Laureta pergi ke sebuah toko obat yang ada di mall, lalu membeli beberapa buah alat tes kehamilan. Suatu saat, ia pasti membutuhkannya.Sore itu, Laureta pulang dan terkejut ketika melihat Kian yang sudah ada di rumahnya terlebih dahulu. Di ruang tamu, ia sedang mengobrol seru dengan Adinda berdua.“Laura!” seru Kian. “Akhirnya, kamu pulang. Kamu sudah makan belum, Sayang?”Laureta terkejut melihat sikap Kian yang tiba-tiba perhatian padanya. “A-aku ….”Sebenarnya, Laureta belum makan malam, tapi ia sedang tidak selera. Kian menghampirinya dan merangkulnya dengan sayang.“Kamu belum makan ya? Ayo kita makan sama-sama! Aku sengaja menunggumu pulang supaya kita bisa makan bersama.”Adinda menghampiri mereka. “Sepertinya aku harus pulang. Mataku bisa sakit melihat kemesraan kalian berdua.” Ia terkekeh, lalu mengedipkan matanya pada Laureta.Sungguh, Laureta tidak paham dengan semua ini. Ia merasa jika Kian hanya bersandiwara di depan adiknya. Entah apa tujuannya, tapi yang pasti Laureta
Butuh waktu dua bulan untuk mempersiapkan perjalanan wisata keluarga Aleandro ke London. Marisa jelas yang paling sibuk di antara semuanya. Alasan Marisa memilih bulan Desember ini karena semuanya sudah libur. Semua orang sudah saling mencocokkan waktu yang pas.Setiap hari, udara jadi semakin dingin karena hujan terus menerus. Suasana natal mulai terasa di mana-mana.Clara sudah memasang pohon natal di ruang kerja Kian. Sekretarisnya itu tersenyum saat Kian memasuki ruangan. Ia baru saja menggantungkan lonceng di pohon yang bagian bawah.“Wah! Kamu sudah memasang pohon natal?” tanya Kian.“Iya, Pak.”Clara pun menegakkan tubuhnya. Kian mengangguk sambil melihat hasil kerjanya yang indah. Meski Kian tahu jika sekretarisnya itu menaruh perasaan padanya dan telah membuat Laureta sakit hati karena perkataannya, tapi Kian tidak bisa memecat wanita itu.Semua urusan pekerjaan masih aman terkendali. Laureta hanya tidak perlu sering-sering bertemu dengannya di kantor supaya istrinya itu tida
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kian yang langkahnya terhenti begitu melihat Helga duduk di sana seorang diri.Helga tersenyum. Wajahnya terlihat agak pucat. Tidak biasanya, wanita itu kini tidak mengenakan riasan di wajahnya. Meski begitu, ia justru terlihat sangat cantik.Kian teringat saat dulu ia pernah tidur bersama Helga dan terbangun di pagi, melihat wajahnya yang polos tanpa riasan. Helga persis terlihat sama seperti waktu itu.Wanita itu menghampiri Kian dan kemudian memeluknya. Ia menyandarkan wajahnya di dada Kian. Seandainya ia bisa menjauhkan Helga dari tubuhnya, ia akan melakukannya dengan tega. Namun, melihat kondisinya yang seperti ini, Kian justru ingin memeluknya dengan erat.Hanya saja, ia tidak balas memeluknya begitu saja. Ada terlalu banyak mata yang melihatnya. Jadi, terpaksa Kian pun melepaskan pelukan Helga.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kian yang berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kekhawatirannya.“Aku sudah baikan. Aku hanya perlu banyak istir
Ucapan Helga seminggu yang lalu masih terus mengusik Kian. Ia yakin sekali jika terjadi sesuatu pada wanita itu, tapi Kian memilih untuk tidak banyak bertanya. Jika ia sampai tahu yang sebenarnya dan ternyata itu adalah sesuatu hal yang buruk, maka ia mungkin akan langsung jatuh lagi ke pelukan wanita itu.Kian sekuat tenaga untuk tetap bertahan bersama Laureta, istrinya yang kini bersikap berbeda setelah kejadian di rumah sakit itu. Andai saja Laureta mengetahui lebih banyak lagi tentang Kian dan Helga, mungkin Laureta akan langsung meninggalkannya.“Menurutmu, apa pakaianku sudah cukup segini?” tanya Laureta sambil menunjukkan isi kopernya pada Kian.“Ya, aku rasa sudah cukup. Kalau sampai ada yang kurang, nanti kita beli saja di sana,” kata Kian kalem.Laureta mengangguk. “Baiklah. Kamu kan sudah pernah ke sana. Memangnya udaranya bisa lebih dingin dari kulkas?”Kian terkekeh. “Ya, bisa jadi. Kamu harus membawa vitamin dan jangan makan sembarangan supaya tidak sampai sakit.”“Oke.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Laureta naik pesawat jet pribadi. Pesawatnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung enam belas orang. Laureta terkesima dan takjub melihat kemewahan yang tidak akan pernah ia alami jika ia tidak menikah dengan Kian.Meski perasaannya masih belum menentu semenjak kejadian di rumah sakit itu, tapi untuk saat ini Laureta bisa disebut berhasil mengesampingkan perasaannya. Ia duduk bersebelahan dengan Kian. Kursinya begitu mewah dan besar. Ia bisa meluruskan kakinya tanpa ada yang menghalangi.Semua orang tampak bersemangat untuk pergi berlibur, termasuk Elisa yang biasanya selalu saja cemberut dan tidak menunjukkan tanda-tanda ramah. Untuk pertama kalinya Elisa tersenyum pada Laureta karena sang kakak duduk di sebelah kirinya berdua dengan suaminya.Erwin duduk di belakang sang ibu bersama Helena, anaknya Marisa yang bungsu. Sementara Renata duduk dengan Feliska, adiknya.Laureta melirik ke arah Erwin yang sedang me
Dua jam terlewati. Laureta tidur pulas sekali. Kian tersenyum. Istrinya itu tampak polos sekali saat tidur. Kian tergoda untuk menciumnya.Ia pun menunduk, lalu mengecup bibir Laureta. Saat ia menoleh ke samping, Erwin sedang melihat ke arahnya. Kian pun dengan santai duduk kembali. Biar saja mata Erwin terbakar karena melihat mantan kekasihnya kini menjadi istrinya.Sesuatu yang dingin seolah menjalar di dadanya. Nama Helga mengganggu hati dan pikirannya. Ia telah mengkhianati Laureta meski tidak secara langsung. Ia ingin menjauhi Helga, melupakan wanita itu dengan sekuat tenaganya.Namun, begitu wanita itu jatuh sakit, hati Kian langsung terguncang dan bimbang. Menyadari akan hal itu membuat Kian membenci dirinya sendiri. Ia tidak suka akan perasaan seperti ini, membuatnya merasa seperti seorang pengecut.Kian berjanji untuk mencintai Laureta karena wanita itu adalah istrinya dan memang ia merasa nyaman dan dicintai oleh wanita itu. Perasaan cinta Laureta tulus apa adanya. Namun, me
Laureta megap-megap seperti yang kehabisan napas. Ia tak menyangka jika Kian akan menciumnya seperti itu. Hasratnya bergejolak, gairahnya mendidih di bawah kulitnya.Lidah Kian menyapu bibirnya, memberikan efek geli hingga Laureta pun bergetar. Lututnya terasa lemas.Kian tidak berhenti sampai di sana. Pria itu dengan gigih mencumbunya, memaksa bibirnya untuk terbuka. Lalu lidah mereka pun saling sapa.Area bawah tubuh Laureta berkedut-kedut hingga mengalirkan sesuatu yang basah dan licin. Laureta pun memeluk leher Kian, memberinya akses untuk menyentuh tubuhnya dengan leluasa.Kian pun menyambut undangan Laureta. Tangannya langsung menggerayangi tubuhnya, tapi sentuhannya tidak begitu terasa karena ada banyak kain yang menghalangi. Ia membuka jaket Laureta dengan terburu-buru. Ciuman mereka pun terhenti, napas keduanya terengah-engah.“Sudah kubilang. Seharusnya jaketnya tidak usah sebanyak ini,” ucap Laureta sambil menautkan alisnya. Ia kesal karena jaketnya agak sulit untuk dibuka.
Ucapan cinta dari mulut Kian sungguh membuat hati bergetar. Laureta merasa hatinya terasa hangat. Hidupnya begitu sempurna karena memiliki seorang suami yang mencintainya.Mungkin ada banyak permasalahan yang terjadi padanya selama ini, tapi semua itu sungguh terbayarkan karena Kian tidak membiarkan Laureta terus terlarut dalam kesedihannya. Sepertinya hal itu akan menjadi hal yang normal dalam kehidupan rumah tangganya.Kunci dalam keharmonisan rumah tangga salah satunya adalah bumbu-bumbu pertengkaran. Sejauh ini, Laureta masih bertahan dan bisa memaafkan Kian dengan setulus hatinya.Malam itu benar-benar menjadi malam yang sempurna. Laureta tidur dalam pelukan Kian. Biasanya jika di rumah, ia hanya akan bertahan selama beberapa menit hingga akhirnya melepaskan diri karena pelukan Kian semakin lama terasa panas dan membuat tangannya jadi pegal.Namun, kali ini Laureta merasa nyaman dalam pelukan Kian karena udaranya amat sangat dingin. Pemanas ruangan berfungsi dengan sangat baik, t