Ardian menarik kedua sudut bibirnya ke atas ketika melihat Natasya telah menghapus dandanannya. Dengan segera pria itu mengenakan kembali sepatu, kemudian jas yang tadi ia letakkan di meja. Lelaki itu bangkit, lalu mematikan televisi.
Bibir Natasya mengerucut menunggu sang suami.Ardian menarik pinggang ramping Natasya lebih dekat pada tubuhnya.Cup!Pria itu mencuri ciuman pada bibir manyun yang menggemaskan itu.Wajah sang istri seketika saja bersemu kemerahan."I love you ...," ucap Ardian sembari tersenyum.Mereka lalu berangkat menuju ke rumah orang tua Maira.***Tiga per empat perjalanan menuju ke tempat acara, tiba-tiba ponsel Ardian berdering. Natasya meraihnya dari atas dashboard mobil."Mamamu," ujar Natasya sembari memperlihatkan tulisan nama yang tertera di layar hape itu ke arah sang suami."Angkat aja," suruh Ardian.Sang istri melakukan apa yang Ardian bilang*Ardian POVAku mengekori langkah Mama Sufia ke luar ruang rawat Naura."Kita ngobrol di kantin sebentar, Ar," ajak Mama."Oke," sahutku singkat.Sesampai kami di kantin rumah sakit, aku dan mama memesan kopi."Mmm ... Mama bingung mau ngomongin ini sama kamu."Aku mengernyitkan dahi ketika mama memulai pembicaraan. "Ngomong aja, Ma. Ada apa? Soal biaya rumah sakit?" tebakku, "soal itu Mama tenang aja, biar aku yang beresin."Akan tetapi, Mama menggeleng. Membuatku semakin heran."Bukan itu. Soal biaya rumah sakit sudah Hendra yang urus," ujar Mama Sufia sembari menundukkan pandangan. Kemudian beliau meraih cangkir kopi, lantas menyesap cairan hangat itu sedikit. Setelahnya kembali meletakkan cangkir itu ke atas meja."Kalau bukan soal biaya apa, Ma?" tanyaku penasaran."Ar ... sebenarnya ...."Aku menanti apa yang akan Mama Sufia sampaikan dengan sabar sekaligus penasaran. Mengapa mam
"Iya, dia ngegodain para karyawati di kantor," jawab Ardian atas pertanyaan sang istri.Natasya mendengkus dan menyeringai. "Kebiasaan. Sok kegantengan sih, adekmu itu, Ar!" cibirnya.Teringat dulu dia juga sering digoda oleh Arya. Namun, karena tidak pernah menggubris, bahkan Natasya selalu memasang wajah jutek kepada pria itu, akhirnya Arya pun mundur teratur."Aku mau nyamperin dia dulu, Sya. Ini nggak bisa dibiarin!" pamit Ardian sambil memasang kembali sepatu yang tadi sempat dilepas. Namun, Ardian tidak lagi mengenakan jasnya."Bilang sama dia. Kalau buat masalah, biar dipecat!" seru Tasya sebelum kaki suaminya keluar dari pintu unit."Iya. Aku pergi dulu, Sayang." Ardian kembali sebentar mengarahkan kaki ke arah Tasya dan mengecup pelipis wanita itu singkat, "assalamualaikum," lanjut Ardian. Kemudian pria itu segera berbalik dan keluar dari pintu.*"Ck! Abang percaya aja? Gosip ituuu." Arya membantah apa yang Ard
"Jadi Kak Hendi beneran mau cerai sama Nisa, Bu?" tanya Tasya tambah penasaran.Nay mencebikkan bibir dan menaikkan alisnya sembari mengangguk. "Ya gitulah. Ibu nggak tahu harus ngomong apa lagi. Maunya Ibu ya jangan sampailah mereka cerai," ujarnya sembari mengunyah makanan."Mereka berdua yang lebih paham harus gimana. Soalnya mereka yang menjalani," timpal Steven datar, "ngomong-ngomong nasi goreng buatanmu lumayan juga, Sya," pujinya pada masakan sang putri."Ah, heheh ... enak gitu, Dad. Malah bilang lumayan." Natasya yang tadinya tertegun dengan ungkapan sang ibu memilih menanggapi ayahnya. Wanita cantik itu tidak mau terlihat begitu tertarik dalam perseteruan di dalam rumah tangga Hendi. Meskipun sebenarnya itulah kenyataannya. Ia masih belum yakin dengan perasaannya sendiri. Apakah benar-benar sudah bisa menggantikan posisi Hendi dengan Ardian di dalam hatinya, ataukah belum.***Tidak lama setelah Ardian selesai rapat,
Ardian menghela napas berat. Ia berusaha sabar menghadapi Natasya yang sering keras kepala itu. Ia sadar, mungkin ini yang disebut dengan, 'firasat seorang istri'. "In syaa Allah nanti acara lamarannya bakal dilanjutkan," ujar Ardian. Bahkan perkataan itu adalah untuk menenangkan hatinya sendiri, bukan sekadar menjawab Natasya."Memang mereka bilang begitu?" Natasya memicingkan mata. Sungguh ia masih curiga dengan sikap dan gelagat dari Naura selama ini.Ardian mengangguk pelan. Ia tidak sedang berbohong, karena memang Naura berkata bakal mau melanjutkan hubungannya dengan Hendra tadi. Meskipun wanita itu belum mengatakan kepastian kapan akan diadakan lagi acara lamarannya."Dia itu kalau sama kamu sering curi-curi pandang. Aku tahu, Ar. Jadi, pas kemarin aku denger dia mau lamaran, ya aku pikir lagi mungkin aku salah. Eeh, tahunya lamarannya nggak jadi. Malah dia sakit, dia sakit cinta kaleee sama kamu, tuh!" tuding Natasya tepat sasaran.Sang suami hanya bisa menghela napas berat d
Ardian baru saja sampai di kantor pukul setengah sembilan pagi. Kemudian Santi bilang, kalau Arya sedang menunggu di dalam ruang kerjanya."Bang, aku minta bantuan lagi, dong!" tukas Arya setiba kakak laki-lakinya di dalam ruangan itu."Bantuan apa? Jangan minta naik jabatan. Kamu belum ada setengah tahun kerja di sini," ujar Ardian tegas seraya mendaratkan bokongnya ke sofa dan meletakkan tas di atas meja."Ck! Bukan itu. Justru aku mau berhenti kerja sementara ini ...."Kontan saja Ardian mengernyitkan dahinya keras sembari memicingkan mata ke arah Arya. "Maksud kamu?""Iya, aku mau lanjutin kuliah S-2 ke Singapur. Abang bantu aku biayain, gitu," ungkap Arya sembari menggaruk-garuk tengkuknya sendiri."Kamu mau lanjutin kuliah S-2?" Ardian mendengkus dan tertawa kecil, "serius kamu?" tanyanya tidak yakin.Ya, Ardian merasa sangsi. Hal itu disebabkan karena untuk menyelesaikan kuliah S-1 saja waktu itu Arya seperti maling dikejar-kejar hansip. Sekarang malah mau kuliah lagi? Tentu saj
Ardian sendiri tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Naura dengan Hendra. Sudah dua bulanan ini belum ada kedengaran informasi kelanjutannya, apakah mereka akan melanjutkan rencana pernikahan ataupun tidak.Sepasang suami-istri itu kemudian saling mengobrol bahasan lain sampai tidak terasa hampir pukul sebelas siang. Perut Ardian terasa sangat kenyang, karena sang istri membawakan juga beberapa camilan lain selain kwetiau untuknya. Ia pikir siang ini tidak perlu pergi ke luar kantor lagi untuk mencari makan seperti biasanya. Pagi tadi Ardian sarapan di sebuah kafe sembari melakukan pertemuan bersama seorang klien. Pekerjaan lainnya di perusahaan belum sempat ia kerjakan karena meladeni Arya juga sang istri. Untung saja deadline pekerjaannya masih lama."Kamu hari ini pulang jam berapa?" tanya Natasya kepada sang suami."Belum tahu. Kerjaan masih numpuk sih, tapi aku usahakan pulang nggak terlalu larutlah," sahut Ardian menerangkan. Beberapa hari ini memang pria tampan itu sedang
*Ardian POV"Pak Ardian, pabrik yang berlokasi di Kalimantan Barat sudah beres, dan sudah mulai beroperasi," lapor Pak Sanjaya. Beliau adalah teman Daddy yang saat ini mengurus cabang perusahaan di Kalimantan."Oke, Pak. Terima kasih Bapak sudah datang kemari. Laporan ini akan saya pelajari terlebih dahulu sebelum saya benar-benar terjun ke sana. Saya senang bekerjasama dengan Bapak selama ini. Untuk ke depan, saya masih sangat membutuhkan bimbingan dari Bapak," ujarku."Ah, Pak Ardian tentu lebih memahami. Laporan ini dan hasil pertemuan kita nanti juga akan saya sampaikan ke Tuan Steven Arnold. Saya salut kepada Anda, Pak Ardian. Tidak salah Tuan Steven mempercayakan Anda untuk memimpin cabang perusahaannya di Kalimantan."Aku tersenyum simpul mendengar pujian dari Pak Sanjaya. "Terima kasih atas bantuan Bapak sebelum saya ke sana. In syaa Allah saya akan berusaha yang terbaik untuk memajukan perusahaan."Pak Sanjaya kemudian bangkit dari duduknya. "Kalau begitu saya pamit dulu, Pak
"Ck! Kok, lama banget, sih? Bilangnya tadi mau pulang!" kesal Natasya. Ia kembali melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sang suami yang ditunggu-tunggu masih saja belum sampai.Sekali lagi Natasya menelepon Ardian, tetapi nihil, panggilannya sama sekali tidak diangkat."Baiknya aku susul aja," gumam Natasya pada diri sendiri.Dengan terburu-buru wanita cantik itu pun berkemas diri. Tadinya ia marah karena Ardian tidak langsung pulang, malah ke rumah mantan mertuanya. Akan tetapi, sekarang perasaan Natasya jadi berubah khawatir, ia takut terjadi apa-apa di jalan terhadap sang suami. Hatinya benar-benar tidak tenang.Dengan kecepatan sedang Natasya mengendarai mobilnya. Untung saja lalu lintas tidak begitu padat, sehingga hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit, ia pun sampai di halaman rumah orang tua Maira."Lah, Itu mama dan papanya Maira?" ucap Natasya ketika melihat Sufia menuruni sebuah mobil dan memapah suaminya yang memegang tongkat. Dengan