Langkah berat Kian menelusuri lorong rumah sakit. Begitu tiba di depan kamar, Kian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Tanpa permisi, ia menerobos masuk dan berdiri di hadapan ayahnya yang sudah mengenakan pakaian lengkap.
Kian agak terkejut melihat ayahnya yang terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Wajahnya tampak berseri-seri sambil memegang tangan Adinda di sebelahnya.
“Kenapa Kak Kian ada di sini?” tanya Adinda.
Pandangan mata Kian tak lepas dari ayahnya. “Papa, jelaskan padaku! Apa benar Papa mau menjodohkanku dengan orang lain?”
Ayahnya hanya tersenyum pada Adinda sambil menepuk tangannya dengan tangan satunya. “Dinda, Papa mau mengobrol dulu dengan kakakmu sebentar ya. Kamu tunggu di luar.”
“Apa aku tidak boleh ikut dengar obrolan kalian?”
“Kamu kan harus mengurus administrasi rumah sakit.”
Adinda mengangguk. “Baiklah, Pa.”
Adik bungsu
“Hati-hati dengan ucapanmu,” ucap ayahnya dengan suara yang dalam dan berbahaya.“Aku tidak asal bicara. Semua ini berawal dari urusan warisan hingga aku bertindak berlebihan. Aku akui jika tindakanku saat menikahi Laura itu salah. Namun, setelah aku menjalani kehidupan pernikahanku dengan Laura, aku baru menyadari kalau aku memang benar-benar mencintainya. Jadi, jangan pernah menyuruhku untuk menikah dengan Helga karena aku sudah tidak menginginkannya lagi.”Kian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Ayahnya menatap Kian dengan tajam seolah dirinya tak terima dikalahkan oleh putranya yang masih ia anggap bocah dan bisa ia setir kehidupannya.“Kamu akan berubah pikiran,” ujar ayahnya penuh keyakinan.Kian menggelengkan kepalanya, lalu berkata, “Tidak akan.”Setelah berkata itu, Kian pun keluar dari ruangan ayahnya. Seharusnya ia yang mengurus administrasi rumah sakit, bukannya Adinda. Semua
Helga tampak begitu percaya diri. Kian pun merasa sedikit gentar, tapi ia cukup yakin apa yang menjadi pilihannya. Ia tidak akan pernah membiarkan Helga menikah dengannya.“Dua hari yang lalu, Marisa meneleponku. Dia mengajakku untuk menjenguk ayahmu di rumah sakit,” ucap Helga.“Marisa,” ulang Kian tak percaya.“Yap. Marisa, adikmu. Aku tidak menyangka kalau aku akan diperbolehkan untuk menemui orang tuamu karena aku pikir selama ini kamu terus menerus merahasiakan hubungan kita.”“Kita tidak ada hubungan apa-apa,” ujar Kian dingin.Ucapan Kian tidak memudarkan semangat wanita itu. Helga terus berbicara. “Sebenarnya, aku ingin memberitahumu tentang hal ini tadi pagi, tapi sepertinya kamu sedang sibuk. Aku pun tidak ingin mengganggumu lagi. Lalu tadi aku melihatmu sedang merenung di depan aquarium. Kamu pasti sedang memikirkan tentang masa depanmu.”Kian memutar bola matanya. &ldquo
Bibir Helga tinggal satu senti lagi menempel ke bibirnya. Dengan cepat Kian memundurkan kepalanya. Ia menarik Helga dan menjauhkan wanita itu dari depan pintu.“Ini sudah malam. Lebih baik kamu pulang, Helga.”Akhirnya, Kian berhasil keluar dari ruangan. Lalu Helga berseru, “Memangnya kamu tega membiarkanku pulang sendirian?!”Langkah Kian terhenti, tapi ia tidak membalikkan badannya.“Kamu tahu bagaimana caranya datang, itu artinya kamu juga bisa pulang sendiri,” ucap Kian dingin.“Benarkah? Kamu benar-benar akan membiarkanku ….”“Kamu bisa pesan taksi. Pegawaiku akan membantumu mencarikan taksi daring.” Kian hanya menoleh sedikit ke samping, lalu kembali melangkah dengan cepat sambil membuka satu kancing kemejanya.Tiba-tiba saja udara terasa begitu panas. Saat ia tiba di parkiran, langit pun turun hujan. Ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melaju meninggalkan The Prince, meninggalkan Helga sendirian.Kian benar-benar harus tega membiarkan Helga. Jika ia luluh dan terpincut lagi o
Kian menarik napas untuk menenangkan dirinya. Ia harus bangkit untuk menemukan Laureta. Ia melihat jam di ponselnya, masih empat jam lagi menuju jam enam pagi.Susah payah, Kian memejamkan mata dan memerintahkan dirinya untuk tidur. Ia merasa lelah, tapi tidak juga terlelap.Hingga akhirnya pukul lima ia baru benar-benar terlelap. Kian membayar utang tidurnya yang terganggu hingga pukul delapan pagi. Ia bahkan tidak menyadari ketika meja kerjanya ternyata sudah dibersihkan oleh para pelayan.Kian membuka matanya tiba-tiba hingga jantungnya berdetak cepat. Diliahtnya jam di dinding hingga membuatnya terkesiap. Kian segera membersihkan diri dan berpakaian lengkap.Untuk pertama kalinya ia bangun setelat ini. Biasanya pukul enam pagi ia sudah siap untuk sarapan bersama keluarganya.Kian berhenti sejenak di meja kerjanya untuk mengambil tas kerja. Lalu ia mencoba menyalakan lampu kerja yang ternyata sudah dipasang lampu yang baru. Ia menatap lantai yang sudah bersih dan rapi. Apa ia bermi
“Haruskah kita melakukan ini?” tanya Marisa pada Adinda.“Sepertinya begitu,” jawab Adinda sambil mengangkat alisnya.Saat ini mereka sedang berada di ruang makan. Ayah mereka memerintahkan mereka untuk berkumpul di sana untuk makan malam bersama tamu spesial.Ibu mereka sedang menatap layar ponsel dengan wajah gugup. Kemudian ia menaruh ponselnya di kuping. Sepertinya sambungan teleponnya tidak dijawab. Wajah sang ibu langsung berubah semakin pucat.“Ma, apa Kian tidak mengangkat teleponnya?” tanya Marisa.Ibunya menggelengkan kepala. “Sebentar lagi Helga akan datang ke sini, tapi Kian masih belum pulang juga. Bagaimana ini?”Adinda sedang mengetik sesuatu di layar ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kian, tapi ponselnya sepertinya tidak aktif karena pesan singkatnya tidak terkirim.“Mama tidak mengerti,” ucap sang ibu dengan bahu yang merosot. “Kenapa banyak sekali masalah yang menimpa Kian? Padahal selama ini, dia tidak baik-baik saja. Apa seharusnya Mama tidak pernah memintanya untu
“Sudahlah!” seru ayahnya. “Biarkan saja jika Kian tidak mau datang untuk makan malam! Yang terpenting, kamu sudah hadir di sini. Ayo kita ke ruang makan! Koki di rumahku sudah menyiapkan menu terbaik.”Ayahnya menekan punggung Helga dan membimbingnya menuju ke ruang makan. Marisa dan Adinda saling tukar pandang, lalu Marisa mengangkat alisnya. Ibu mereka masih terus memasang wajah masam sambil melipat tangannya di dada.Marisa merangkul ibunya dan kemudian mereka sama-sama mengikuti ayah mereka ke ruang makan. Ia cukup yakin jika ibunya sedang banyak tekanan dalam pikirannya. Ayahnya yang baru saja pulang dari rumah sakit, tapi malah langsung mengajak Helga untuk makan malam.Sikap ayahnya agak berlebihan, tidak seperti biasanya. Ayahnya terlalu terang-terangan menunjukkan bahwa ia sangat menyukai Helga.Untuk sejenak, Marisa mengesampingkan rasa bencinya dan fokus untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya Adinda pun melakukan hal yang sama. Ia tidak lagi mendelik ke arah Helga.Si t
Malam semakin larut, Kian menyetir mobilnya menuju ke rumah. Seharusnya Helga sudah pulang dari rumahnya. Ketika ia hendak berbelok masuk ke jalan rumahnya, ia merasa khawatir jika tiba-tiba ia akan mendapatkan kejutan di rumahnya. Apa pun bisa saja terjadi. Kian pun mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari ibunya, Adinda, Marisa, dan juga Helga. Ia membaca pesan yang masuk satu per satu. Pesan dari Adinda ia buka terlebih dulu. “Kak Kian pengecut! Kenapa Kakak tidak pulang dan menghadapi Helga? Usir dia dari rumah ini!” Kian tersenyum. Adinda sepertinya setuju jika Kian dan Helga tidak perlu dijodohkan. Adiknya itu adalah orang yang telah memergokinya di hotel saat ia sedang berselingkuh dengan Helga. Rasanya tidak mungkin jika Adinda menerima Helga begitu saja. Kian membalasnya. “Maafkan aku. Apa Helga sudah pulang?” Lalu ia membaca pesan dari Marisa. “Begitu kamu tiba di rumah, aku akan langsung men
Semalaman itu Kian terus menerus memikirkan tentang ucapan Marisa. Untuk apa ia memaksa membawa Laureta pulang ke rumah ini jika pada akhirnya, ia hanya akan membuat Laureta menderita? Sebutan anak perampok itu tidak akan hilang begitu saja. Semua orang belum tentu akan menaruh rasa hormat lagi pada Laureta setelah mengetahui statusnya yang sebenarnya. Lantas, apa yang sebenarnya Kian inginkan? Mengikuti egonya untuk tetap membawa Laureta kembali ke sini? Atau ia justru harus merelakan Laureta supaya wanita itu bisa hidup bebas dan merasakan kebahagiaannya yang sesungguhnya? Perlahan setetes air mata pun mengalir di pipinya. Ia tidak rela jika harus kehilangan wanita itu untuk selamanya. Apakah Laureta pun tega membiarkan Kian hidup sendirian tanpa dirinya? Kian menoleh ke samping tempat tidurnya, tempat biasanya Laureta berbaring dengan wajahnya yang polos. Andai ia bisa, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Laureta pikirkan. Apa yang sebenarnya tengah