“Segera pindah dari sini karena rumah ini sudah kujual!”
Samantha mengerjap beberapa kali sementara otaknya berusaha mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Nyonya Kathleen.
“Kamu tuli atau bagaimana? Kenapa hanya diam saja dengan wajah bodohmu itu? Cepat kemas barang-barangmu dan pergi dari tempat ini sekarang juga!” Nyonya Kathleen kembali bersuara dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
“Tapi Nyonya Kathleen, Anda tidak bisa tiba-tiba mengusirku seperti ini. Aku sudah membayar sewa bulan ini dan bulan depan sekaligus. Sekalipun bangunan ini tiba-tiba Anda jual, seharusnya beri tahu terlebih dulu agar aku bisa mencari tempat tinggal. Aku mohon, jangan seperti ini.” Samantha memohon lirih.
Namun, wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak peduli, wajahnya terlihat angkuh. Dia sudah menerima uang dan pemilik baru ingin rumah tersebut segera dikosongkan.
“Itu bukan urusanku. Pemilik baru ingin rumah ini segera dikosongkan. Jadi, segera kemas barang-barangmu dan pergi!” Nyonya Kathleen berniat menjauh, tetapi Samantha menangkap lengannya.
“Aku mohon. Aku tidak tahu harus pergi ke mana.”
Samantha baru beberapa jam terbangun dari tidurnya dan sekarang ia tiba-tiba diusir. Tentu saja ia tidak mempunyai tempat tujuan. Ini terlalu mendadak!
Nyonya Kathleen menarik napas cukup dalam kemudian mengembuskannya melalui mulut.
“Baiklah, karena kamu terlihat begitu putus asa, maka kamu bisa pindah besok pagi. Hanya itu yang bisa kulakukan. Jangan mempersulitku dengan terus memohon!” kata wanita itu, lalu melenggang pergi.
Samantha hanya bisa mengangguk lemah. Entah ia harus bersyukur atau tidak atas hal itu, namun bibirnya sudah mengucapkan terima kasih.
Jika dipikirkan lagi, jelas hal ini sangat tidak adil baginya. Meskipun Nyonya Kathleen telah membayar ganti rugi sebab melanggar kontrak, Samantha sama sekali tidak berpuas diri.
Sepeninggal Nyonya Kathleen, Samantha langsung terduduk di atas lantai yang dingin. Pikirannya kalut, ia bingung harus pergi ke mana. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju.
“Andai ayah dan ibu masih ada,” Samantha bergumam. Namun, mereka sudah tiada. Sekarang ia hanya mempunyai satu adik laki-laki, Elnathan, yang justru membuat hidupnya semakin memusingkan.
Samantha sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kotak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain segera berkemas.
Drrttt…
Ponsel yang Samantha letakkan di atas meja bergetar karena sebuah panggilan masuk. Jelas sekali nama Emily terpampang di layar. Dengan cepat Samantha menjawab panggilan tersebut.
“Samantha, kamu di mana, hah?! Kamu lupa hari ini ada pemotretan? Kenapa belum datang juga?!”
Samantha langsung menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar teriakan atasannya itu. Ia menepuk dahi karena lupa dengan agendanya hari ini.
‘Matilah aku!’ Samantha menjerit dalam hati.
Seharusnya sekarang Samantha sedang duduk di depan meja rias dan bersiap melakukan pemotretan. Namun, karena Nyonya Kathleen datang mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi dan menyuruhnya untuk segera pindah, Samantha sampai melupakan jadwal pemotretannya.
“Ma-maaf, aku sedang di jalan sekarang. Sebentar lagi aku akan tiba,” sahut Samantha bohong. Ia pun langsung beranjak dan mengemas beberapa benda ke dalam tas miliknya lalu berlari menuju pintu.
Emily adalah wanita dengan mulut berbisa. Ucapannya yang begitu tajam kerap kali membuat para model yang bekerja di bawahnya merasa frustasi, tak terkecuali Samantha sendiri. Sekarang pun Samantha sudah dapat memprediksi jika ia akan dimarahi setibanya di tempat pemotretan nanti.
Lima belas menit kemudian Samantha akhirnya tiba. Dan wajah sinis Emily langsung menyambutnya.
“Kamu sudah tidak ingin bekerja lagi, hah!?” Emily berteriak dengan kalimat yang sama persis dengan yang Samantha ucapkan dalam hatinya.
Semua orang sudah sangat hafal dengan kalimat default yang Emily lontarkan ketika ada yang datang terlambat. Wanita itu akan berteriak dengan kedua tangan berkacak di pinggang serta kedua mata yang melotot sempurna.
Tidak heran Emily mempunyai julukan ‘Katak Betina’ sebab matanya yang besar saat melotot dan suaranya yang berisik seperti katak.
“Maaf, pagi ini tiba-tiba ada—”
“Sudahlah! Tidak perlu banyak alasan. Aku akan memaafkanmu karena ini adalah pertama kalinya kamu terlambat. Tapi jangan harap aku akan bersikap mudah jika kamu terlambat lagi nanti!”
Samantha merasa sangat lega. Setidaknya ia tidak perlu dimarahi dan membuat dirinya dipermalukan di depan banyak orang. Setelah berterima kasih kepada Emily karena tidak mempermasalahkan keterlambatan dirinya, Samantha bergegas mendatangi make up artist untuk segera dirias.
“Tidak biasanya kamu datang terlambat. Ada apa?”
Seorang rekannya berbisik setelah berhasil memposisikan diri di samping Samantha.
“Ada sedikit masalah,” jawab gadis itu, terdengar lelah. “Aku—” Ucapan Samantha terhenti saat ponsel yang berada dalam genggamannya bergetar karena sebuah panggilan masuk.
Untuk sepersekian detik, ia terlihat ragu sampai akhirnya memberanikan diri untuk menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” sahut Samantha pelan. Raut wajahnya yang sebelumnya tampak lelah seketika menegang, seolah jiwanya baru saja terlepas dari raganya saat mendengar informasi yang baru saja diterima.
“Apa? Kantor polisi?!”
Meski terkejut, Samantha tetap memaksakan dirinya untuk bergegas. Jantungnya berdegup tidak karuan. Pikirannya berkecamuk.
Samantha sudah tidak memikirkan bahwa Emily mungkin akan memecat dirinya karena langsung pergi padahal seharusnya ia melakukan pemotretan. Samantha berlari keluar dari studio dan ia beruntung sebab ada taksi yang akan lewat. Dengan wajah panik Samantha melambaikan tangan dan menghadang taksi tersebut dengan sedikit tidak sabar.
“Tolong ke kantor polisi di jalan A,” ucap Samantha tergesa begitu masuk ke dalam taksi yang baru saja lewat. Sang supir taksi pun mengiyakan dan langsung menginjak pedal gas untuk membawa Samantha ke tempat tujuan.
Tak perlu waktu lama hingga mobil taksi yang membawa Samantha memasuki halaman kantor polisi. Gadis itu segera turun dengan perasaan gugup luar biasa.
“Kukira kamu tidak akan datang. Jujur saja aku sudah bosan melihat adikmu. Kapan dia berhenti membuat masalah?”
Samantha sudah hafal dengan kalimat sambutan itu setiap kali ia datang ke kantor polisi.
Sebenarnya ingin sekali Samantha menjawab kalimat pedas yang ditujukan kepadanya itu, tetapi ia hanya berakhir dengan memberikan senyuman tulus hingga membuat si polisi tidak bisa berbicara lebih banyak lagi.
“Dia Samantha. Saudara si pria yang menghancurkan mobil.”
Seorang pria yang mengenakan setelan formal langsung menoleh ke belakang tepat di mana Samantha berdiri.
Wanita itu terlihat sedikit kacau, tetapi kecantikannya sama sekali tidak dapat ditutupi meski dengan kenyataan bahwa adik laki-lakinya telah menghancurkan mobil mewah seseorang.
Pria asing itu menyunggingkan seulas senyum miring. Dalam hati dia bergumam, ‘Hell … wanita ini akan membuat Dante Adams kewalahan.’
“Pria ini adalah—” “Aku minta maaf atas nama adikku.” Belum sempat petugas memperkenalkan pria itu, Samantha langsung menyela sambil sedikit membungkukkan badannya dan meminta maaf dengan tulus. “Oh, sepertinya kamu salah paham. Aku bukan pemilik mobil, jadi kamu tidak perlu meminta maaf kepadaku.” Pria itu berusaha meluruskan. “Kurasa kamu harus duduk untuk mendengar penjelasan tentang permasalahan ini serta melihat buktinya.” Mereka pun duduk di kursi yang disediakan. Samantha serius mendengarkan penjelasan serta melihat bukti berupa rekaman video di mana Elnathan, adiknya, melakukan aksi anarkis. Yang membuat Samantha tidak habis pikir adalah alasan kenapa adiknya melakukan tindakan tidak terpuji tersebut hanya karena seorang wanita mempekerjakannya. Dan kemudian membawanya pada nasib buruk sebab salah menerima informasi dan berujung merusak mobil orang lain. Tepat sebelum video rekaman berakhir, pria bermata biru memberi isyarat pada petugas yang duduk di balik meja kerja agar
“APA? Menikah denganmu?” Samantha merasa jika Dante adalah pria bajingan yang sedang mempermainkannya. Bagaimana bisa pria itu menginginkan hal tidak masuk akal seperti pernikahan pada pertemuan pertama mereka? Tidakkah Dante tahu apa yang dia bicarakan sekarang? “Lebih tepatnya menikah kontrak denganku. Aku ingin kamu menjadi istri kontrakku selama satu tahun. Jika kamu melakukannya, aku tidak hanya melupakan masalah adikmu yang merusak mobil seharga delapan belas juta dollar itu. Tapi aku juga akan memberimu satu juta dollar jika kinerjamu memuaskan.” “Tapi, kenapa?” Samantha tidak mengerti, kenapa Dante mengajaknya menikah kontrak? “Aku mempunyai alasanku sendiri dan kamu tidak perlu tahu hal itu. Tapi, semua kembali pada keputusanmu sendiri. Jika kamu merasa keberatan, kamu hanya harus mengganti rugi atau aku akan menyeret adikmu ke penjara.” Astaga Ya Tuhan. Kenapa pria ini memberi Samantha pilihan yang begitu sulit? Tetapi bukankah menikah kontrak selama satu tahun sedikit l
Dante terus mengetukkan jari tangannya sementara kedua matanya menatap pintu ruangan dengan gelisah. Jam makan siangnya telah berakhir dua puluh menit yang lalu tetapi Samantha masih belum menampakkan batang hidungnya. “Apa dia berubah pikiran? Sudah dua puluh menit berlalu tapi dia masih belum datang.” Dante bergumam menatap Jasper. “Dia tidak berubah pikiran, Dante. Hanya saja kamu tiba-tiba merubah jam makan siangmu. Sebelumnya dia bertanya padaku pukul berapa seharusnya dia datang dan aku menyarankannya sesuai dengan jadwal makan siangmu biasanya. Jadi, bukan salahnya karena masih belum datang sekarang.” “Lalu maksudmu ini salahku?” “Aku bukan menyalahkanmu, aku hanya memberimu jawaban atas kemungkinan mengapa Nona Rayne belum juga datang. Lagi pula di luar sedang hujan. Dia pasti kesulitan mendapat taksi.” Dante menatap Jasper dengan sedikit heran. “Kenapa kamu memanggilnya dengan formal begitu? tanyanya. “Memangnya kenapa? Aku hanya … tunggu sebentar, ponselku bergetar.” De
Samantha sedikit merenung memikirkan bahwa kurang dari tiga minggu lagi dia akan menikah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan. Hal itu jelas impian bagi setiap wanita yang jatuh cinta pada pasangannya sehingga ingin menghabiskan seluruh hidupnya bersama orang itu. Namun dalam kasus Samantha, pernikahan justru bagaikan sesuatu yang akan menawan hidupnya. Samantha tidak mengenal Dante. Sedikit pun tidak. Tetapi dia akan menghabiskan satu tahun penuhnya untuk menjadi istri kontrak pria itu. Entah dosa apa yang telah Samantha lakukan di masa lalu hingga harus terjebak dalam situasi rumit dan konyol seperti pernikahan kontrak. Samantha hanya berusaha untuk berlapang dada menerima semua hal itu. Jika saja bukan demi Elnathan Rayne, Samantha tidak akan bertindak sejauh ini. “Hey, memikirkan apa?” Nicole menyikut Samantha dengan lengannya. “Bukan apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu.” Samantha berusaha tersenyum meski terlihat jelas senyumnya begitu canggung. “Memiki
Malam ini Dante memutuskan untuk pulang lebih awal dan makan malam bersama keluarganya. Dante merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu orang tuanya tentang rencana pernikahannya dengan Samantha. Sekarang, pria itu duduk di ruang makan bersama ibu, ayah, serta adiknya. Di seberang Dante, Nyonya Adams sama sekali tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya saat melihat putranya itu duduk di meja makan malam ini. Biasanya Dante selalu beralasan jika ibunya menyuruh untuk pulang lebih awal agar bisa makan malam bersama. Tetapi malam ini pria itu duduk dan menikmati makan malamnya dengan tenang. Tidak ada perasaan curiga sedikitpun di benak Nyonya Adams mengapa putranya itu mau duduk makan bersama. Ia hanya kelewat senang hingga tak memikirkan apapun. Dante meletakkan sendok makannya di atas piring. Kemudian menatap ibu dan ayahnya secara bergantian. Dante sudah siap untuk mengumumkan rencana pernikahannya dengan wanita pilihannya. “Sebenarnya, aku ikut makan malam hari ini
Saat ini Samantha dan Dante sedang duduk di dalam sebuah ruangan khusus bersama dua orang staf yang menjelaskan dengan detail perihal cincin yang direkomendasikan. Samantha tidak tahu jika di dunia ini ada hal-hal semacam ini. Saat Dante menyuruhnya datang ke mari untuk memilih cincin pernikahan, Samantha mengira mereka akan memilihnya di counter depan. Samantha tahu, Dante adalah pria kaya raya. Tetapi Samantha sama sekali tidak menduga jika pria itu akan begitu totalitas seperti sekarang. Padahal Dante bisa saja memberikan sebuah cincin yang sederhana mengingat pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. “Aku tidak tahu harus memilih cincin yang mana. Bagaimana menurutmu?” Samantha menatap Dante yang duduk di sampingnya. Semua cincin yang direkomendasikan begitu berkilau. Samantha berani bertaruh jika cincin-cincin tersebut memiliki harga yang sangat fantastis. Ia tidak memiliki keberanian untuk memilih. “Jangan menanyaiku. Jika ada cincin yang kamu suka, langsung katakan saja pada
Dante dan Samantha saling bergandengan tangan saat berjalan keluar dari restoran. Dante sengaja melakukan hal tersebut tepat di depan gadis berambut panjang yang mengekori mereka hingga ke mobil. “Maafkan aku, Clara. Tapi aku tidak berniat untuk membawamu di dalam mobilku. Aku hanya ingin berduaan dengan Samantha.” Dante berujar pada Clara. Clara Johnson. Putri kedua dari keluarga Johnson. Gadis yang selama ini begitu diimpikan oleh Nyonya Adams untuk menjadi istri Dante. Seluruh wajah Clara berubah menjadi merah saat melihat Dante memperlakukan Samantha seolah pria itu sangat mencintainya. Sekujur tubuhnya sampai bergetar kala Dante memberikan ciuman singkat di pipi Samantha sebelum akhirnya membantu gadis itu menutup pintu mobil. Clara benar-benar dibakar api cemburu. “Dante …,” panggil Clara, namun Dante mengabaikannya dan langsung masuk ke mobil. Dante bergegas menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya. Sementara di sampingnya, Samantha sempat menoleh ke belakang untuk mena
Mobil Dante berhenti tepat di depan pintu masuk gedung apartemen Secret Garden. Sebagaimana yang ia tahu, bangunan tersebut adalah salah satu hunian mewah di kota ini. Dante cukup terkejut sebab Samantha punya cukup uang untuk tinggal di sana. “Aku tidak menduga bahwa kamu tinggal di tempat mewah seperti ini. Mengingat kamu pernah mengatakan bahwa kamu adalah wanita yang miskin. Aku tidak tahu orang miskin zaman sekarang tinggal di apartemen mewah seperti Secret Garden.” Samantha sedikit meringis mendengar ucapan Dante tersebut. “Itu adalah apartemen milik Jere, aku hanya menempatinya untuk sementara waktu.” “Jere?” Kening Dante berkerut. Samantha bergumam pelan. “Jeremiah Sinclair, sahabatku,” sahutnya. “Aku mungkin akan menjadi gelandangan jika sahabatku itu tidak menolong.” Kedua mata Samantha tiba-tiba terasa panas. Gadis itu merasa sedih saat mengingat beberapa hal telah menimpanya dalam beberapa waktu terakhir “Sebenarnya aku tiba-tiba diusir dari rumah yang aku sewa. Pa
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se