"Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?"
"Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."Ugh.Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah."Jaminan? Dia memberikan keponakannya?""Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan.""Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah.""Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu.""Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke arah Elena yang masih tak sadarkan diri dan terbaring di lantai. Dia yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya, perlahan beranjak dan melangkah mendekati Elena. Wajah gadis itu masih tak dapat dilihatnya, hanya tubuhnya yang meringkuk, yang bisa dia lihat. Kaos dan celana jeans ketat serta sepatu jelek.Semua orang langsung menyingkir seketika ketika pria itu mendekati Elena dan berjongkok di hadapannya. Menatap tubuh itu dari jarak yang dekat, sebelum akhirnya menggulingkan tubuhnya hingga terlentang. Tangannya juga menyingkir helaian rambut panjang yang menutupi wajah dan dia dibuat terkejut ketika melihat kecantikan Elena. Gadis muda yang tampak seperti baru saja tumbuh."Bangun!" perintahnya setelah tersadar dari diamnya. Dia menatap datar gadis itu yang dia tahu telah bangun. "Tidak perlu berpura-pura, kau sudah sadar. Buka matamu!""Ugh."Elena merespon. Dia melenguh sambil berusaha untuk membuka matanya meski sulit. Hingga perlahan tapi pasti, matanya yang sedari tadi sulit dibuka, akhirnya bisa dia buka. Kesadarannya juga perlahan kembali. Walau saat ini, Elena melihat apa yang ada di depannya tidak terlalu jelas. Seorang pria, tidak, seorang pria dewasa yang asing ada di depannya. Perlahan-lahan, semuanya kini mulai menjadi jelas dan dia bisa melihat bagaimana rupa pria dewasa yang berjongkok di depannya.Tampan.Elena berkedip dan menatap lekat wajah dewasa yang rahangnya tampak penuh dengan bulu halus. Tampak begitu maskulin dan sorot matanya tajam. Pakaiannya juga tampak berbeda darinya, tapi ...."Siapa ... kau?" Kata itu keluar dari mulut Elena pertama kali setelah sadar. Dia berusaha untuk duduk, di saat pria itu malah menjauh tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali."Kalian bisa pergi tinggalkan kami.""Baik, Bos. Kami permisi."Elena yang masih berusaha memahami situasi, seketika menyadari kalau ada orang lain lagi selain mereka di sana. Empat orang yang tentu saja tidak asing baginya. Mereka adalah orang yang membawanya dari rumah pamannya. Iya, Elena ingat wajah-wajah itu, tapi mereka hendak pergi meninggalkannya. Tak mau ditinggalkan sendiri, Elena berusaha menghentikannya."Tunggu! Kalian mau ke mana? Kalian yang membawaku ke sini 'kan! Tolong antarkan aku pulang! Aku harus bicara dengan Omku!"Empat orang tersebut berhenti di ambang pintu dan menoleh ke arahnya, tapi dengan tatapan tak peduli."Ommu sudah menyerahkanmu. Sekarang kau milik Bos kami.""Apa? Apa yang kalian kata—aakhh!"Elena belum selesai bicara saat rambutnya tiba-tiba ditarik dari arah belakang oleh pria dewasa tadi, membuat wajahnya harus menghadap ke atas dan membuatnya bertatapan dengan wajah dingin itu. Dia tidak bisa beranjak sedikit pun. "S-sakit, tolong lepaskan! Aku mau pulang!""Sepertinya kau belum menyadari situasi." Pria itu kembali berjongkok di samping Elena tanpa melepaskan cengkeraman di rambutnya. Dia hanya mengendurkannya dan membuat wajah Elena menatapnya. "Pamanmu sudah memberikanmu sebagai jaminan.""T-tidak! Aku tidak mau. Tolong kembalikan aku, Tuan! Aku mohon."Elena menggelengkan kepalanya dengan takut. Dia merasa terintimidasi oleh pria dewasa di depannya. Pria yang dia sendiri tidak tahu namanya, tapi sepertinya orang ini adalah yang dimaksud. Pria yang membuat pamannya ketakutan karena dia juga merasa takut. "Aku tidak bersalah. Aku tidak ada hubungannya dengan Omku. Aku tidak tahu dia berjudi dan meminjam uang sebanyak itu. Aku mohon lepaskan aku, Tuan.""Siapa namamu?"Elena tersentak. Dia terkejut saat tangan kasar itu beralih mencengkeram dagunya dan memaksanya untuk bertatapan dengan pria tersebut. Pria itu bahkan tidak mau membalas permohonannya. "E-elena, Elena Marcia.""Elena."Pria itu menyebut nama Elena dengan suara rendahnya yang berhasil membuat siapa saja merinding. Begitu juga sang empunya nama. Elena merasa takut dan aneh, tapi secara mengejutkan, bibir pria itu membentuk lengkungan tipis seolah sedang tersenyum. Sayang, Elena hanya dapat melihatnya secara sekilas."Kau tidak akan ke mana-mana, Elena.""A-apa? Apa maksudnya? Aku—""Kau tetap di sini sampai Pamanmu membayar semua utangnya," ucap pria itu sambil melepaskan tangannya dari Elena. Dia merapikan penampilannya seraya memerhatikan gadis itu dari atas hingga bawah, sebelum akhirnya dia melangkah keluar tanpa memberi penjelasan apa pun."Tuan! Apa maksudnya? Kenapa kau pergi begitu saja? Tolong biarkan aku bebas!" Elena berteriak. Dia berusaha bangun dari lantai dan hendak mengejar pria itu yang kini menutup pintu. Namun saat dia membukanya, bukanlah pria tadi yang dia lihat, melainkan seorang wanita dewasa dengan wajah teduh yang berdiri di depannya."Nona Elena, mari, saya akan memandu Anda menuju kamar.""Apa? Siapa kau? Di mana pria tadi?" Elena kebingungan. Dia merasa aneh dengan gaya bicara wanita di depannya ini yang terkesan formal."Saya Emma, pelayan di rumah ini dan orang yang diperintah Tuan Darryl untuk mengurus Anda.""Darryl? Apa yang kau maksud itu pria tadi?""Ya."Elena terdiam. Dia tidak tahu soal itu, tapi nama tersebut sepertinya tidak akan cocok untuk pria menakutkan itu. Elena masih teringat tentang bagaimana cara Darryl menatapnya. Seperti hewan buas yang bersiap memangsa buruannya."Nona, ayo ikut saya!""Ke mana?""Ke kamar Anda.""Tapi, aku ingin pulang! Tolong tunjukkan jalannya padaku!"Elena berusaha untuk mencari tempat keluar, tapi pelayan itu menyeretnya dengan kuat ke arah lorong sepi. Elena tidak tahu letak pintu keluarnya, karena sekilas, dia melihat rumah yang akan ditinggalinya terlalu besar. "Emma, tolong lepaskan! Aku—""Saya akan menyiapkan air untuk Anda mandi."Elena dilepaskan di sebuah ruangan yang ternyata merupakan sebuah kamar mewah dan pintu pun dikunci sebelum dia sempat melarikan diri. Perhatiannya pun tertuju pada pelayan yang kini berjalan ke arah pintu lain di ruangan tersebut. Dia tidak tahu apa yang dilakukan wanita itu, tapi perhatian Elena langsung beralih ke sekitar. Dia mendekat ke arah jendela dan mencari cara untuk keluar, tapi ternyata ada teralis besi di jendela yang membuatnya sulit membukanya. Elena hanya dapat melihat siang yang kini telah berganti menjadi malam.Bagaimana ini? Elena tidak ingat sudah berapa lama dia pingsan. Dia juga tidak tahu, di mana dirinya berada sekarang. Apa Marcell sudah pulang? Apa sepupunya itu tahu apa yang dilakukan pamannya? Bagaimana kalau dia menghubunginya lebih dulu?Elena yang sadar kalau dirinya memegang ponsel, mencoba mencarinya. Dia akan meminta bantuan pada Marcell. Namun sialnya, entah apa yang terjadi, ponsel miliknya yang sejak tadi ada padanya ternyata hilang. Elena juga baru menyadari kalau tas selempang miliknya tidak bersamanya. Benda-bendanya tidak ada."Sial, apa mereka mengambilnya? Bagaimana ini? Aku tidak membawa barang apa pun." Elena menggigit bibirnya dengan cemas. Dia sulit melarikan diri karena tidak tahu di mana dirinya berada saat ini. Ponselnya yang sangat dia butuhkan juga tidak ada.Di tengah kebingungan yang melandanya, saat itulah pelayan yang tadi menemaninya, keluar dari pintu yang sama dan langsung menghampirinya."Nona, tolong lepas pakaian Anda.""Apa? Tunggu! Apa yang kau lakukan?" Elena sontak menjauh saat wanita itu menyentuh pakaiannya seolah hendak melucutinya."Anda harus mandi. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Anda.""Bagaimana kalau aku tidak mau? Aku ingin kembali. Tolong biarkan aku—""Nona, tolong dengarkan saya atau saya terpaksa menemui Tuan dan jika Tuan datang, saya tidak tahu apa yang akan beliau lakukan pada Anda."Glek.Apa itu ancaman? Kenapa Elena merasa tak tenang? Dia teringat sikap kasar pria menakutkan tadi yang menjambak rambutnya. Pria itu sangat dingin dan kasar. Dia tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Mungkinkah dia harus bernegosiasi seperti apa yang dikatakan pamannya? Dia harus meyakinkan pria yang menakutkan tadi? Tapi Elena merasa takut."Nona?""Baiklah, baiklah, aku akan mandi sendiri." Elena menyerah. Dia langsung berjalan ke arah kamar mandi dengan cepat. Mencoba untuk mengikuti alur yang dibuat pria tadi."Kalau begitu, saya akan menyiapkan makan malam untuk Anda dan pakaian Anda."Elena tak menjawab lagi, dia kini masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Menatap berapa luasnya ruangan tersebut. Suara air mengalir mengisi bathub yang sudah diisi kelopak bunga, serta aroma wangi di sana, memaksanya untuk melangkah mendekat.Sebelum membuka pakaian, Elena menatap sekitar dengan waspada. Dia takut ada CCTV atau seseorang yang mengintip. Bagaimana pun, tempat ini sangat asing baginya. Namun untungnya, dia tidak melihat hal yang bisa dicurigai, hingga Elena langsung melepaskan pakaiannya begitu saja. Mendekat, lalu masuk ke dalam bathub dalam keadaan telanjang bulat.Elena yang gugup, mencoba memikirkan cara untuk bisa keluar atau bernegosiasi dengan pria tadi. Dia merancang rencana di kepalanya, tapi sialnya itu terlalu sulit. Hingga akhirnya, rasa nyaman mengambil alih semuanya. Tubuh Elena yang memang sudah lelah setelah tadi siang bekerja, tanpa sadar mulai mengantuk.'Sial, ini enak, tapi aku tidak boleh tidur. Aku tidak boleh ....'"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghi
"Aakhh!"Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya t
"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel