“Segera pindah dari sini karena rumah ini sudah kujual!”
Samantha mengerjap beberapa kali sementara otaknya berusaha mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Nyonya Kathleen.
“Kamu tuli atau bagaimana? Kenapa hanya diam saja dengan wajah bodohmu itu? Cepat kemas barang-barangmu dan pergi dari tempat ini sekarang juga!” Nyonya Kathleen kembali bersuara dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
“Tapi Nyonya Kathleen, Anda tidak bisa tiba-tiba mengusirku seperti ini. Aku sudah membayar sewa bulan ini dan bulan depan sekaligus. Sekalipun bangunan ini tiba-tiba Anda jual, seharusnya beri tahu terlebih dulu agar aku bisa mencari tempat tinggal. Aku mohon, jangan seperti ini.” Samantha memohon lirih.
Namun, wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak peduli, wajahnya terlihat angkuh. Dia sudah menerima uang dan pemilik baru ingin rumah tersebut segera dikosongkan.
“Itu bukan urusanku. Pemilik baru ingin rumah ini segera dikosongkan. Jadi, segera kemas barang-barangmu dan pergi!” Nyonya Kathleen berniat menjauh, tetapi Samantha menangkap lengannya.
“Aku mohon. Aku tidak tahu harus pergi ke mana.”
Samantha baru beberapa jam terbangun dari tidurnya dan sekarang ia tiba-tiba diusir. Tentu saja ia tidak mempunyai tempat tujuan. Ini terlalu mendadak!
Nyonya Kathleen menarik napas cukup dalam kemudian mengembuskannya melalui mulut.
“Baiklah, karena kamu terlihat begitu putus asa, maka kamu bisa pindah besok pagi. Hanya itu yang bisa kulakukan. Jangan mempersulitku dengan terus memohon!” kata wanita itu, lalu melenggang pergi.
Samantha hanya bisa mengangguk lemah. Entah ia harus bersyukur atau tidak atas hal itu, namun bibirnya sudah mengucapkan terima kasih.
Jika dipikirkan lagi, jelas hal ini sangat tidak adil baginya. Meskipun Nyonya Kathleen telah membayar ganti rugi sebab melanggar kontrak, Samantha sama sekali tidak berpuas diri.
Sepeninggal Nyonya Kathleen, Samantha langsung terduduk di atas lantai yang dingin. Pikirannya kalut, ia bingung harus pergi ke mana. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju.
“Andai ayah dan ibu masih ada,” Samantha bergumam. Namun, mereka sudah tiada. Sekarang ia hanya mempunyai satu adik laki-laki, Elnathan, yang justru membuat hidupnya semakin memusingkan.
Samantha sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kotak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain segera berkemas.
Drrttt…
Ponsel yang Samantha letakkan di atas meja bergetar karena sebuah panggilan masuk. Jelas sekali nama Emily terpampang di layar. Dengan cepat Samantha menjawab panggilan tersebut.
“Samantha, kamu di mana, hah?! Kamu lupa hari ini ada pemotretan? Kenapa belum datang juga?!”
Samantha langsung menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar teriakan atasannya itu. Ia menepuk dahi karena lupa dengan agendanya hari ini.
‘Matilah aku!’ Samantha menjerit dalam hati.
Seharusnya sekarang Samantha sedang duduk di depan meja rias dan bersiap melakukan pemotretan. Namun, karena Nyonya Kathleen datang mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi dan menyuruhnya untuk segera pindah, Samantha sampai melupakan jadwal pemotretannya.
“Ma-maaf, aku sedang di jalan sekarang. Sebentar lagi aku akan tiba,” sahut Samantha bohong. Ia pun langsung beranjak dan mengemas beberapa benda ke dalam tas miliknya lalu berlari menuju pintu.
Emily adalah wanita dengan mulut berbisa. Ucapannya yang begitu tajam kerap kali membuat para model yang bekerja di bawahnya merasa frustasi, tak terkecuali Samantha sendiri. Sekarang pun Samantha sudah dapat memprediksi jika ia akan dimarahi setibanya di tempat pemotretan nanti.
Lima belas menit kemudian Samantha akhirnya tiba. Dan wajah sinis Emily langsung menyambutnya.
“Kamu sudah tidak ingin bekerja lagi, hah!?” Emily berteriak dengan kalimat yang sama persis dengan yang Samantha ucapkan dalam hatinya.
Semua orang sudah sangat hafal dengan kalimat default yang Emily lontarkan ketika ada yang datang terlambat. Wanita itu akan berteriak dengan kedua tangan berkacak di pinggang serta kedua mata yang melotot sempurna.
Tidak heran Emily mempunyai julukan ‘Katak Betina’ sebab matanya yang besar saat melotot dan suaranya yang berisik seperti katak.
“Maaf, pagi ini tiba-tiba ada—”
“Sudahlah! Tidak perlu banyak alasan. Aku akan memaafkanmu karena ini adalah pertama kalinya kamu terlambat. Tapi jangan harap aku akan bersikap mudah jika kamu terlambat lagi nanti!”
Samantha merasa sangat lega. Setidaknya ia tidak perlu dimarahi dan membuat dirinya dipermalukan di depan banyak orang. Setelah berterima kasih kepada Emily karena tidak mempermasalahkan keterlambatan dirinya, Samantha bergegas mendatangi make up artist untuk segera dirias.
“Tidak biasanya kamu datang terlambat. Ada apa?”
Seorang rekannya berbisik setelah berhasil memposisikan diri di samping Samantha.
“Ada sedikit masalah,” jawab gadis itu, terdengar lelah. “Aku—” Ucapan Samantha terhenti saat ponsel yang berada dalam genggamannya bergetar karena sebuah panggilan masuk.
Untuk sepersekian detik, ia terlihat ragu sampai akhirnya memberanikan diri untuk menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” sahut Samantha pelan. Raut wajahnya yang sebelumnya tampak lelah seketika menegang, seolah jiwanya baru saja terlepas dari raganya saat mendengar informasi yang baru saja diterima.
“Apa? Kantor polisi?!”
Meski terkejut, Samantha tetap memaksakan dirinya untuk bergegas. Jantungnya berdegup tidak karuan. Pikirannya berkecamuk.
Samantha sudah tidak memikirkan bahwa Emily mungkin akan memecat dirinya karena langsung pergi padahal seharusnya ia melakukan pemotretan. Samantha berlari keluar dari studio dan ia beruntung sebab ada taksi yang akan lewat. Dengan wajah panik Samantha melambaikan tangan dan menghadang taksi tersebut dengan sedikit tidak sabar.
“Tolong ke kantor polisi di jalan A,” ucap Samantha tergesa begitu masuk ke dalam taksi yang baru saja lewat. Sang supir taksi pun mengiyakan dan langsung menginjak pedal gas untuk membawa Samantha ke tempat tujuan.
Tak perlu waktu lama hingga mobil taksi yang membawa Samantha memasuki halaman kantor polisi. Gadis itu segera turun dengan perasaan gugup luar biasa.
“Kukira kamu tidak akan datang. Jujur saja aku sudah bosan melihat adikmu. Kapan dia berhenti membuat masalah?”
Samantha sudah hafal dengan kalimat sambutan itu setiap kali ia datang ke kantor polisi.
Sebenarnya ingin sekali Samantha menjawab kalimat pedas yang ditujukan kepadanya itu, tetapi ia hanya berakhir dengan memberikan senyuman tulus hingga membuat si polisi tidak bisa berbicara lebih banyak lagi.
“Dia Samantha. Saudara si pria yang menghancurkan mobil.”
Seorang pria yang mengenakan setelan formal langsung menoleh ke belakang tepat di mana Samantha berdiri.
Wanita itu terlihat sedikit kacau, tetapi kecantikannya sama sekali tidak dapat ditutupi meski dengan kenyataan bahwa adik laki-lakinya telah menghancurkan mobil mewah seseorang.
Pria asing itu menyunggingkan seulas senyum miring. Dalam hati dia bergumam, ‘Hell … wanita ini akan membuat Dante Adams kewalahan.’
“Pria ini adalah—” “Aku minta maaf atas nama adikku.” Belum sempat petugas memperkenalkan pria itu, Samantha langsung menyela sambil sedikit membungkukkan badannya dan meminta maaf dengan tulus. “Oh, sepertinya kamu salah paham. Aku bukan pemilik mobil, jadi kamu tidak perlu meminta maaf kepadaku.” Pria itu berusaha meluruskan. “Kurasa kamu harus duduk untuk mendengar penjelasan tentang permasalahan ini serta melihat buktinya.” Mereka pun duduk di kursi yang disediakan. Samantha serius mendengarkan penjelasan serta melihat bukti berupa rekaman video di mana Elnathan, adiknya, melakukan aksi anarkis. Yang membuat Samantha tidak habis pikir adalah alasan kenapa adiknya melakukan tindakan tidak terpuji tersebut hanya karena seorang wanita mempekerjakannya. Dan kemudian membawanya pada nasib buruk sebab salah menerima informasi dan berujung merusak mobil orang lain. Tepat sebelum video rekaman berakhir, pria bermata biru memberi isyarat pada petugas yang duduk di balik meja kerja agar
“APA? Menikah denganmu?” Samantha merasa jika Dante adalah pria bajingan yang sedang mempermainkannya. Bagaimana bisa pria itu menginginkan hal tidak masuk akal seperti pernikahan pada pertemuan pertama mereka? Tidakkah Dante tahu apa yang dia bicarakan sekarang? “Lebih tepatnya menikah kontrak denganku. Aku ingin kamu menjadi istri kontrakku selama satu tahun. Jika kamu melakukannya, aku tidak hanya melupakan masalah adikmu yang merusak mobil seharga delapan belas juta dollar itu. Tapi aku juga akan memberimu satu juta dollar jika kinerjamu memuaskan.” “Tapi, kenapa?” Samantha tidak mengerti, kenapa Dante mengajaknya menikah kontrak? “Aku mempunyai alasanku sendiri dan kamu tidak perlu tahu hal itu. Tapi, semua kembali pada keputusanmu sendiri. Jika kamu merasa keberatan, kamu hanya harus mengganti rugi atau aku akan menyeret adikmu ke penjara.” Astaga Ya Tuhan. Kenapa pria ini memberi Samantha pilihan yang begitu sulit? Tetapi bukankah menikah kontrak selama satu tahun sedikit l
Dante terus mengetukkan jari tangannya sementara kedua matanya menatap pintu ruangan dengan gelisah. Jam makan siangnya telah berakhir dua puluh menit yang lalu tetapi Samantha masih belum menampakkan batang hidungnya. “Apa dia berubah pikiran? Sudah dua puluh menit berlalu tapi dia masih belum datang.” Dante bergumam menatap Jasper. “Dia tidak berubah pikiran, Dante. Hanya saja kamu tiba-tiba merubah jam makan siangmu. Sebelumnya dia bertanya padaku pukul berapa seharusnya dia datang dan aku menyarankannya sesuai dengan jadwal makan siangmu biasanya. Jadi, bukan salahnya karena masih belum datang sekarang.” “Lalu maksudmu ini salahku?” “Aku bukan menyalahkanmu, aku hanya memberimu jawaban atas kemungkinan mengapa Nona Rayne belum juga datang. Lagi pula di luar sedang hujan. Dia pasti kesulitan mendapat taksi.” Dante menatap Jasper dengan sedikit heran. “Kenapa kamu memanggilnya dengan formal begitu? tanyanya. “Memangnya kenapa? Aku hanya … tunggu sebentar, ponselku bergetar.” De
Samantha sedikit merenung memikirkan bahwa kurang dari tiga minggu lagi dia akan menikah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan. Hal itu jelas impian bagi setiap wanita yang jatuh cinta pada pasangannya sehingga ingin menghabiskan seluruh hidupnya bersama orang itu. Namun dalam kasus Samantha, pernikahan justru bagaikan sesuatu yang akan menawan hidupnya. Samantha tidak mengenal Dante. Sedikit pun tidak. Tetapi dia akan menghabiskan satu tahun penuhnya untuk menjadi istri kontrak pria itu. Entah dosa apa yang telah Samantha lakukan di masa lalu hingga harus terjebak dalam situasi rumit dan konyol seperti pernikahan kontrak. Samantha hanya berusaha untuk berlapang dada menerima semua hal itu. Jika saja bukan demi Elnathan Rayne, Samantha tidak akan bertindak sejauh ini. “Hey, memikirkan apa?” Nicole menyikut Samantha dengan lengannya. “Bukan apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu.” Samantha berusaha tersenyum meski terlihat jelas senyumnya begitu canggung. “Memiki
Malam ini Dante memutuskan untuk pulang lebih awal dan makan malam bersama keluarganya. Dante merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu orang tuanya tentang rencana pernikahannya dengan Samantha. Sekarang, pria itu duduk di ruang makan bersama ibu, ayah, serta adiknya. Di seberang Dante, Nyonya Adams sama sekali tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya saat melihat putranya itu duduk di meja makan malam ini. Biasanya Dante selalu beralasan jika ibunya menyuruh untuk pulang lebih awal agar bisa makan malam bersama. Tetapi malam ini pria itu duduk dan menikmati makan malamnya dengan tenang. Tidak ada perasaan curiga sedikitpun di benak Nyonya Adams mengapa putranya itu mau duduk makan bersama. Ia hanya kelewat senang hingga tak memikirkan apapun. Dante meletakkan sendok makannya di atas piring. Kemudian menatap ibu dan ayahnya secara bergantian. Dante sudah siap untuk mengumumkan rencana pernikahannya dengan wanita pilihannya. “Sebenarnya, aku ikut makan malam hari ini
Saat ini Samantha dan Dante sedang duduk di dalam sebuah ruangan khusus bersama dua orang staf yang menjelaskan dengan detail perihal cincin yang direkomendasikan. Samantha tidak tahu jika di dunia ini ada hal-hal semacam ini. Saat Dante menyuruhnya datang ke mari untuk memilih cincin pernikahan, Samantha mengira mereka akan memilihnya di counter depan. Samantha tahu, Dante adalah pria kaya raya. Tetapi Samantha sama sekali tidak menduga jika pria itu akan begitu totalitas seperti sekarang. Padahal Dante bisa saja memberikan sebuah cincin yang sederhana mengingat pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. “Aku tidak tahu harus memilih cincin yang mana. Bagaimana menurutmu?” Samantha menatap Dante yang duduk di sampingnya. Semua cincin yang direkomendasikan begitu berkilau. Samantha berani bertaruh jika cincin-cincin tersebut memiliki harga yang sangat fantastis. Ia tidak memiliki keberanian untuk memilih. “Jangan menanyaiku. Jika ada cincin yang kamu suka, langsung katakan saja pada
Dante dan Samantha saling bergandengan tangan saat berjalan keluar dari restoran. Dante sengaja melakukan hal tersebut tepat di depan gadis berambut panjang yang mengekori mereka hingga ke mobil. “Maafkan aku, Clara. Tapi aku tidak berniat untuk membawamu di dalam mobilku. Aku hanya ingin berduaan dengan Samantha.” Dante berujar pada Clara. Clara Johnson. Putri kedua dari keluarga Johnson. Gadis yang selama ini begitu diimpikan oleh Nyonya Adams untuk menjadi istri Dante. Seluruh wajah Clara berubah menjadi merah saat melihat Dante memperlakukan Samantha seolah pria itu sangat mencintainya. Sekujur tubuhnya sampai bergetar kala Dante memberikan ciuman singkat di pipi Samantha sebelum akhirnya membantu gadis itu menutup pintu mobil. Clara benar-benar dibakar api cemburu. “Dante …,” panggil Clara, namun Dante mengabaikannya dan langsung masuk ke mobil. Dante bergegas menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya. Sementara di sampingnya, Samantha sempat menoleh ke belakang untuk mena
Mobil Dante berhenti tepat di depan pintu masuk gedung apartemen Secret Garden. Sebagaimana yang ia tahu, bangunan tersebut adalah salah satu hunian mewah di kota ini. Dante cukup terkejut sebab Samantha punya cukup uang untuk tinggal di sana. “Aku tidak menduga bahwa kamu tinggal di tempat mewah seperti ini. Mengingat kamu pernah mengatakan bahwa kamu adalah wanita yang miskin. Aku tidak tahu orang miskin zaman sekarang tinggal di apartemen mewah seperti Secret Garden.” Samantha sedikit meringis mendengar ucapan Dante tersebut. “Itu adalah apartemen milik Jere, aku hanya menempatinya untuk sementara waktu.” “Jere?” Kening Dante berkerut. Samantha bergumam pelan. “Jeremiah Sinclair, sahabatku,” sahutnya. “Aku mungkin akan menjadi gelandangan jika sahabatku itu tidak menolong.” Kedua mata Samantha tiba-tiba terasa panas. Gadis itu merasa sedih saat mengingat beberapa hal telah menimpanya dalam beberapa waktu terakhir “Sebenarnya aku tiba-tiba diusir dari rumah yang aku sewa. Pa