Beranda / Pernikahan / Istri Tuan Jackson / Bab 4 | Gadis Pelunas Hutang

Share

Bab 4 | Gadis Pelunas Hutang

“Terus hancurkan kuburan itu, buat rata dengan tanah. Beraninya dia membuatku malu.”

“... dasar anak sialan! Dia seharusnya menyusul mamanya ke Neraka!” Suara umpatan kebencian itu seketika membuat suasana di sana kian mencekam.

Tak ada lagi udara dingin malam hari, semua menjadi panas dan mencekik.

“Hapus jejak Nyonya Pertama!”

“Ja-jangan!” teriak kencang Sophia dalam hati. Dadanya kembang kempis menahan rasa sesak, bersamaan dengan kepalan tangan gadis itu meremas kuat di sisi tubuh, “kenapa aku ... tidak bisa mengeluarkan suara?” sambungnya merintih lirih tak berdaya.

“Tidak, tidak. Papa tidak boleh menyentuh kuburan mama.”

“Shopia sudah membuat Tuan Jackson marah besar. Seharusnya aku sendiri yang menyeret anak pembangkang itu! Sialan, sialan.”

“... hancurkan semuanya! Tanaman bunga-bunga busuk milik Sophia, juga hancurkan!” Kembali, titah itu meraung, dan terlihat para anak buah keluarga Aland mengangguk patuh dengan kompak.

Nyawa dalam tubuh gadis itu terasa hampir terenggut, saat lagi dan lagi sang papa mengutuk Sophia.

Bulir bening meluncur deras membasahi pipi putih Sophia untuk kesekian kali. Kalimat itu sudah sering ia dengar, tapi kenapa ... hatinya masih begitu sakit?

‘Kenapa Papa sangat membenciku? Apa sebenarnya salahku? Bukankah dulu Papa sangat menyayangiku?’ batin pilu Sophia yang kembali mencicit lirih dalam hati.

Para bawahan keluarga Aland diam-diam mencuri lirik ragu satu sama lain saat akan mengikuti perintah sang tuan.

Ini adalah perbuatan paling keji dari menghilangkan sebuah nyawa. Namun, saat pekikan melengking perintah kembali diultimatum, membuat mereka mau tak mau mengayun alat penghancur.

Pukulan demi pukulan makin membuat bangunan kuburan mendiang sang nyonya pertama tampak mengenaskan di pantulan mata siapa pun. Termasuk di mata berkaca-kaca Sophia.

Padahal bangunan indah kuburan mendiang nyonya pertama keluarga Aland, dibuat dari hasil jerih payah Sophia saat menjalani beberapa syuting tanpa istirahat dan... apakah benar, rumah terakhir mendiang sang mama akan hancur di tangan papanya?

“Ma-mama ....”

“Eh, tunggu ... kita berhenti dulu.” Salah satu anak buah menginstruksi pada para rekan kerja yang lain dengan nada berbisik penuh arti, yang membuat satu alis Tuan Felix terangkat dengan garis datar di bibir kian mengetat.

“Kubilang hancurkan, kenapa sekarang kalian malah diam saja?” Dengan berkacak pinggang, Tuan Felix memberang pada para bawahannya, yang terlihat saling melempar pandang kian ragu satu sama lain.

Bahkan genggaman mereka pada alat pukul palu bogem juga kian menguat, saat melihat sosok Sophia telah menghentikan langkah di belakang punggung Tuan Felix.

“Heh, kalian sudah bosan kerja padaku?! Kalian mau kupecat?”

“Ma-maaf, Tuan Felix ... Nona Pertama sudah di sini. Sepertinya mereka tidak berani melanjutkan.” Sang asisten pribadi berkata berbisik pada lelaki separuh baya itu, yang langsung membalik badan menatap murka sang putri.

“Tuan Felix, harus tenang. Kita sudah berhasil memancing kepulangan Nona Sophia. Ingat, kita perlu membayar hutang-hutang pada Tuan Jackson malam ini juga. Dan hanya Nona Sophia yang mampu melakukannya.”

“... atau petaka besar akan menimpa keluarga Aland.” Lanjutnya penuh nada peringatan.

Tuan Felix yang mendengar hal itu langsung menoleh tajam pada sang asisten pribadi, sembari menggertak barisan giginya. Sophia benar-benar anak pembawa sial, pikir geram Tuan Felix saat melirik tajam sang putri di sana.

Tuan Felix berdeham dalam, kini pandangannya bergerak melurus ke arah Sophia.

“Akhirnya kau datang juga, Sophia. Sudah puas bermain di luar?”

“Papa, kenapa merusak kuburan Mama Cintya? Sophia tanya, kenapa, Pa!?” todong Sophia berteriak kencang penuh nada kepiluan.

Kedua tangan gadis menyedihkan itu kian mengepal kuat seakan tengah menggenggam sebuah batu. Tak pernah terpikirkan, jikalau sang papa akan begitu tega merusak satu-satunya hal yang membuat Sophia bertahan di rumah keluarga Aland.

Demi menjaga kuburan sang mama kandung, Sophia rela menahan siksaan Belinda dan adik tirinya.

“Mama Cintya sudah tidak ada di dunia ini, tapi Papa masih mengusik tempat terakhir mama. Di mana hati nurani Papa?” Sambil berjalan maju, Sophia kembali berkata lantang, “Tuhan pasti tidak akan menutup mata atas perbuatan jahat Papa dan ... kalian semua!”

“Hanya keluar sebentar, kau sudah pandai bicara kurang ajar pada papamu ya, Sophia. Tangkap, dan bawa dia kemari.” Sebuah perintah tak terbantahkan dari Tuan Felix Aland, yang membuat sepasang tangan Sophia dengan cepat terkunci oleh cekalan kasar anak buah sang papa.

Dua anak buah lelaki itu tampak menunduk dalam penuh rasa bersalah, saat pandangan bergetar Sophia menusuk tatapan mereka.

“Kalian sungguh membuatku kecewa,” lirih serak Sophia dengan nada menggeram.

“Ma-maafkan kami, Nona Sophia ....”

“Papa, minta mamamu Belinda membawamu pada Tuan Jackson untuk menyenangkan hatinya,

tapi ternyata kau justru membuat Papa semakin ingin membuatmu menyusul Cintya. Kau semakin hari, semakin menjadi anak pembangkang, hah?!” Tak bisa lagi menuruti saran dari sang asisten pribadi, kali ini Tuan Felix benar-benar murka.

Hanya dalam hitungan jam, Sophia telah membuat dirinya jatuh miskin karena terlilit hutang pada Jackson.

“Lepas, lepaskan aku!”

“... Mama Belinda yang membohongi Sophia! Kalau tahu Sophia akan dibawa pada pria itu, Sophia tidak akan pernah mau setuju untuk ikut pergi,” tandas gadis itu sungguh-sungguh.

Sophia meronta sekuat tenaga untuk bisa terlepas, tapi sayangnya, apa yang ia lakukan saat ini hanya berujung dengan sia-sia. Nyatanya tenaga gadis itu telah ia habiskan untuk berteriak di depan wajah tampan Jackson tadi.

Bug!

“Aaagghhh!”

Tubuh lemas Sophia ditarik, lantas didorong kasar oleh Tuan Felix, hingga membuat tubuh lemah gadis itu terjatuh di atas serpihan bangunan kuburan sang mama kandung.

“Ya Tuhan ma-mama ... maafkan Sophia, ma. Sophia tak bisa menjaga rumah terakhir mama,” cicit lirihnya di sela isak tangis saat kedua tangan memegang bergetar serpihan batu nisan yang hancur.

“Apa yang kau tangisi huh, itu hanya sebuah kuburan.” Tuan Felix semakin menggila, bahkan dia tak memedulikan bagaimana berartinya kuburan mendiang istri pertamanya bagi Sophia, “Papa masih berbaik hati untuk tak benar-benar menghancurkan kuburan itu. Asal kau menyetujui tawaran Tuan Jackson.”

“Menyetujui?” Pandangan basah Sophia kembali naik, menatap sang papa tajam. “Tidak akan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status