Saat ini Samantha dan Dante sedang duduk di dalam sebuah ruangan khusus bersama dua orang staf yang menjelaskan dengan detail perihal cincin yang direkomendasikan. Samantha tidak tahu jika di dunia ini ada hal-hal semacam ini. Saat Dante menyuruhnya datang ke mari untuk memilih cincin pernikahan, Samantha mengira mereka akan memilihnya di counter depan.
Samantha tahu, Dante adalah pria kaya raya. Tetapi Samantha sama sekali tidak menduga jika pria itu akan begitu totalitas seperti sekarang. Padahal Dante bisa saja memberikan sebuah cincin yang sederhana mengingat pernikahan mereka hanya sebatas kontrak.
“Aku tidak tahu harus memilih cincin yang mana. Bagaimana menurutmu?” Samantha menatap Dante yang duduk di sampingnya.
Semua cincin yang direkomendasikan begitu berkilau. Samantha berani bertaruh jika cincin-cincin tersebut memiliki harga yang sangat fantastis. Ia tidak memiliki keberanian untuk memilih.
“Jangan menanyaiku. Jika ada cincin yang kamu suka, langsung katakan saja pada mereka,” sahut Dante kemudian meraih ponsel yang bergetar di sakunya. Ada panggilan telepon dari Jasper, pria itupun segera beranjak untuk menerimanya.
Samantha tersenyum canggung pada staf wanita yang saat ini berlutut di hadapannya. Ada apa dengan semua pelayanan ini? Haruskah mereka berlutut seperti itu sementara Samantha duduk di atas sofa? Membuatnya merasa tidak nyaman saja.
“Uhm, aku akan memilih ini saja.” Samantha menunjuk salah satu cincin yang cukup sederhana di antara cincin lainnya.
“Baik, Nona.” Staf wanita itupun memberikan cincin pilihan Samantha pada rekannya untuk dikemas.
Sementara Dante membayar cincin pernikahan tersebut, Samantha duduk menunggu dengan sabar. Dalam benaknya, gadis itu dibuat tersadar jika dunianya dengan Dante benar-benar berbeda. Melihat Dante mengeluarkan kartu berwarna hitam miliknya untuk membayar, Samantha hanya bisa tersenyum getir.
“Kamu sudah tidak ada pekerjaan lagi, ‘kan? Karena selanjutnya kita akan memilih kue pernikahan.”
Suara bariton Dante lagi-lagi membuat Samantha merinding. Jujur saja, pria dengan suara berat seperti Dante adalah tipe ideal Samantha. Maka dari itu, setiap kali Dante berbicara, Samantha selalu saja hampir teralihkan.
Samantha hanya menggelengkan kepala. Seolah ada sesuatu yang membekap mulutnya hingga tak mampu bersuara. Ia pun segera berdiri menyusul Dante yang lebih dulu melenggang keluar ruangan.
Dua dari tiga hal dalam rencana yang Dante tetapkan untuk melakukannya bersama Samantha sudah selesai dilakukan. Tersisa satu hal lagi hingga Dante benar-benar terbebas dari hal merepotkan itu. Memilih kue pernikahan. Ya! Kue! Satu-satunya makanan yang tidak Dante sukai.
Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju vendor kue pernikahan yang direkomendasikan Jasper. Well, sebenarnya segala sesuatu tentang pesta pernikahan sudah diatur oleh pria bernama Jasper itu. Dan Dante hanya tinggal mendatangi tempatnya.
“Sebenarnya besok malam aku berencana untuk mengajakmu bertemu orang tuaku dan makan malam bersama.” Dante tiba-tiba membuka suara.
Samantha menoleh ke samping, menatap Dante, namun tidak bersuara sepatah kata pun.
“Aku akan menjemputmu satu jam sebelum makan malam. Jadi, pastikan pekerjaanmu sudah selesai sebelum aku datang menjemput.”
“Aku mengerti, Tuan Adams.” Samantha menyahut lesu. Entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing.
“Berhenti memanggilku Tuan Adams. Mulai sekarang panggil aku Dante. Apa yang akan orang-orang pikirkan saat mendengarmu memanggilku seperti itu.” Dante menggeleng heran. Ditatapnya Samantha yang hanya duduk diam dengan wajah sedikit pucat. “Ada apa denganmu?”
“Entahlah, aku tiba-tiba merasa pusing.” Samantha menyandarkan kepalanya. Lalu sesaat kemudian terdengar suara dari perutnya.
“Sepertinya kamu kelaparan.” Dante menegur suara keroncongan yang berasal dari perut Samantha, sedetik kemudian pria itu memutar balik mobilnya.
Karena Dante tiba-tiba menghubunginya, Samantha jadi tak sempat makan siang. Gadis itu langsung bergegas pergi begitu sesi pemotretan berakhir. Sebenarnya Samantha juga tidak sarapan tadi pagi, maka dari itu ia merasa sangat kelaparan.
Tak berselang lama kemudian Dante membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. Ia jelas bukan pria jahat yang akan membiarkan seorang rekannya pingsan karena kelaparan. Sekali lagi, Dante dan Samantha adalah rekan.
“Kurasa tempat ini bukan vendor kue pernikahan,” gumam Samantha saat mobil Dante berhasil terparkir.
“Lekas turun jika kamu tidak ingin benar-benar pingsan karena kelaparan.” Dante membuka pintu mobilnya kemudian keluar dari kendaraan roda empat itu.
Dengan senang hati Samantha mengekori Dante yang berjalan masuk ke dalam restoran. Dante memang membawanya ke dunia yang berbeda. Biasanya Samantha hanya akan mengunjungi tempat yang menjual makanan dengan harga murah untuk makan siang, bukan restoran dengan bangunan serta furniture yang sangat bagus seperti ini.
“Pesanlah sesukamu. Aku yang traktir,” kata Dante saat mereka baru saja duduk.
Samantha terlihat senang. “Terima kasih, Dante!” serunya dengan mata berbinar, tersenyum menatap Dante yang duduk tepat di seberang.
Dante hampir menahan napas saat mendengar Samantha menyerukan namanya sambil tersenyum seperti tadi. Rasanya seperti ia baru saja melihat gadis itu dari sisi yang berbeda. Sejauh ini Samantha banyak diam dan terlihat frustasi. Dante benar-benar tidak menduga jika gadis itu terlihat begitu cantik saat tersenyum.
Samantha masih tak melunturkan senyum di bibirnya saat menyebutkan menu yang ia pilih.
“Aku ingin lobster roll, chicken salad sandwich, blackberry mint cooler, dan …,” Samantha bergumam pelan kemudian beralih menatap Dante, “boleh aku memesan brownie sundae juga, Dante?” tanyanya pada pria itu.
Dante mengangguk pelan. “Ya, sure!” sahutnya kemudian mengunci pandangan pada Samantha yang kembali antusias saat berinteraksi dengan pelayan.
Tanpa Dante sadari jika sekarang kedua matanya tengah berbinar. Semakin lama ia menatap Samantha Rayne, semakin ia terjatuh ke dalam pesona gadis itu. Samantha memiliki senyum yang begitu menawan serta memabukkan, Dante tidak bisa menampik hal tersebut.
“Kamu tidak memesan, Dante?”
Suara lembut Samantha membuyarkan lamunan Dante. Entah mengapa Dante merasa sangat suka saat gadis itu memanggil namanya seperti demikian.
“Tidak. Aku sudah makan siang. Aku akan memesan minuman saja.” Dante pun menyebutkan minuman yang diinginkannya.
“Baik, pesanan kalian sudah dicatat. Mohon menunggu,” kata pelayan kemudian pergi meninggalkan meja Dante dan Samantha.
Dante bergumam pelan dan tiba-tiba salah tingkah sendiri. Pria itu sampai mengerang dalam hati sebab merasa sangat konyol dengan dirinya. ‘Ada apa denganku?’ geramnya dalam hati.
“Uhm, apa—”
“Dante?”
Seorang gadis berambut panjang menghampiri Dante. Gadis itu terlihat terkejut tetapi juga merasa senang dalam satu waktu.
“Senang sekali melihatmu hari ini!” seru gadis berambut panjang kemudian hendak menghamburkan diri memeluk Dante.
“Apa yang kamu lakukan!” ucap Dante tak senang, menangkis gadis yang hendak memeluk dirinya.
“Ayolah, jangan selalu jual mahal.” Gadis berambut panjang berujar dengan suara manja, lalu matanya tak sengaja menangkap keberadaan Samantha. “Siapa gadis ini?”
Samantha tersenyum simpul namun gadis berambut panjang tersebut langsung menanggapinya dengan memutar kedua matanya. Ia sama sekali tak senang melihat Samantha duduk bersama Dante di meja ini.
“Dante, aku tanya siapa gadis yang bersamamu ini?!” Gadis itu terdengar tak sabar dan menuntut jawaban dari Dante.
Dante tersenyum santai. “Karena kamu bersikeras ingin tahu, maka aku akan memberi tahumu. Dia adalah calon istriku, Samantha Rayne.”
Gadis berambut panjang sontak membelalakkan mata. “Apa?! Calon istrimu?!”
Dante dan Samantha saling bergandengan tangan saat berjalan keluar dari restoran. Dante sengaja melakukan hal tersebut tepat di depan gadis berambut panjang yang mengekori mereka hingga ke mobil. “Maafkan aku, Clara. Tapi aku tidak berniat untuk membawamu di dalam mobilku. Aku hanya ingin berduaan dengan Samantha.” Dante berujar pada Clara. Clara Johnson. Putri kedua dari keluarga Johnson. Gadis yang selama ini begitu diimpikan oleh Nyonya Adams untuk menjadi istri Dante. Seluruh wajah Clara berubah menjadi merah saat melihat Dante memperlakukan Samantha seolah pria itu sangat mencintainya. Sekujur tubuhnya sampai bergetar kala Dante memberikan ciuman singkat di pipi Samantha sebelum akhirnya membantu gadis itu menutup pintu mobil. Clara benar-benar dibakar api cemburu. “Dante …,” panggil Clara, namun Dante mengabaikannya dan langsung masuk ke mobil. Dante bergegas menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya. Sementara di sampingnya, Samantha sempat menoleh ke belakang untuk mena
Mobil Dante berhenti tepat di depan pintu masuk gedung apartemen Secret Garden. Sebagaimana yang ia tahu, bangunan tersebut adalah salah satu hunian mewah di kota ini. Dante cukup terkejut sebab Samantha punya cukup uang untuk tinggal di sana. “Aku tidak menduga bahwa kamu tinggal di tempat mewah seperti ini. Mengingat kamu pernah mengatakan bahwa kamu adalah wanita yang miskin. Aku tidak tahu orang miskin zaman sekarang tinggal di apartemen mewah seperti Secret Garden.” Samantha sedikit meringis mendengar ucapan Dante tersebut. “Itu adalah apartemen milik Jere, aku hanya menempatinya untuk sementara waktu.” “Jere?” Kening Dante berkerut. Samantha bergumam pelan. “Jeremiah Sinclair, sahabatku,” sahutnya. “Aku mungkin akan menjadi gelandangan jika sahabatku itu tidak menolong.” Kedua mata Samantha tiba-tiba terasa panas. Gadis itu merasa sedih saat mengingat beberapa hal telah menimpanya dalam beberapa waktu terakhir “Sebenarnya aku tiba-tiba diusir dari rumah yang aku sewa. Pa
Saat ini Samantha dan Dante sedang dalam perjalanan pulang setelah mengunjungi vendor kue pernikahan. Samantha sudah memilih kue sekaligus dekorasinya. Gadis itu memilih lemon cake sebagai kue pernikahan mereka nantinya. “Ke mana aku harus mengantarmu?” Dante menatap Samantha yang duduk di samping. “Ke hotel,” sahut Samantha singkat. Gadis itu nampak meringis sambil memegangi perutnya. “Ada apa denganmu? Apa kamu kelaparan lagi?” tegur Dante. Dilihatnya jika sekarang gadis yang duduk di sampingnya itu semakin meringis menahan sakit. Samantha menggelengkan kepalanya dengan pelan. Terlihat jelas jika sekarang dahinya dipenuhi oleh buliran keringat. Membuat Dante yang melihat itu merasa cemas lalu memutuskan untuk menepikan mobilnya ke sisi jalan. “Hey, ada apa denganmu?” Dante melepaskan sabuk pengamannya. Memeriksa Samantha yang kini tertunduk lesu. “Sebenarnya hari ini adalah hari pertamaku datang bulan. Perutku rasanya sakit sekali, Dante.” Samantha sampai meremas perutnya sendi
Jantung Samantha berdetak dua kali lebih cepat saat mereka baru saja tiba di kediaman keluarga Adams. Entah mengapa ia merasa sangat gugup. Hubungannya dengan Dante hanyalah sebatas kontrak, maka seharusnya Samantha tidak perlu segugup ini, bukan? “Kenapa tanganmu sangat dingin?” bisik Dante saat pria itu memutuskan untuk menggenggam tangan Samantha. “Entahlah. Aku tiba-tiba merasa gugup. Apa orang tuamu menakutkan?” Samantha terlihat gelisah. Dante tersenyum miring. “Tidak cukup menakutkan untuk membuatku menjadi anak yang patuh,” sahutnya. Samantha meringis pelan. Lalu kemudian gadis itu terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. Benar-benar sebuah jawaban yang konyol dari Dante. Hal pertama yang Samantha lihat saat memasuki kediaman keluarga Adams adalah sebuah foto keluarga yang begitu besar terpampang di ruang tamu. “Benar-benar besar,” gumamnya takjub. “Apanya?” Kening Dante berkerut. “Foto keluarga kalian. Itu sangat besar.” Samantha menjelaskan, sedetik kemudian gadis itu
Tok! Tok! Tok! Samantha terbangun saat mendengar suara ketukan pada pintu. Mulanya irama ketukan itu terdengar seperti ketukan biasa pada umumnya. Namun kemudian tiba-tiba berubah menjadi ketukan yang jauh lebih keras diiringi suara seseorang di belakangnya. “Samantha! Buka!” Suara tersebut terdengar seperti suara Dante. Samantha pun bergegas turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu. “Samantha!” Pria itu kini berteriak. Sebelum membuka pintu, Samantha memutuskan untuk mengintip di lubang intip. Dan sosok Dante yang terlihat mabuk berdiri tepat di depan pintu. Samantha pun membuka pintu kamarnya dan tubuh Dante langsung mendarat di pelukannya. “Kenapa lama sekali?” gumam pria itu. Aroma alkohol menguar kuat di tubuhnya. Samantha berusaha membangunkan Dante dan membawanya masuk ke dalam. Merebahkan pria itu di atas kasur lalu berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan melipat di dada. “Kenapa dia semabuk ini?” kata Samantha heran. Dante sangat mabuk hingga tak bisa mem
“Samantha, di luar ada seseorang yang mencarimu.” Nicole berbisik saat Samantha baru saja selesai dengan sesi kedua pemotretan. Samantha mengerutkan kening. Apa mungkin Dante datang mencarinya lagi? Apa yang pria itu inginkan? “Terima kasih. Sekarang orang itu ada di mana?” tanya Samantha. “Dia menunggu di depan. Kamu pergilah, sepertinya sangat penting.” Samantha mengangguk setuju. “Terima kasih, ya. Kalau begitu aku ke depan sebentar,” katanya kemudian melenggang pergi. Samantha melangkah dengan sedikit terburu-buru sebab ia berpikir orang yang datang mencarinya adalah Dante. Samantha hanya tidak menginginkan lebih banyak pasang mata lagi yang menangkap keberadaan pria itu di tempat ini. Namun ternyata dugaan Samantha salah, orang yang datang mencarinya bukanlah Dante. Saat Samantha baru saja tiba di lobi, seorang pria dengan kemeja berwarna abu-abu langsung menyapanya. Sebelumnya Samantha tidak pernah melihat pria itu. Namun dilihat dari senyum di bibirnya, pria berusia empat
Dante mendorong pintu masuk salon dengan sedikit kasar. Api kekecewaan berkobar jelas di mata pria itu saat melihat ibunya duduk dengan begitu santai setelah apa yang dilakukannya pada Samantha. “Aku tidak percaya Ibu bisa begitu santai menikmati perawatan rambut setelah apa yang Ibu lakukan pada Samantha.” Nyonya Adams sontak membuka mata saat suara Dante masuk ke telinganya. Wanita paruh baya itu terlihat cukup terkejut mendapati keberadaan putranya yang tiba-tiba. “Apa gadis itu mengadu padamu?” tanyanya kesal. Dante menghela napas berat. “Aku bertemu dengannya di depan salon dan aku melihat pipinya sangat merah, Bu. Hanya satu kemungkinan yang terjadi, yaitu Ibu menamparnya! Bahkan Travis juga akan berpikir hal yang sama jika dia melihatnya tanpa bertanya langsung pada Samantha,” sahutnya menekankan, “Tapi, sekarang aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Justru aku datang untuk meminta maaf karena berteriak padamu malam itu.” Dante memberikan sebuket bunga lili putih seba
Ini adalah pertama kalinya Samantha datang ke sebuah restoran mewah dengan mengenakan celana jeans dan kaos polos berwarna putih serta wajah tanpa riasan. Sedari tadi orang-orang menatap gadis itu dengan tatapan aneh. Mereka berpikir bahwa Samantha adalah gadis norak yang tidak tahu cara berbusana. Samantha berjalan mengekori Dante yang memimpin di depan. Sungguh gadis itu merasa sangat malu. Samantha merasa jika dirinya adalah orang aneh yang terjebak di tempat mewah ini. Samantha masih merasa sangat jengkel kepada Dante. Dialah alasan mengapa Samantha berubah menjadi gadis konyol malam ini. ‘Benar-benar menyebalkan! Tidak punya perasaan! T-rex! Drakula!’ Samantha terus mengutuk Dante dalam hatinya sementara pandangannya tak lepas dari pria itu. “Apa yang kamu lakukan dengan berdiri di sana? Kamu tidak ingin duduk?” Dante mengerutkan keningnya saat melihat Samantha berdiri mematung dengan wajah kesal. Lamunan Samantha buyar. Gadis itu segera mendatangi Dante kemudian duduk di seb
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se