"Aakhh!"
Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya telah tertidur dan itu adalah sesuatu yang bagus. Akan tetapi, satu masalah yang Elena hadapi saat ini.Elena tidak tahu di mana letak pintu keluarnya!Rumah milik Darryl terlalu besar dan dia belum pernah menjelajahinya. Jika dia tidak dengan cepat menemukan pintu keluar, Darryl mungkin akan segera menangkapnya lagi."ELENA!"Elena tersadar. Dia menoleh dan melihat Darryl yang sudah berusaha bangun. Sadar jika pria itu akan mengejarnya, Elena kembali berlari dengan panik. Dia mencari pintu keluar yang sayangnya sulit dia temukan. Sedangkan Darryl juga ikut berlari. Sampai Elena yang sadar jaraknya semakin dekat dengan Darryl, dia pun spontan langsung membuka sebuah pintu yang ada di depannya dengan cepat dan menutupnya.Elena mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah, tapi sadar dirinya tidak bisa lama-lama di sana, Elena berniat melarikan diri ke ruangan lain atau bersembunyi di sana dan memberikan perlawanan pada Darryl. Namun sialnya, saat Elena berpikir mencari alat pertahanan diri dan tempat sembunyi, dia dibuat terdiam ketika menyadari jika ternyata ruangan itu adalah sebuah kamar."Tante ... siapa?"Deg.Elena terkejut saat telinganya mendengar suara anak kecil. Dia yang kebingungan, sontak menoleh. Matanya kemudian melihat seorang anak lelaki yang tengah duduk di ranjang dan menatapnya dengan wajah khas bangun tidur. Siapa anak kecil itu?"Apa Tante itu Bunda baru buat Iel?" tanya anak itu lagi, ketika Elena tidak menjawab."Hah? Bunda? Iel?""Iya, apa Ayah yang minta Bunda ke sini?"Kepala Elena mendadak pusing. Dia tidak mengerti apa yang anak kecil itu katakan. Dia tidak tahu apa-apa dan dia harus keluar dari tempat itu apa pun yang terjadi. Mungkin, bocah ini tahu jalan pintasnya. "Nak, sepertinya kamu salah pah—""Ezekiel, tapi Bunda bisa memanggilku Iel," potong anak kecil itu sambil tersenyum. Dia memperkenalkan namanya pada Elena yang kini kebingungan."Apa? Tapi aku bukan—"Brak!Pintu terbuka. Elena terlambat dan tak sempat sembunyi saat seseorang muncul di balik pintu dan membuatnya terkejut bukan main karena itu adalah Darryl. Pria tua yang datang dengan bagian kepala yang tampak berdarah. Mata pria itu terlihat berapi-api menatapnya. Seakan ingin sekali membunuhnya."Elena!"Elena panik. Dia pun sontak mendekat ke arah anak kecil yang bernama Ezekiel tadi, karena takut saat Darryl menghampirinya dengan penuh kemarahan. Pria itu pasti akan membunuhnya."Kemarilah, Elena!""Tidak! Aku tidak mau! Tolong lepaskan aku!" pekik Elena saat Darryl mendekat. Dia menjadi ketakutan. Hingga kemudian dia langsung mengambil apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk melawan pria tua itu. Elena mendapatkan sebuah jam weker di nakas dan dia tak ragu untuk melemparnya. "Pergi kau, bajingan!"Darryl kali ini tentu bisa menghindar, tapi dia menjadi sangat marah karena Elena masih bersikap kasar padanya. Dia tidak percaya ada orang yang memiliki nyali sebesar gadis itu. Saat semua orang takut padanya, bahkan memandang saja tidak berani, gadis itu meludahinya dan memukul wajahnya. Darryl merasa harga dirinya terluka. "Elena, kau—""Ayah! Apa yang mau Ayah lakukan ke Bunda?"Ezekiel yang dari tadi melihat pertengkaran di depan matanya, sontak berlari dan langsung melindungi Elena yang hendak ditampar oleh Darryl. Dia memeluk gadis itu sambil menatap berani ke arah Darryl."Ezekiel, dia bukan Bundamu. Menyingkirlah!" seru Darryl sambil mengepalkan tangannya. Dia terpaksa menariknya kembali dan menahan amarahnya agar tidak memukul sang anak. Ezekiel, putranya yang baru berumur lima tahun, tidak mungkin jika harus menyaksikan kekerasan."Bukan Bunda?" Ezekiel menatap sang ayah dan Elena yang ketakutan bergantian. Dia bisa merasakan tubuh Elena yang gemetar. Ezekiel tentu menyadari jika itu karena ayahnya."Iya, menyingkirlah dan kembali tidur. Ayah harus bicara dengannya.""Tidak! Kau bajingan gila! Aku tidak mau!" teriak Elena yang tidak ingin bicara dengan Darryl. Dia semakin ketakutan saat matanya bertatapan dengan pria itu."Jangan membuatku mengatakannya dua kali, Elena.""Ayah, bisakah bicaranya besok saja? Iel mau tidur sama Tante ini. Iel kangen Bunda."Elena terkejut. Dia sontak menatap ke arah Ezekiel dengan penuh kebingungan. Apa anak kecil itu berusaha menyelamatkannya? Elena masih belum terlalu paham di sini, tapi dia mungkin beruntung."Jangan bercanda, Ezekiel. Dia bukan Bundamu.""Tapi Iel mau Tante ini, Ayah. Iel mohon." Ezekiel menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca tanpa mau melepaskan Elena sedikit pun. Tindakannya yang tak diduga, jelas membuat Darryl marah, tapi pria itu tak mampu berbuat apa-apa di depan putra tersayangnya."Dia berbahaya. Ayah harus mendisiplinkannya.""Kau yang berbahaya, dasar berengsek! Kau mencekikku! Kau mau membunuhku!"Darryl mengetatkan rahangnya dan mengepalkan tangannya. Dia semakin marah pada Elena. "Diam!""Ayah, Iel mau sama Tante ini, boleh, ya?" Ezekiel mendekat dan langsung memegang tangan Darryl yang terkepal. Dia tersenyum, hingga membuat ayahnya itu menoleh padanya."Ezekiel—""Ayah ...."Ezekiel mengeluarkan jurus andalannya dengan memasang puppy eyes, berharap sang ayah mau luluh, dan tentu saja itu berhasil. Kemarahan Darryl perlahan reda dan tidak terlihat lagi urat-urat yang menonjol karena ketegangannya."Teriaklah jika dia berusaha menyakitimu." Darryl mengatakan itu terakhir kali sambil menatap tajam Elena. Dia pun mendapat pelukan dari Ezekiel."Makasih, Ayah!"Ezekiel tersenyum dan melepaskan pelukannya, lalu tanpa banyak bicara lagi, Darryl sudah langsung berbalik pergi. Meninggalkan kamar itu begitu saja.Elena terdiam melihat apa yang terjadi. Dia tidak percaya Darryl menyerah. Apa itu artinya dia selamat? Ini berkat anak manis di depannya. Elena melirik ke arah Ezekiel dan terkejut ketika anak itu memegang tangannya seraya tersenyum lebar."Tante, Tante tidak apa-apa 'kan? Sini, duduk dulu!"Elena menurut dan duduk di pinggir ranjang sambil memerhatikan Ezekiel yang berjalan entah ke mana, lalu kembali sambil membawa plester serta obat antiseptik. Elena kebingungan saat Ezekiel memberikan itu padanya. "Buat apa ini?""Buat Tante, leher Tante luka.""Hah?" Elena tak percaya, tapi kemudian Ezekiel memberikannya cermin kecil dan dia bisa melihat bekas cengkeraman Darryl yang agak membiru. Tidak terlalu jelas, tapi di kulitnya yang cerah, lebam itu cukup kontras dan terlihat. Ada juga luka di bagian lainnya, tapi hanya sedikit."Tolong maafkan Ayah Iel, ya, Tante? Ayah kalau marah kadang gitu. Tante pasti takut," ucap Ezekiel tiba-tiba, membuat Elena menoleh saat itu juga.Elena bingung dengan ucapan Ezekiel yang seolah mengerti apa yang terjadi di umurnya yang masih kecil. Anak itu baik dan pintar. "Apa tadi, kamu menyelamatkanku? Dan, apa benar dia itu Ayahmu? Maksudku, pria gila itu?"Ezekiel mengangguk. "Iya, itu Ayah Iel. Iel bantu Tante karena kasihan, Tante takut sama Ayah yang marah, tapi Tante tenang aja, Ayah itu baik kok.""Baik? Baik dari mana? Dia iblis," gumam Elena. Dia tidak bisa mempercayai perkataan anak kecil itu, tapi dia lebih tidak bisa mempercayai jika anak semanis ini memiliki seorang ayah yang benar-benar seperti iblis. Dia hampir saja mati."Hah? Tante bilang apa?""Eh, tidak, aku—Tante tidak bilang apa-apa. Tante cuma bingung, kenapa anak semanis kamu punya Ayah kayak dia?""Emangnya kenapa, Tan?""Kamu manis, tapi Ayahmu seperti ib—maksudnya, Ayahmu menakutkan."Ezekiel tampak kebingungan. "Iel juga tidak tahu, Tan."Elena spontan berdecak mendengar jawaban polos Ezekiel. Tentu saja, sepintar apa pun, anak itu hanyalah anak kecil. Jawaban apa yang dia harapkan dari Ezekiel? Tapi, baguslah, kepolosannya telah menyelamatkannya. Namun, haruskah dia pergi dan memanfaatkan Ezekiel? Jika memang benar Ezekiel anak pria itu, dia ingin sekali memanfaatkannya karena sepertinya Darryl sangat menyayangi Ezekiel, tapi ... bukankah dia agak tidak tahu diri? Setelah diselamatkan, tidak mungkin 'kan dia harus memanfaatkannya?Elena berperang dengan hati nuraninya. Anak sepolos dan sebaik ini, tidak mungkin dia jadikan sandera hanya agar dirinya bebas. Dia bukan orang yang tidak tahu balas budi, tapi dia benar-benar ingin bebas dari sana. Dia tidak mau mati konyol."Ezekiel, apa kamu tahu pintu keluar rumah ini? Bisakah kamu mengantar—maksudnya, bisakah kita melihatnya?""Buat apa? Udah malam, nanti Ayah marah, Tan. Kita bobo aja, ya? Iel mau dipeluk Tante.""T-tante, itu ... Tante tidak bisa di sini. Tante harus pulang.""Pulang?"Ekspresi Ezekiel mendadak berubah seketika saat mendengar perkataan Elena. Senyumnya pun langsung lenyap. Namun gadis itu masih belum menyadarinya."Iya, pulang, Tante punya rumah. Ada keluarga Tante yang menunggu—""Tante tidak bisa pulang.""Apa?"Ezekiel mendekat dan menatap lekat Elena. "Semua pintu rumah ini sudah dikunci, dan kuncinya dipegang sama Ayah. Karena itu ... Tante tidak bisa pulang."Elena langsung terbengong. Kalau begitu, dia tadi akan sia-sia saja mencari jalan keluar? Jika dia tidak ke sini dan diselamatkan Ezekiel, dia sudah pasti mati konyol 'kan? Dia hanya akan bermain petak umpet dengan Darryl tanpa henti."Gimana kalau Tante di sini saja sama Iel? Tante jadi Bunda Iel aja, mau?" tawar Ezekiel dengan wajah ceria. Dia naik ke pangkuan Elena dan menyadarkan gadis itu seketika."Apa? Bundamu?""Iya, Iel tidak punya Bunda. Bunda Iel sudah meninggal. Iel mau punya Bunda, tapi Ayah tidak pernah kasih. Tante mau 'kan jadi Bunda Iel? Iel suka Tante soalnya."Elena terkejut. Dia hanya bisa membuka mulutnya lebar-lebar mendengar cerita sedih Ezekiel dan sikap manja anak itu padanya, yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Tuhan, masalah apalagi ini? Kenapa bocah ini ingin dia jadi bundanya? Ini pasti mimpi buruk. Beberapa menit lalu dia hampir dibunuh ayahnya, sekarang anaknya malah ingin menjadikan dia bundanya."Tante—""Tidak. Tante tidak bisa jadi Bundamu.""Tapi, Tan."Elena memejamkan matanya. Tak kuat melihat tatapan menyedihkan Ezekiel, tapi dia tidak bisa jika harus menjadi bunda dari anak, yang ayahnya hampir membunuhnya. Itu artinya juga dia harus menikah dengan Darryl. Dia tidak mau. Dia tidak sudi. "Tidak, Ezekiel.""Kenapa? Tante tidak suka Iel, ya?""Bukan begitu, tapi ... Tante tidak suka Ayahmu.""Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
"Yo, Darryl!"Sebuah suara keras terdengar menyapa Darryl, saat dia sedang menikmati waktunya memandangi orang-orang bermain judi. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik melakukannya saat para wanita dan pria asyik bermain. Darryl lebih senang menjadi pengamat saja di lantai atas sambil menikmati segelas tequila miliknya. Namun kehadiran seseorang membuat perhatiannya teralihkan. Dia menatap seorang pria berpakaian rapi mendekat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Pria yang seumuran dengannya. "Mike.""Apa kabar? Tumben kau berada di sini?"Darryl menyambut jabatan tangan Mike yang penuh semangat. "Sangat baik. Aku hanya ingin melihat-lihat.""Mau coba main?" tawar Mike sambil melirik ke arah bawah di mana banyak permainan yang bisa mereka mainkan. Orang-orang juga tampak begitu asyik. Sayangnya, Darryl yang memang pada dasarnya enggan melakukannya, langsung menggeleng tanpa berpikir dua kali. "Tidak akan ada untungnya aku bermain.""Kau bercanda? Memang siapa yang membuat tempat
"Apa kau tidak berniat melanjutkan hidupmu? Sudah waktunya kau belajar untuk merelakan kepergian istrimu." Darryl melangkah masuk ke dalam rumah dengan perkataan Mike yang terus berdenging di telinganya. Dia sudah mendengar perkataan itu beberapa kali dari orang lain selama ini, tapi dia belum bisa melakukannya. Darryl masih belum rela dengan kepergian istrinya. Bagaimana mungkin mereka semua menyuruhnya melupakan dan melanjutkan hidup, sedang kematian Kayleen masih saja membayanginya? Darryl menarik napas kasar dan perlahan melangkah semakin ke dalam. Dia yang minum cukup banyak hari ini, sedikit pusing. Namun untungnya, lampu rumah masih menyala terang, sehingga dia bisa melihat jalan dengan jelas. Walau Darryl bingung, siapa orang yang masih bangun di jam segini? Apa ada seseorang yang menunggunya? Tidak, tidak mungkin. Darryl menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah menuju dapur. Dia ingin menenangkan pikirannya yang lagi-lagi tertuju pada mantan istrinya. Dia juga harus m
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel