tapi sikap arogan Tuan Felix merasa tak terima. “Biarkan putriku bertemu Tuan Jackson,” imbuh Tuan Felix dengan sorot mata memaksa. Jika dihalangi seperti ini, dia jelas tak bisa mengambil keuntungan lebih. Brengsek! “Dia akan jadi Nyonya Hamilton. Minggir kalian semua!” “Lancang!” berang salah seorang pengawal. Tanpa aba-aba, stik baseball diayun lantas dengan cepat menghantam rahang Tuan Felix hingga lelaki itu jatuh tersungkur dengan mulut penuh darah. Di saat itu juga Tuan Felix melepeh sesuatu dari mulut, kemudian jemarinya bergerak maju, menyentuh dua gigi depan yang terlepas berlumuran darah. ‘Astaga ... gigiku copot?’ Tuan Felix tersentak syok. “Tak ada seorang pun yang bisa melihat Tuan Jackson, tanpa izin dari Tuan Jackson.” “Ma-maafkan diriku, Tuan Jackson. A-aku hanya ingin lebih akrab dengan calon mantuku.” “Tuan Felix, ingat statusmu.” Simon menyela sembari menatap dengan sorot mata penuh peringatan. Tuan Felix mengangguk-angguk cepat tak berdaya. Dia menarik kasar lengan sang putri untuk lebih dekat dengan dirinya. “Ba-baik. Sophia, kau juga bersimpuh!” “Tuan Jackson, saya kemari bawa putri pertama saya. Dia bersedia jadi wanita Anda.” Lelaki itu kembali berkata, membuat jiwa penolakan Sophia bergolak mendidih. Gadis itu meronta dari cekalan tangan sang papa, tapi semakin ia memberontak kekuatan kuncian itu akan jadi kian menyakitkan. “Bagus. Kau tahu diri juga, Tuan Felix. Untuk seorang Felix Aland, jatuh miskin ternyata lebih menakutkan daripada kehilangan putri kandung sendiri, ya?” “Simon, berikan dokumen kontraknya. Pastikan tak ada satu poin pun yang dilewatkan Nona Sophia.” Jari panjang kokoh Jackson mengetuk-ngetuk sisi besi kursi rodanya sembari tersenyum miring. “... kali ini aku tidak akan berbaik hati. Ini kesempatan terakhir yang aku berikan untuk melunasi seluruh hutang-hutangmu padaku.” Lanjut Jackson berbicara penuh kuasa di balik tubuh para pengawal yang berdiri menutupi lelaki itu. “Tunggu!” Tiba-tiba saja Sophia berteriak menyela sembari menahan bulir air mata yang akan kembali jatuh. “Tidak sopan. Beri pelajaran pada Nona Soph—” “Simon, biarkan dia bicara.” Berdecak pelan, Jackson kini mengusap dagu seakan menunggu apa yang dikatakan Sophia. “Kau ingin tawar-menawar lagi padaku, Nona? Atau kau ingin kabur?” “Aku hanya ingin bertanya, kalau bukan aku yang ada di sini, apa Tuan Jackson masih mau mengampuni hutang papaku?” tanya gadis itu dengan nada tersendat-sendat. “... di kediaman Aland masih ada satu gadis lagi. Dia juga memiliki darah sepertiku. Apa Tuan Jackson—” “Sophia, apa-apaan kau!?” Tuan Felix memekik memberang pada sang putri, dan langsung melayangkan tamparan keras. “Amara masih harus belajar. Dia belum bisa menikah.” “Ck! Belajar ya,” ulang mencibir Sophia dengan wajah terjatuh muram. Rasa kebas di pipi masih begitu terasa menyakitkan, tapi hal tersebut tak separah luka hati gadis cantik itu. “Diam! Tutup mulutmu, Gadis Sialan!” bentak Tuan Felix dengan mata melotot. Bahkan jejak darah di hidung dan sebagian sisi bibir masih berjejak basah. “Menarik sekali. Kalau apa yang dikatakan Nona Sophia benar, aku juga bisa menerima nona kedua keluarga Aland.” Garis seringai gelap di bibir Jackson kian melebar, saat situasi di antara anak dan ayah itu kian tegang. “Itu tidak benar, Tuan Jackson.” “Saya pastikan Sophia akan jadi istri Tuan Jackson yang penurut dan patuh,” jawab cepat Tuan Felix bersuara gugup. Dia takut putri kesayangannya akan terperangkap kekejaman lelaki tua seperti Jackson. Tidak, itu tak boleh terjadi. Tak bisa lagi membantah. Sophia menggigit kuat bibir bawah ranum basahnya, hingga merasakan ada rasa berbeda dalam tegukan ludah yang mengalir di tenggorokan. “Baiklah, jangan terlalu banyak bicara. Aku sudah mulai bosan,” tungkas dingin Jackson. “Simon, percepat prosesnya.” Sang asisten pribadi mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Tanda tangan di sini.” Simon menunjuk kolom paling bawah dokumen yang terlihat ada nama Sophia di sana. “Nona Sophia hanya memiliki waktu sepuluh detik. Pahamilah kalau Tuan Jackson tak akan pernah kekurangan wanita jika Nona Sophia menolak.” ‘Bedebah! Kalian adalah pebisnis yang licik!’ geram mengumpat Sophia dalam hati. ‘Suatu saat nanti, aku akan pergi sejauh mungkin dari orang-orang seperti kalian.’ Tiba-tiba tubuh Sophia berjingkat kesakitan, dengan kelopak mata memejam erat saat rambut belakangnya ditarik kasar oleh sang papa. “Kau tuli, huh?! Tuan Simon memintamu tanda tangan, bukan menangis. Apa kau mengerti, Sophia? Apa perlu Papa bantu menanda tangani, Putriku Sayang?” “Aagh! Sa-sakit... sakit sekali. Ja-jangan tarik lagi rambut Sophia, Pa. Ampun!” “Cepat tanda tangani, atau kau mau lihat pelayanmu mati dalam satu liang lahat bersama tulang rangka tengkorak mamamu?” bisik menekan Tuan Felix tepat di depan telinga Sophia, yang tampak menggeleng ketakutan dengan wajah memerah padam menahan rasa perih di kulit kepala. “A-ampuni Sophia, Pa. Jangan lakukan itu. Bibi tak bersalah. Jangan sakiti dia.” “Sophia Aland,” imbuh Tuan Felix lagi yang kian menggeram dongkol, yang mau tak mau memaksa jari gemetar Sophia menggenggam bolpoin lantas mengayun tinta hitam di atas dokumen perjanjian. “Haah!” Napas Sophia tersengal-sengal saat genggamannya telah melepas bolpoin khusus dari keluarga Hamilton. Yang juga membuat tarikan di rambut gadis itu terbebas, dan diganti dengan usapan lembut. Hancur sudah impian Sophia sejak ia menanda tangani perjanjian kontrak ini. “Perjanjian kontrak sudah sah. Dengan ini, Nona Sophia telah setuju menjadi istri Tuan Jackson.” Simon berkata tenang, yang langsung membawa wajah basah pilu Sophia terangkat. “Dan melahirkan keturunan laki-laki.” “Lalu bagaimana kalau aku hamil anak perempuan?” todong Sophia lagi dengan suara serak. “Kalau begitu, Nona Sophia akan tetap berada di mansion Hamilton sampai Anda mengandung bayi laki-laki. Tidak hanya itu, apa pun yang diminta Tuan Jackson, Anda tidak boleh menolak.” “... termasuk menjadi pendonor darah setiap dua minggu.” Tambah Simon sembari menutup dokumen pranikah. Dia menoleh sekilas pada salah satu bawahannya untuk mengirim perintah membawa pergi Sophia. Sang bawahan mengangguk patuh lantas mendekati Sophia di sana. “Ikut kami pergi, Nona.” “Ugh, kamu mau bawa aku ke mana?!” “Jaga dirimu, Sophia. Ingatlah untuk pulang suatu hari nanti,” kata sendu pengantar Tuan Felix, yang jelas tak benar-benar menginginkan sang putri pulang. Tuan Felix diam-diam kembali mencuri lirik ke arah sela tubuh kekar para pengawal Jackson. Lelaki itu ingin melihat sendiri bagaimana sosok misterius seorang Jackson Hamilton sebelum dia juga pulang. Kehilangan dua gigi depan dan tulang hidung yang patah seakan terlupakan begitu saja. Sedikit lagi ... Tuan Felix akan mampu menangkap sisi wajah tampan Jackson, tapi tiba-tiba sebuah tendangan kuat menghantam tulang dadanya hingga dia terlempar dan muntah darah. “Uhuk ... u-uhuk. Uhuk ....” “Apa kau tahu kesalahanmu, Tuan Felix Aland?” Simon bertanya dingin, setelah menghentikan langkah tepat di depan tubuh tak berdaya Tuan Felix. “Kita sekarang sudah jadi keluarga, kupikir tidak masalah saling terbuka satu sama lain,” tutur lemah Tuan Felix yang masih terbatuk-batuk. Di detik itu juga dia terhenyak oleh kenangan pukulan stik baseball yang menghantam rahangnya. “Keluarga? Tuan Jackson tak pernah menganggap siapa pun sebagai keluarga, apalagi keluarga kecil seperti Aland.” “... kau jual putrimu, dan Tuan Jackson membeli. Ini sebuah transaksi. Jadi jangan coba melewati batasmu, Tuan Felix.” “Tapi, Tu—” “Pengawal, beri pelajaran untuk Tuan Felix. Terutama kedua matanya. Buat dia buta, ini pesan Tuan Jackson.” “JANGAN!” pekik meronta Tuan Felix, “tolong ampuni aku.” “Baik, Tuan Simon.” *** “Sophia Aland .... Kau tidurlah di tempat itu.” Kelopak mata kecil Sophia mengerjap-ngerjap linglung. Dan sesaat kemudian gadis itu menoleh ke sekeliling. “Di sana? Kenapa aku harus tidur di sana, sedang kamar pelayan rumah ini jauh lebih layak dari tempat itu,” tutur Sophia memprotes. Ia jelas tak sudi menghabiskan seluruh waktu malamnya di gudang gelap gulita nan berdebu. “Kenapa, kau ingin tidur satu kamar denganku?” tanggap Jackson sembari menautkan jemari, dengan tatapan melurus ke depan. “Kau hanyalah seorang budak yang kubeli. Tak pantas berdekatan denganku.” ‘Bu-budak? Bukankah aku istri Jackson Hamilton?’ cicit batin Sophia terperangah. Di mansion mewah Hamilton ternyata posisi nyonya muda tak berlaku untuk seorang Sophia. Nyatanya ia disatukan dengan para pelayan kelas bawah di rumah ini. “Kau pasti berpikir tentang buku nikah itu.” “... jangan berharap terlalu banyak, Sophia. Kau hidup hanya demi nyawa wanitaku. Jadi kalau kau mati suatu saat nanti, posisimu akan langsung digantikan wanitaku.” Jackson berkata tajam, seakan Sophia hanya sebuah boneka yang akan dibuang jika sudah berubah usang. “Baik, Tuan Jackson. Aku mengerti posisiku. Aku akan tidur di tempat itu.” Tak ingin memperkeruh suasana, Sophia memilih menerima nasibnya. Ia sudah lelah dengan segala luka luar dan dalam. “Ya, kau memang harus mengerti posisimu. Tugasmu akan dijelaskan Ella. Ella, maju.” “Saya Ella.” Seorang wanita separuh baya berdiri setengah membungkuk penuh hormat di deretan paling depan para pelayan. “Siap membantu Nyonya.” “Panggil dia Sophia,” tegas Jackson yang tak ingin panggilan terhormat untuk sang kekasih dipakai oleh Sophia. “Kami mengerti, Tuan Jackson.” Para pelayan kompak menjawab. “Ada sebuah kamar yang tak boleh kau masuki. Kalau kau berani melanggar, kupastikan kau akan terus mengingat peringatanku hari ini.” “... satu lagi Sophia Aland, status menjadi istriku tak akan berguna di rumah ini. Jadi, jangan pernah berpikir kau akan mampu mengganti posisi wanitaku. Karena kau hanyalah benda bodoh yang kubeli. Mengerti?!” Degh!“Sophia ... kamu yakin mau hidup di tempat ini?” “Wajahmu nggak pantas jadi pelayan seperti kami.” Bibi Ella tampak tak tega pada gadis secantik Sophia, yang harus tinggal di tempat tak layak seperti gudang tua ini. Todongan pertanyaan itu membuat Sophia mengulum senyum getir di tengah rasa lelah yang membakar punggung kecilnya. Andai ia bisa memilih, tentu saja jawabannya tidak. Namun, apa Sophia memiliki pilihan? “Aku budak yang dibeli Tuan Jackson, Bibi Ella. Jadi aku memang harus hidup sampai mati di sini.” “Ya Tuhan ....” Bibi Ella menutup mulut yang terbuka terkejut dengan satu tangan. Wanita separuh baya itu buru-buru melepas gagang sapu, lantas berlari kecil ke arah Sophia. Air mata pilunya menganak pinak di sudut mata. “Jangan katakan itu lagi.” Sebuah pelukan hangat menyergap tubuh dingin Sophia yang terhenyak, tapi di detik itu juga bahu kecilnya ikut bergetar. Sophia membalas pelukan hangat Bibi Ella dengan erat. Sejak kematian sang mama, So
“Ak ... ah, maaf. Maksudnya, saya?” Jari telunjuk Sophia menunjuk kaku ke diri sendiri.Merasa tak percaya diri, gadis itu mulai mengerjap-ngerjapkan kelopak mata.Sophia tak salah dengar kan?“Iya, itu kamu yang dipanggil,” timpal berbisik lirih Bella, yang sengaja berpura berdempetan dengan lengan Sophia.Menarik napas perlahan, kemudian menahan di dada. Bella ini mengapa sangat bawel? Apa dia pikir cara berbisiknya tak didengar Tuan Simon?Astaga!“Namamu jelas Sophia. Cepat bilang, iya. Nanti Tuan Jackson jadi marah.” Tambah Bella mengimbuhi.Dia sengaja memprovokasi sembari berakting menatap ke depan.Sophia meringis tak enak hati ke arah Tuan Simon, yang ikut tersenyum dengan melirik Bella dari sudut mata.“Nona rupanya sudah akrab dengan pelayan lain.”“Begitulah, Tuan Simon,” jawab Sophia canggung.Siku Sophia terus menyenggol lengan Bella yang tak peka, agar segera memberi sapaan.Namun, ternyata memang tak semudah itu.Bella sedang asik-asiknya menatapi ketamp
“Sophia, jangan melawan. Kamu harus melunasi hutang perusahaan dengan menukar tubuhmu. Jadi, layani Tuan Jackson sebaik mungkin!”“Apa?” Langkah terseok-seok Sophia Aland seketika memaksa berhenti di tengah jalan. Ruangan besar milik sebuah klub malam di tengah kota Madrid membuat tubuhnya membeku dalam hitungan detik.“Mama bilang, kamu harus nikah saat ini juga. Nikahi pria yang ada di foto ini. Kamu tak tuli bukan?” tandas jengah Belinda, sang mama tiri Sophia memperlihatkan foto di tangan penuh kedongkolan. Raut wajah memerah padam dengan menekan gatal deretan gigi yang dilakukan sang mama tiri, sangat jelas tersaji di pantulan mata berkaca-kaca Sophia.Perlahan, pandangan panas gadis itu turun, menamati dari ujung sepatu sampai pada gaun pendek cantik berwarna putih yang ia kenakan malam ini. Ini semua pilihan sang mama tiri. Saat itu, tiba-tiba saja Sophia diberi kotak kado berisikan gaun cantik sepulang dari lokasi syuting, dan diminta untuk menemani ke acara kondangan t
“Nona Sophia Aland?” Menarik napas dalam, wajah basah memerah sang pemilik nama mendongak dengan melempar tatapan bergetarnya ke pusat suara serak. “Benarkah kau salah satu putri Nyonya Belinda? Jadi, kau masih menunggu anak buah Tuan Jackson?” “Astaga, aku pas-pasti sedang mabuk ... haha, aku memang mabuk! Ka-kau sangat cantik, Nona,” sambung lelaki gemuk itu dengan nada terputus-putus akibat tawa kekehan mengejek untuk dirinya sendiri. Dia berjalan sempoyongan mendekati gadis yang terlihat menggoda di pantulan mata hijaunya. “Ja-jangan dekati aku!” pekik Sophia penuh peringatan, ketika mendadak ia merasai ada sentuhan menjijikkan dari punggung jemari gemuk lelaki separuh baya yang telah gadis itu sangka sebagai ‘Tuan Jackson’. “Cih! Jual mahal sekali dirimu, Nona. Kau tahu, Tuan Jackson tak pernah memedulikan seorang wanita. Apalagi gadis kecil sepertimu ini. Kau datang ke sini untuk menukar tubuh dengan hutang keluargamu, dan Tuan Simon memintaku memeriksa barang yang
“Tapi, Tuan Jackson ... hanya darah gadis itu yang cocok.” Dengan sorot mata sendu, Simon mencicit ragu untuk mengingatkan kembali pada tuan mudanya.“Dia sudah memilih jalan mati lebih cepat.”“Kirim data hutang, pengakusisian perusahaan, dan seluruh aset keluarga Aland. Percepat proses dalam satu malam.” Sembari memberi perintah, ekor mata dingin Jackson menangkap hamburan beberapa kertas berkas kontrak pernikahan antara dirinya dan Sophia.‘Sejak kapan ada orang yang berani berteriak di depan wajahku? Brengsek!’ umpat tak terima Jackson dalam hati. Gadis itu sudah mulai menyulut api kemurkaan seorang Jackson Hamilton. Sungguh sangat bernyali besar, pikirnya geram.“Kau sangat berani, Sophia Aland ....”***Sementara itu, akhirnya Sophia mampu keluar dari klub malam menakutkan tersebut dengan berlari tergopoh-gopoh, sampai menemukan sebuah taksi.Kepala belakang dilempar kasar di sandaran kursi penumpang, sembari memejamkan mata basahnya. Lagi, dan lagi, bulir bening mencur
“Terus hancurkan kuburan itu, buat rata dengan tanah. Beraninya dia membuatku malu.”“... dasar anak sialan! Dia seharusnya menyusul mamanya ke Neraka!” Suara umpatan kebencian itu seketika membuat suasana di sana kian mencekam. Tak ada lagi udara dingin malam hari, semua menjadi panas dan mencekik.“Hapus jejak Nyonya Pertama!”“Ja-jangan!” teriak kencang Sophia dalam hati. Dadanya kembang kempis menahan rasa sesak, bersamaan dengan kepalan tangan gadis itu meremas kuat di sisi tubuh, “kenapa aku ... tidak bisa mengeluarkan suara?” sambungnya merintih lirih tak berdaya. “Tidak, tidak. Papa tidak boleh menyentuh kuburan mama.”“Shopia sudah membuat Tuan Jackson marah besar. Seharusnya aku sendiri yang menyeret anak pembangkang itu! Sialan, sialan.”“... hancurkan semuanya! Tanaman bunga-bunga busuk milik Sophia, juga hancurkan!” Kembali, titah itu meraung, dan terlihat para anak buah keluarga Aland mengangguk patuh dengan kompak.Nyawa dalam tubuh gadis itu terasa hampir ter
“Sophia!” Tuan Felix memekik dengan intonasi sangat tinggi. Dia benar-benar tersulut api amarah pada jawaban sang putri sulung. “Sejak kapan kau jadi gadis pembantah seperti ini?”Garis senyum getir ditunjukkan ke arah sang papa, yang terlihat semakin berapi-api menghadapi pemberontakan Sophia.“Sejak Mama Belinda membodohi Papa dan masuk ke keluarga kita.”“Beraninya kau, Sophia!”PLAK!Ayunan tangan kencang Tuan Felix menghempas salah satu pipi Sophia, membuat gadis itu jatuh tersungkur memeluk batu nisan yang sudah setengah hancur.Sophia tertunduk dengan sorot mata muram. Ini bukan lagi kali pertama sang papa menampar Sophia, dan ... kali ini tamparan itu terjadi karena Sophia menyinggung si wanita licik.“Sophia, Papa sudah berkali-kali memperingatkanmu, jangan lagi menyalahkan Mama Belinda. Tapi, kau tetap mempersulit hidupmu sendiri.”‘Tamparan hari ini, sudah cukup membuatku sadar. Jika rumah ini ... sudah bukan lagi tempat ternyamanku. Maafkan Sophia, Ma ....’ Sophia