Sungguh bukan waktu yang tepat untuk hamil. Laureta tidak bisa hamil dalam keadaan seperti ini. Ia sudah tidak mempunyai suami lagi. Ia tidak akan pernah kembali ke rumah itu lagi dan meminta Kian untuk bertanggung jawab.Laureta harus hidup menjauh dari keluarga Aleandro untuk selamanya. Mengapa Tuhan malah menitipkan anak dari benihnya Kian di tubuhnya?Yang bisa ia lakukan saat ini hanya menangis, entah harus sampai kapan ia seperti ini. Bisa melanjutkan hidup seperti ini saja sudah pencapaian yang luar biasa baginya.Sebenarnya, Laureta tidak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Namun, ia sudah terlanjur merencanakan banyak hal untuk dirinya sendiri. Kehamilannya menghambat geraknya dan menghancurkan semangat hidupnya.Bayangan akan sakit yang tidak ada habis-habisnya, mual sepanjang hari, pusing, sakit kepala yang tak ada obatnya, membuat Laureta semakin tertekan. Ia tidak mau mengalami hal itu lagi, tidak apalagi di saat ia benar-benar hidup sendiri seperti ini. Tak ada satu orang p
Beberapa hari kemudian, Laureta pun berhasil mendapatkan panggilan untuk wawancara. Betapa beruntungnya Laureta karena wawancara itu berjalan dengan sangat mulus.Kondisi badan Laureta tidak selemah sebelumnya. Ia bisa beraktifitas dengan cukup baik meski terkadang tubuhnya terasa dingin di sore hari. Ia berusaha untuk makan lebih sehat lagi. Ia baru akan pergi ke dokter kandungan setelah ia mendapatkan gaji pertamanya.Malam itu, Laureta mengusap perutnya dengan perasaan yang campur aduk. Anak yang tengah ia kandung di dalam rahimnya ini sepertinya sangat mengerti kondisi yang sedang dialami Laureta. Sudah selama ini, Laureta tidak merasa pusing dan mual yang berlebihan seperti kehamilannya yang pertama.Laureta benar-benar bersyukur karena ia diberi kemudahan dalam mencari pekerjaan dan kehamilannya tidak mengganggu aktifitasnya.“Terima kasih ya, Nak,” ucap Laureta pelan sambil mengusap-usap perutnya. “Semoga kelak Mama bisa mendapatkan uang yang banyak untuk masa depan kita. Maafk
Langkah berat Kian menelusuri lorong rumah sakit. Begitu tiba di depan kamar, Kian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Tanpa permisi, ia menerobos masuk dan berdiri di hadapan ayahnya yang sudah mengenakan pakaian lengkap.Kian agak terkejut melihat ayahnya yang terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Wajahnya tampak berseri-seri sambil memegang tangan Adinda di sebelahnya.“Kenapa Kak Kian ada di sini?” tanya Adinda.Pandangan mata Kian tak lepas dari ayahnya. “Papa, jelaskan padaku! Apa benar Papa mau menjodohkanku dengan orang lain?”Ayahnya hanya tersenyum pada Adinda sambil menepuk tangannya dengan tangan satunya. “Dinda, Papa mau mengobrol dulu dengan kakakmu sebentar ya. Kamu tunggu di luar.”“Apa aku tidak boleh ikut dengar obrolan kalian?”“Kamu kan harus mengurus administrasi rumah sakit.”Adinda mengangguk. “Baiklah, Pa.”Adik bungsu
“Hati-hati dengan ucapanmu,” ucap ayahnya dengan suara yang dalam dan berbahaya.“Aku tidak asal bicara. Semua ini berawal dari urusan warisan hingga aku bertindak berlebihan. Aku akui jika tindakanku saat menikahi Laura itu salah. Namun, setelah aku menjalani kehidupan pernikahanku dengan Laura, aku baru menyadari kalau aku memang benar-benar mencintainya. Jadi, jangan pernah menyuruhku untuk menikah dengan Helga karena aku sudah tidak menginginkannya lagi.”Kian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Ayahnya menatap Kian dengan tajam seolah dirinya tak terima dikalahkan oleh putranya yang masih ia anggap bocah dan bisa ia setir kehidupannya.“Kamu akan berubah pikiran,” ujar ayahnya penuh keyakinan.Kian menggelengkan kepalanya, lalu berkata, “Tidak akan.”Setelah berkata itu, Kian pun keluar dari ruangan ayahnya. Seharusnya ia yang mengurus administrasi rumah sakit, bukannya Adinda. Semua
Helga tampak begitu percaya diri. Kian pun merasa sedikit gentar, tapi ia cukup yakin apa yang menjadi pilihannya. Ia tidak akan pernah membiarkan Helga menikah dengannya.“Dua hari yang lalu, Marisa meneleponku. Dia mengajakku untuk menjenguk ayahmu di rumah sakit,” ucap Helga.“Marisa,” ulang Kian tak percaya.“Yap. Marisa, adikmu. Aku tidak menyangka kalau aku akan diperbolehkan untuk menemui orang tuamu karena aku pikir selama ini kamu terus menerus merahasiakan hubungan kita.”“Kita tidak ada hubungan apa-apa,” ujar Kian dingin.Ucapan Kian tidak memudarkan semangat wanita itu. Helga terus berbicara. “Sebenarnya, aku ingin memberitahumu tentang hal ini tadi pagi, tapi sepertinya kamu sedang sibuk. Aku pun tidak ingin mengganggumu lagi. Lalu tadi aku melihatmu sedang merenung di depan aquarium. Kamu pasti sedang memikirkan tentang masa depanmu.”Kian memutar bola matanya. &ldquo
Bibir Helga tinggal satu senti lagi menempel ke bibirnya. Dengan cepat Kian memundurkan kepalanya. Ia menarik Helga dan menjauhkan wanita itu dari depan pintu.“Ini sudah malam. Lebih baik kamu pulang, Helga.”Akhirnya, Kian berhasil keluar dari ruangan. Lalu Helga berseru, “Memangnya kamu tega membiarkanku pulang sendirian?!”Langkah Kian terhenti, tapi ia tidak membalikkan badannya.“Kamu tahu bagaimana caranya datang, itu artinya kamu juga bisa pulang sendiri,” ucap Kian dingin.“Benarkah? Kamu benar-benar akan membiarkanku ….”“Kamu bisa pesan taksi. Pegawaiku akan membantumu mencarikan taksi daring.” Kian hanya menoleh sedikit ke samping, lalu kembali melangkah dengan cepat sambil membuka satu kancing kemejanya.Tiba-tiba saja udara terasa begitu panas. Saat ia tiba di parkiran, langit pun turun hujan. Ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melaju meninggalkan The Prince, meninggalkan Helga sendirian.Kian benar-benar harus tega membiarkan Helga. Jika ia luluh dan terpincut lagi o
Kian menarik napas untuk menenangkan dirinya. Ia harus bangkit untuk menemukan Laureta. Ia melihat jam di ponselnya, masih empat jam lagi menuju jam enam pagi.Susah payah, Kian memejamkan mata dan memerintahkan dirinya untuk tidur. Ia merasa lelah, tapi tidak juga terlelap.Hingga akhirnya pukul lima ia baru benar-benar terlelap. Kian membayar utang tidurnya yang terganggu hingga pukul delapan pagi. Ia bahkan tidak menyadari ketika meja kerjanya ternyata sudah dibersihkan oleh para pelayan.Kian membuka matanya tiba-tiba hingga jantungnya berdetak cepat. Diliahtnya jam di dinding hingga membuatnya terkesiap. Kian segera membersihkan diri dan berpakaian lengkap.Untuk pertama kalinya ia bangun setelat ini. Biasanya pukul enam pagi ia sudah siap untuk sarapan bersama keluarganya.Kian berhenti sejenak di meja kerjanya untuk mengambil tas kerja. Lalu ia mencoba menyalakan lampu kerja yang ternyata sudah dipasang lampu yang baru. Ia menatap lantai yang sudah bersih dan rapi. Apa ia bermi
“Haruskah kita melakukan ini?” tanya Marisa pada Adinda.“Sepertinya begitu,” jawab Adinda sambil mengangkat alisnya.Saat ini mereka sedang berada di ruang makan. Ayah mereka memerintahkan mereka untuk berkumpul di sana untuk makan malam bersama tamu spesial.Ibu mereka sedang menatap layar ponsel dengan wajah gugup. Kemudian ia menaruh ponselnya di kuping. Sepertinya sambungan teleponnya tidak dijawab. Wajah sang ibu langsung berubah semakin pucat.“Ma, apa Kian tidak mengangkat teleponnya?” tanya Marisa.Ibunya menggelengkan kepala. “Sebentar lagi Helga akan datang ke sini, tapi Kian masih belum pulang juga. Bagaimana ini?”Adinda sedang mengetik sesuatu di layar ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kian, tapi ponselnya sepertinya tidak aktif karena pesan singkatnya tidak terkirim.“Mama tidak mengerti,” ucap sang ibu dengan bahu yang merosot. “Kenapa banyak sekali masalah yang menimpa Kian? Padahal selama ini, dia tidak baik-baik saja. Apa seharusnya Mama tidak pernah memintanya untu