*Ardian POV"Pak Ardian, pabrik yang berlokasi di Kalimantan Barat sudah beres, dan sudah mulai beroperasi," lapor Pak Sanjaya. Beliau adalah teman Daddy yang saat ini mengurus cabang perusahaan di Kalimantan."Oke, Pak. Terima kasih Bapak sudah datang kemari. Laporan ini akan saya pelajari terlebih dahulu sebelum saya benar-benar terjun ke sana. Saya senang bekerjasama dengan Bapak selama ini. Untuk ke depan, saya masih sangat membutuhkan bimbingan dari Bapak," ujarku."Ah, Pak Ardian tentu lebih memahami. Laporan ini dan hasil pertemuan kita nanti juga akan saya sampaikan ke Tuan Steven Arnold. Saya salut kepada Anda, Pak Ardian. Tidak salah Tuan Steven mempercayakan Anda untuk memimpin cabang perusahaannya di Kalimantan."Aku tersenyum simpul mendengar pujian dari Pak Sanjaya. "Terima kasih atas bantuan Bapak sebelum saya ke sana. In syaa Allah saya akan berusaha yang terbaik untuk memajukan perusahaan."Pak Sanjaya kemudian bangkit dari duduknya. "Kalau begitu saya pamit dulu, Pak
"Ck! Kok, lama banget, sih? Bilangnya tadi mau pulang!" kesal Natasya. Ia kembali melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sang suami yang ditunggu-tunggu masih saja belum sampai.Sekali lagi Natasya menelepon Ardian, tetapi nihil, panggilannya sama sekali tidak diangkat."Baiknya aku susul aja," gumam Natasya pada diri sendiri.Dengan terburu-buru wanita cantik itu pun berkemas diri. Tadinya ia marah karena Ardian tidak langsung pulang, malah ke rumah mantan mertuanya. Akan tetapi, sekarang perasaan Natasya jadi berubah khawatir, ia takut terjadi apa-apa di jalan terhadap sang suami. Hatinya benar-benar tidak tenang.Dengan kecepatan sedang Natasya mengendarai mobilnya. Untung saja lalu lintas tidak begitu padat, sehingga hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit, ia pun sampai di halaman rumah orang tua Maira."Lah, Itu mama dan papanya Maira?" ucap Natasya ketika melihat Sufia menuruni sebuah mobil dan memapah suaminya yang memegang tongkat. Dengan
Tiba-tiba Natasya duduk dan menghadap ke arah sang suami dengan wajah yang bersimbah air mata. Matanya bersorot nanar menatap dengan begitu tajam. "Jangan coba-coba kamu sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" ujarnya dengan penuh penekanan.Ardian menekan gerahamnya sembari menahan emosi yang ada pada dirinya sendiri. Ia sudah habis-habisan disalahkan di rumah Maira sana. Di sini pun, Natasya kembali tidak menekannya. Pria itu merasa benar-benar bingung. Ia harus bicara apa sementara ia juga mewajarkan kalau Natasya marah besar dengan apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri."Selama ini aku kira aku yang salah. Aku berusaha berubah dan bersikap lebih baik pada kamu, Ar.... Setelah aku serahkan diri ini sepenuhnya, justru kamu khianatin aku. Bisa ya ada manusia setega dan sejahat kayak kamu?!" Natasya memicingkan mata menatap ke arah suaminya."Sya, sungguh! Aku yakin aku nggak ngapa-ngapain sama Naura. Kayaknya aku dijebak." Ardian berusaha menjelaskan."Jebakan yang ena
Ketika Natasya sampai di rumah keluarga besarnya di Desa Binar, ayah dan ibunya dibuat sangat heran dan khawatir."Ya Allah, Nak. Kamu kenapa sampe pulang jam segini? Sendirian lagi. Bahaya tahu?!" omel Naysilla kepada sang putri, "apa nggak bisa nunggu besok pagi?" lanjutnya.Natasya menghempaskan bokong ke sofa di ruang tengah rumah mereka dengan dada yang kembali terasa sesak. Ia mengencangkan geraham demi menahan gejolak yang rasa-rasanya sudah akan meledak."Ada apa kamu, Tasya? Ardian mana?" tanya sang ayah tidak sabar."Iya, kenapa kok tengah malam buta begini kamu malah pulang sendirian?" ulang Nay bertanya."Aku mau cerai! Aku mau ceraaai, Buuuu!" Wanita cantik itu menghambur ke pelukan ibunya. Akhirnya pecah juga tangisan Natasya. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan emosi yang menggelegak di dalam hatinya kini. Aliran bening pun bercucuran dari sepasang matanya."Huuuft ...." Steven menghela napas panjang sembari mendaratkan bokongnya di sofa di seberang putri kesayangannya
Steven terkejut mendengar suara orang lain yang mengangkat teleponnya. Ternyata itu dari pihak kepolisian.Melihat ekspresi wajah sang suami yang tiba-tiba terdiam, sontak Nay mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Ia berharap semua baik-baik saja."Bagaimana keadaan Ardian, Pak? Saya mertuanya," ungkap Steven Arnold."Oh, Bapak ayah mertuanya. Kami dari tadi mencoba menghubungi kontak yang kami kira itu adalah istrinya. Tapi, sejak dari tadi tidak juga diangkat," ujar polisi tersebut.Steven diam menyimak. Begitu juga Naysilla, ia menduga memang benar, terjadi sesuatu hal terhadap menantu laki-lakinya. Wanita itu pun menahan diri sampai sang suami selesai bicara dengan orang di seberang sana."Jadi begini, Pak. Menurut saksi mata, saudara Ardian mengendarai mobil cukup kencang. Beliau menghindari bus yang lewat dari arah depannya dengan membanting stir ke kiri. Untung saja itu persawahan jadi tidak ada korban lainnya. Tapi, Saudara Ardian menabrak sebatang pohon. Kaca depan mobilnya
"Gue ... gue nggak bisa terima ini, Fik," ucap Natasya kepada sang sahabat. Wanita cantik itu terisak-isak di saluran telepon.Sekarang Afika sedang berada di Surabaya. Jadi, Tasya tidak bisa segera mendatangi sahabatnya untuk bicara secara langsung. Hanya lewat telepon, ia bisa mencurahkan perasaannya saat ini."Laki lo sendiri bilang apa, Sya?" tanya Afika merasa prihatin dengan kejadian yang dialami sahabat kentalnya itu."Dia bilang, dia nggak inget udah ngelakuin itu. Dia bilang, dia dijebak. Dia nggak mau nyerein gue," imbuh Natasya terdengar sangat sedih, "dengan mata kepala gue sendiri! Gue liat mereka tel@njang berdua, satu selimut di ranjang itu, Fik! Lo bayangin! Siapa yang bisa percaya dengan ucapannya coba??""Hmm ...." Terdengar Afika hanya menggumam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dulu dirinya yang selalu menasehati Natasya untuk bersabar dengan pernikahan mereka. Akan tetapi, setelah mendengar apa yang Tasya sampaikan, jelas saja dia tidak bakal berada di pihak seora
"Ini, Non." Parmin menyerahkan sesuatu kepada Natasya.Natasya meraih bungkusan dari tangan Parmin dengan segera. "Pak Parmin, please ... jangan bilang siapa-siapa kalau aku minta beliin testpack ini ya!" pintanya kepada supir keluarganya itu."Baik, Non," sahut Parmin sembari menganggukkan kepala meskipun ia tidak mengerti mengapa Tasya mesti menutupi hal itu. Pria paruh baya tersebut pun pamit, lantas berbalik dan melenggang menjauh."Kamu beli apa, Sya?"Deg! Natasya terkejut tatkala sang ibu tiba-tiba bertanya dari arah belakangnya."Ah, ini obat magh, Bu," sahut Natasya berbohong. 'Ya Allah, maafin aku udah bohong sama Ibu!'"Ooh." Nay hanya ber'oh'ria. Kemudian wanita berusia 40 tahunan itu pun melanjutkan bacaan yang ada di tangannya.Dengan segera Natasya menuju ke arah kamar, kemudian lanjut ke kamar mandi untuk mengecek urine-nya.Dengan degup jantung yang bertalu kencang, Natasya memeriksa benda mirip termometer di tangannya yang gemetar."Ya Allah ...," lirihnya kemudian
"Assalamu alaikum."Tiba-tiba terdengar suara berat mengucap salam dan menginterupsi omongan Natasya. Ya, itu Steven Arnold yang seketika tertegun ketika melihat sang putri dan Ardian berpegangan tangan."Wa alaikumus sallam warahmatullah. Dad ...," sahut Ardian sembari bangkit dan langsung menuju ke arah lelaki yang masih berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Sang menantu mengulurkan tangan hendak bersalaman.Akan tetapi, telapak tangan Ardian seketika tergantung di udara ketika dengan refleks Steven menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. Sorot mata pria paruh baya itu begitu tajam melihat ke arah pria yang ia sangka telah mengkhianati sang putri kesayangan.Ardian yang menyadari penolakan ayah mertuanya, kontan mundur selangkah dengan tatapan pelas dan hati yang terasa tertusuk. Ia sadar, Steven tentu tidak terima dengan suatu pengkhianatan. Apalagi itu terjadi pada putri kandungnya sendiri."Ada apa lagi kamu kemari?" tanya Steven dengan nada bicara yang sangat dingin, "dan