"Bawa saja keponakan saya! Dia yang akan menjadi jaminannya!" seru Martin dengan gila, sebelum empat orang pria berbadan besar menangkapnya. Dia yang berada di belakang keponakannya, memegangi bahu Elena dan tak memedulikan tatapan kaget keponakannya itu.
"Apa? Apa yang Om katakan?""Diam! Kamu diam saja! Nurut sama Om!" Martin mendesak, lalu mengalihkan perhatiannya pada empat orang di depannya. Dia mencengkeram dagu gadis itu serta menunjukkan wajah Elena. "Kalian bisa membawa Elena. Lihatlah! Dia cantik, Bos pasti suka! Saya janji akan melunasi semuanya nanti."Elena tersentak. Dia melotot kaget mendengar perkataan pamannya yang bicara seolah dia adalah barang. Bagaimana bisa pamannya bersikap seperti ini? Dia bahkan baru saja pulang kerja saat kegaduhan terjadi dan melihat pamannya dipukuli, gara-gara tidak mampu melunasi utang yang sudah menunggak hingga ratusan juta. Dia juga sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar terbaik agar utang pamannya bisa dilunasi, tapi apa yang dikatakan pamannya ini? Pamannya malah meminta mereka untuk membawanya? Setelah membuat masalah dengan meminjam uang untuk berjudi dan bahkan sampai menggadaikan rumah, sekarang dia akan dijadikan jaminan?Marah? Kesal? Kecewa? Ya, itulah yang Elena rasakan sekarang, sampai dia mendorong pamannya dan menjauh. Pamannya adalah keluarganya sekaligus orang yang dia sayangi, tapi teganya melakukan ini terhadapnya. "Om! Om apa-apaan? Om mau menjualku?""Apa? Tentu saja tidak, Om hanya ingin kamu ikut mereka. Kamu tidak akan diapa-apakan. Jadi, bernegosiasi 'lah dengan Bos mereka. Bantu Om, Elena. Hanya kamu yang bisa melakukannya," bisiknya. Hanya ini satu-satunya cara agar dia masih bisa bernapas. Menyerahkan anak dari saudaranya yang telah meninggal. Ya, lagi pula dirinya tidak punya pilihan lain selain ini."Tapi tidak dengan cara seperti ini!""Sudahlah, tahu apa kamu? Lebih baik kamu diam saja!""Om!""Kami tidak membutuhkannya. Yang Bos minta itu, kau melunasi utangnya. Jika tidak, kami harus membawamu dan kau akan tahu akibatnya!" tegas salah seorang dari pria yang tadi memukuli Martin dan diam saja melihat pertengkaran paman serta keponakannya. Dia berhasil menarik kembali perhatian serta memberi ancamannya yang sangat nyata dan semua orang yang mendengar tahu itu tak main-main, apalagi saat kata 'Bos' disebut.Selama ini, kata 'Bos' seolah menjadi momok menakutkan bagi siapa pun yang terlibat dengan mereka. Sebagai seorang penjudi dan orang yang berutang pada 'bos' tersebut, Martin tentu cukup mengenal siapa yang dimaksud. Pria kejam yang juga pemilik kasino dan sebuah kelab malam di pusat kota yang selalu dia kunjungi. Selentingan kabar mengatakan, pria itu adalah yang terburuk dari yang terburuk dan tak punya hati.Sayangnya, tak ada yang pernah bertemu secara langsung. Mereka yang memiliki kepentingan hanya bisa berinteraksi lewat orang kepercayaannya, tapi beberapa orang yang berurusan dengan pria tersebut memiliki nasib tak beruntung. Apalagi jika mereka berutang dan tak mau membayar utangnya. Orang yang berutang itu bisa saja harus membayar utangnya dengan nyawa, dan jika orang yang berutang melarikan diri, maka keluarganya yang akan diburu."A-ayolah! Saya janji akan melunasi utangnya. Saya tidak akan melarikan diri."Martin dengan cepat maju, menghadap pria yang merupakan ketua dari ketiga orang lainnya. Dia menariknya agak jauh untuk berdiskusi. "Tolong bawa saja keponakan saya. Bos kalian mungkin akan senang dan terserah dia mau diapakan. Bos kalian bebas melakukan apa pun padanya.""Kenapa kau bisa berpikir Bos akan senang jika kami membawanya?""Tentu saja karena pria suka bersenang-senang dengan wanita! Dengarlah, keponakan saya itu, dia masih perawan. Dia akan cocok untuk melayani Bos kalian.""Perawan?""Ya, lihatlah! Elena sangat cantik, tubuhnya juga bagus. Saya janji tidak akan melarikan diri. Saya juga pasti akan membayar utangnya, jadi tolong bawa saja dia sebagai jaminannya. Jika Bos kalian puas dengannya, bukankah kalian juga akan mendapatkan bonus?"Martin mencoba menghasut dan mengiming-imingi sambil berharap keponakannya akan berguna. Hingga pria itu mulai berpikir dan menimbang perkataan Martin, sambil sesekali melirik ke arah Elena yang tampak waspada karena tidak tahu apa yang dibicarakan. Memang tidak ada ruginya sekali pun mereka membawa gadis itu. Jika Martin melarikan diri, mereka tinggal membunuhnya dan mengambil apa yang bisa mereka jual dari gadis itu. Memburu Martin juga tidaklah sulit. Bosnya juga mungkin senang karena gadis itu bisa menjadi hiburannya."Baiklah, kami akan bawa gadis itu, tapi kalau Bos tidak mau, kami akan datang dan memenggal kepalamu," ucapnya dengan serius sambil menekankan setiap kalimatnya, yang membuat Martin berkeringat dingin. Lalu dia menoleh ke arah tiga orang anak buahnya. "Bawa gadis itu. Kita akan menyerahkannya pada Bos.""Baik.""Apa? Om! Aku tidak mau! Kenapa jadi aku?"Elena kaget saat kedua tangannya dipegangi. Dia ketakutan, tapi dia masih berusaha memberontak. Dia sama sekali tidak menyangka, kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Kenapa jadi dirinya yang harus dibawa dan apa yang dikatakan pamannya pada orang itu?"Cckk, menurut saja, Elena. Ini juga demi kebaikan kita! Kamu harus bisa melakukan tugasmu dengan baik!""Aku tidak mau! Apa yang akan dikatakan Kak Marcell kalau dia tahu apa yang Om lakukan padaku!" jerit Elena yang berusaha bertahan. Dia tidak ingin pergi. Dia tidak mau meninggalkan tempat itu. Rumahnya dan kakak sepupunya yang entah kenapa belum kunjung pulang."Marcell tidak akan marah, dia pasti akan mengerti. Tenang saja, kami juga akan membawamu lagi."Wajah Elena memucat mendengar perkataan pamannya. Membawanya kembali? Apa itu mungkin? Elena memiliki firasat, dia tidak akan pernah kembali ke sini lagi jika dibawa oleh mereka. Jahat sekali pamannya melakukan ini padanya. Padahal orang tuanya telah mempercayakan dirinya untuk menjaganya. Elena merasa sangat terluka dan dikhianati. Selama ini dia selalu berusaha menjadi orang yang berguna dan membantu memenuhi kebutuhan pamannya yang sudah tidak bekerja. Namun balasannya? Dia dijadikan barang jaminan."Kenapa Om tega sekali padaku! Aku dan Kak Marcell sudah berulang kali memintamu berhenti berjudi, tapi Om malah melakukan ini padaku! Kak Marcell pasti akan marah!" Elena berusaha keras untuk tidak menangis, walau dadanya sesak bukan main."Kalian bisa membawanya sebelum orang lain melihat." Martin tak memedulikan ucapan Elena."OM!"Elena benar-benar tidak mau pergi. Dia juga tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia tak percaya pamannya malah memalingkan muka. Hingga Elena yang marah dan kesal, serta ingin bebas, berusaha menggigit tangan yang memegangi lengan kirinya dan hendak melarikan diri, tapi sialnya dia kembali ditahan. Tentu saja, siapa gadis yang bisa mengalahkan tiga pria berbadan besar seorang diri? Bukan Elena tentunya.Hal itu pun membuat Elena frustrasi sampai akhirnya dia mencoba cara terakhir, yaitu berteriak dan berharap ada orang yang menolongnya. "TIDAK! LEPASKAN! TOLONG! TOLONG AK—"Sayangnya, belum sempat Elena berteriak kembali, sebuah pukulan dirasakan di tengkuknya dan itu cukup keras sampai akhirnya berhasil membuatnya pusing. Elena mulai merasakan pandangannya tidak terlalu jelas, sampai sebelum dia sempat melakukan apa pun, kegelapan merenggutnya."Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?""Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."Ugh.Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah."Jaminan? Dia memberikan keponakannya?""Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan.""Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah.""Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu.""Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke ar
"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghi
"Aakhh!"Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya t
"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel