"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.
Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghibur jika begini. Apalagi wajahnya harus dirias segala. Dia tidak benar-benar mau dijadikan wanita penghibur 'kan?"Apa yang Anda katakan, Nona? Tuan akan sangat menyukai pakaian Anda. Malam ini, Anda harus berhasil memuaskan Tuan. Tolong layani Tuan dengan baik dan jangan sampai Tuan marah.""Apa? Layani? Layani apa maksudmu?" Elena membalikkan tubuhnya dan langsung menepis tangan Emma yang hendak menyentuh wajahnya. Sebuah alarm tanda bahaya tiba-tiba berbunyi di kepalanya. Dia mengartikan kata 'melayani' dengan maksud lain yang sama sekali tidak dia harap dengar."Apa Anda tidak tahu? Bukankah Anda datang untuk menghibur malam Tuan?""Siapa yang bilang! Aku diculik! Bukan datang sukarela! Apa kau pikir aku akan menjadi jalang untuknya?"Firasat Elena benar dan saat itu juga, dia sontak langsung berdiri dari duduknya. Menjauhi Emma dengan panik. Dia tidak mau, dia tidak mau dijadikan wanita penghibur. "Aku tidak mau jadi jalangnya!""Nona, Anda mau ke mana?" tanya Emma saat Elena mendekat ke arah pintu dan membukanya sekuat tenaga, tapi tak berhasil karena pintu itu dikunci. "Nona, kemarilah! Biarkan saya merapikan penampilan Anda!""TIDAK! Aku tidak mau! Berikan kuncinya! Tolong berikan kuncinya!" Elena berharap Emma mau memberikannya, tapi wanita dewasa tersebut tampak tak begitu peduli."Nona, tolong duduk! Tuan akan segera datang. Anda akan dalam masalah."Elena menggeleng. Dia sadar Emma tidak mau menurut. Tentu saja, dia juga tidak mau mendengarnya. Elena tidak ingin dijadikan wanita penghibur pria tua yang haus belaian itu. Hingga dia tanpa pikir panjang terpaksa mendorong Emma sampai terjatuh dan langsung menggeledah pakaian wanita itu. Tentu saja dia bisa mendapatkan kuncinya dengan mudah."Nona jangan! Tuan akan marah!"Elena tak mendengar. Dia membuka pintu tersebut dan hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tak disangka, di saat Elena berpikir dia bisa bebas, seseorang sudah ada di hadapannya. Membuat tubuhnya sontak membatu ketika melihat di hadapannya ternyata adalah pria tua yang tadi."Tuan! Nona mau melarikan diri, tolong maafkan saya," ujar Emma yang takut disalahkan. Dia buru-buru bangun dari lantai dan menunduk takut. Tubuhnya tampak bergetar."Melarikan diri?""Aku tidak mau melayanimu! Aku bukan wanita penghibur!" seru Elena dengan cepat. Dia berusaha mendongak ke atas. Menatap Darryl dengan berani, meski saat pria itu menatapnya, dia jadi ketakutan. "Tolong menyingkir dari sana!""Apa?""Apa kau tuli? Menyingkir dari hadapanku!"Elena menaikkan nada suaranya. Kepalang kesal, dia tak peduli lagi soal Darryl. Dia hanya ingin pulang sekarang, tapi sayangnya, pria itu tak bergerak sedikit pun dari pintu. Hingga Elena yang bingung, pada akhirnya memukul perut Darryl dengan harapan tubuh pria itu akan memberinya jalan. Akan tetapi, alih-alih terdorong dan bergeser dari tempatnya, tubuh Darryl justru tidak goyah sedikit pun."Nona, tolong berhenti!"Emma mendekat, mencoba mengingatkan dan hendak menarik Elena, tapi Darryl sudah mengangkat tangannya. Lalu tiba-tiba, pria itu mencengkeram lengan kecil Elena dan menyeret gadis itu masuk kembali ke dalam. Tanpa perasaan, Darryl langsung mendorong kasar tubuh Elena ke ranjang dan membuat gadis itu memekik kaget. Gaun milik Elena sedikit tersingkap dan memperlihatkan pahanya di hadapan Darryl."Pergi sekarang, aku akan mengurus gadis nakal ini," ucap Darryl tanpa melirik ke arah Emma. Pelayannya yang kini buru-buru membereskan makanan yang tadi dimakan Elena, lalu pergi dari kamar itu dengan penuh ketakutan.Elena masih di sana. Menahan kesal karena diperlakukan kasar dan tak bisa menahan kekuatan pria itu. Dia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Darryl yang berdiri sambil membuka kancing kemejanya. Memperlihatkan sedikit bulu dada milik pria itu. Elena mendadak ketakutan, tapi dia masih berusaha berani. "Mau apa kau?""Apalagi? Bersenang-senang.""Aku tidak mau! Aku tidak mau melayanimu! Jangan lakukan itu!"Darryl berhenti, tapi dia masih dalam posisi berdiri dan memandang lekat Elena. Mata tajamnya menyusuri tubuh gadis itu dengan sangat lancang. "Kau tidak sedang dalam posisi bisa menolakku. Pamanmu sudah menyerahkanmu sebagai jaminan.""Tapi aku tidak ada hubungannya dengan utang Omku! Kenapa kau tidak bawa dia dan melakukannya?""Aku masih normal dan kau cukup menarik."Elena tersentak. Dia kaget saat Darryl tiba-tiba mendekat dan menyentuh kepala belakangnya. Tubuhnya merinding ketakutan. Sorot mata Darryl seperti seekor binatang buas yang akan melahapnya begitu saja. Dia membencinya. Sangat. "Kau pria tua tidak tahu malu! Aku tidak mau melakukannya! Cuih!"Elena meludah secara spontan dan itu mengenai pipi Darryl. Sesaat, pria itu kaget atas tindakan kurang ajar Elena. Matanya pun tiba-tiba berubah tajam. Darryl tampak mengusap pipinya sambil menahan marah.Elena mengkerut. Nyalinya mendadak ciut saat menyadari dirinya telah melakukan kesalahan. Darryl seperti berniat membunuhnya sekarang. "Aku—AKHH!"Elena memekik tepat saat kepalanya didorong kuat dan sebuah tangan mencengkeram lehernya. Membuat dia kesulitan untuk bernapas. Apa pria itu akan membunuhnya? Elena merasakan aura kematian yang begitu dekat dengannya. Dia melihat Darryl yang menatapnya begitu dingin. Urat-urat leher pria itu menonjol seolah menunjukkan bahwa Darryl tengah marah."L-lepashh ....""Kau benar-benar kurang ajar. Kau harusnya menyadari di mana tempatmu!" Darryl menekankan setiap kalimatnya dengan memperkuat cengkeramannya, sampai Elena kesulitan bernapas.Wanita yang beberapa detik sebelumnya bersikap kurang ajar, kini tampak menyedihkan. Darryl bisa saja membunuhnya saat ini juga. Dia bisa menghilangkan jejak kematian Elena dengan mudah, tapi melihat wanita itu tersiksa dan meneteskan air mata, tangannya tanpa sadar melonggarkan cengkeramannya. Walau dia tak melepaskan leher Elena."Menyedihkan. Pamanmu yang tidak berguna itu mengatakan aku bebas melakukan apa pun padamu. Dia menjadikanmu jaminan. Harusnya aku membunuhmu, tapi kupikir, lebih baik aku membunuh Pamanmu," ujar Darryl sembari menyentuh kaki Elena dengan satu tangannya yang bebas. Wanita itu cukup menarik dan cantik.Tak dapat dipungkiri, Darryl sedikit tertarik untuk menyalurkan hasratnya pada Elena, mengingat sudah cukup lama semenjak istrinya meninggal, dia belum pernah menyentuh wanita lain lagi. Ya, Darryl pernah menikah dan dia memiliki seorang putra kecil yang mungkin saat ini tengah terlelap di kamarnya. Sayang, sebuah insiden kecelakaan pesawat membuat istrinya meninggal. Menyisakan dirinya dengan sang putra berdua saja."Tentukan pilihanmu, Elena, kau mau melayaniku atau mau kubunuh?"Elena tersentak. Tubuhnya bergetar takut. Dia merasakan ancaman yang nyata. Dia tidak mau dibunuh dan juga tidak mau melayani Darryl. Dia bukan jalang dan dia datang ke sini bukan karena kemauannya, tapi jika dia mengatakan itu, dia akan mati."Elena ...."Suara Darryl menggelitik telinganya. Menghantarkan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia melirik pria itu dan menyadari jika tangan besar yang mencengkeram lehernya telah terangkat. Namun justru, wajah pria itu berada begitu dekat dengannya. Hingga Elena memilih untuk memalingkan wajahnya. Dia tidak mau menatap wajah pria kejam itu."Jika kau tidak menjawab, aku akan menganggap kau setuju melayaniku."Tubuh Elena menegang. Dia mendadak kaku saat merasakan tubuh Darryl di atasnya. Pria itu hendak menciumnya, tapi tak berhasil karena Elena memalingkan wajahnya dengan cepat, yang berakhir dengan Darryl mengecup tengkuknya.Elena kaget dan tubuhnya meremang. Dia panik, hingga matanya sontak melihat sekeliling dan mencari cara untuk menghentikan pria itu, sebelum dirinya dinodai. Elena harus kabur. Dia tidak mau berakhir menjadi wanita penghangat ranjang. Hingga saat Darryl mulai mencumbunya, Elena yang berusaha untuk mencari sesuatu untuk melawan, tak sengaja melihat sebuah lampu tidur yang berada di dekatnya.Detik itu juga, tanpa mau membuang banyak waktu, Elena yang takut dengan Darryl langsung menarik lampu itu dan membuat penerangan meredup. Tepat saat itu, Darryl menyadari ada sesuatu, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, Elena sudah memukulkan lampu tidur yang berukuran cukup besar itu ke kepala Darryl dan langsung menendang tubuh yang memerangkapnya."Mati kau, bajingan!""Aakhh!"Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya t
"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
"Yo, Darryl!"Sebuah suara keras terdengar menyapa Darryl, saat dia sedang menikmati waktunya memandangi orang-orang bermain judi. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik melakukannya saat para wanita dan pria asyik bermain. Darryl lebih senang menjadi pengamat saja di lantai atas sambil menikmati segelas tequila miliknya. Namun kehadiran seseorang membuat perhatiannya teralihkan. Dia menatap seorang pria berpakaian rapi mendekat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Pria yang seumuran dengannya. "Mike.""Apa kabar? Tumben kau berada di sini?"Darryl menyambut jabatan tangan Mike yang penuh semangat. "Sangat baik. Aku hanya ingin melihat-lihat.""Mau coba main?" tawar Mike sambil melirik ke arah bawah di mana banyak permainan yang bisa mereka mainkan. Orang-orang juga tampak begitu asyik. Sayangnya, Darryl yang memang pada dasarnya enggan melakukannya, langsung menggeleng tanpa berpikir dua kali. "Tidak akan ada untungnya aku bermain.""Kau bercanda? Memang siapa yang membuat tempat
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel