Ketika Natasya sampai di rumah keluarga besarnya di Desa Binar, ayah dan ibunya dibuat sangat heran dan khawatir."Ya Allah, Nak. Kamu kenapa sampe pulang jam segini? Sendirian lagi. Bahaya tahu?!" omel Naysilla kepada sang putri, "apa nggak bisa nunggu besok pagi?" lanjutnya.Natasya menghempaskan bokong ke sofa di ruang tengah rumah mereka dengan dada yang kembali terasa sesak. Ia mengencangkan geraham demi menahan gejolak yang rasa-rasanya sudah akan meledak."Ada apa kamu, Tasya? Ardian mana?" tanya sang ayah tidak sabar."Iya, kenapa kok tengah malam buta begini kamu malah pulang sendirian?" ulang Nay bertanya."Aku mau cerai! Aku mau ceraaai, Buuuu!" Wanita cantik itu menghambur ke pelukan ibunya. Akhirnya pecah juga tangisan Natasya. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan emosi yang menggelegak di dalam hatinya kini. Aliran bening pun bercucuran dari sepasang matanya."Huuuft ...." Steven menghela napas panjang sembari mendaratkan bokongnya di sofa di seberang putri kesayangannya
Steven terkejut mendengar suara orang lain yang mengangkat teleponnya. Ternyata itu dari pihak kepolisian.Melihat ekspresi wajah sang suami yang tiba-tiba terdiam, sontak Nay mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Ia berharap semua baik-baik saja."Bagaimana keadaan Ardian, Pak? Saya mertuanya," ungkap Steven Arnold."Oh, Bapak ayah mertuanya. Kami dari tadi mencoba menghubungi kontak yang kami kira itu adalah istrinya. Tapi, sejak dari tadi tidak juga diangkat," ujar polisi tersebut.Steven diam menyimak. Begitu juga Naysilla, ia menduga memang benar, terjadi sesuatu hal terhadap menantu laki-lakinya. Wanita itu pun menahan diri sampai sang suami selesai bicara dengan orang di seberang sana."Jadi begini, Pak. Menurut saksi mata, saudara Ardian mengendarai mobil cukup kencang. Beliau menghindari bus yang lewat dari arah depannya dengan membanting stir ke kiri. Untung saja itu persawahan jadi tidak ada korban lainnya. Tapi, Saudara Ardian menabrak sebatang pohon. Kaca depan mobilnya
"Gue ... gue nggak bisa terima ini, Fik," ucap Natasya kepada sang sahabat. Wanita cantik itu terisak-isak di saluran telepon.Sekarang Afika sedang berada di Surabaya. Jadi, Tasya tidak bisa segera mendatangi sahabatnya untuk bicara secara langsung. Hanya lewat telepon, ia bisa mencurahkan perasaannya saat ini."Laki lo sendiri bilang apa, Sya?" tanya Afika merasa prihatin dengan kejadian yang dialami sahabat kentalnya itu."Dia bilang, dia nggak inget udah ngelakuin itu. Dia bilang, dia dijebak. Dia nggak mau nyerein gue," imbuh Natasya terdengar sangat sedih, "dengan mata kepala gue sendiri! Gue liat mereka tel@njang berdua, satu selimut di ranjang itu, Fik! Lo bayangin! Siapa yang bisa percaya dengan ucapannya coba??""Hmm ...." Terdengar Afika hanya menggumam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dulu dirinya yang selalu menasehati Natasya untuk bersabar dengan pernikahan mereka. Akan tetapi, setelah mendengar apa yang Tasya sampaikan, jelas saja dia tidak bakal berada di pihak seora
"Ini, Non." Parmin menyerahkan sesuatu kepada Natasya.Natasya meraih bungkusan dari tangan Parmin dengan segera. "Pak Parmin, please ... jangan bilang siapa-siapa kalau aku minta beliin testpack ini ya!" pintanya kepada supir keluarganya itu."Baik, Non," sahut Parmin sembari menganggukkan kepala meskipun ia tidak mengerti mengapa Tasya mesti menutupi hal itu. Pria paruh baya tersebut pun pamit, lantas berbalik dan melenggang menjauh."Kamu beli apa, Sya?"Deg! Natasya terkejut tatkala sang ibu tiba-tiba bertanya dari arah belakangnya."Ah, ini obat magh, Bu," sahut Natasya berbohong. 'Ya Allah, maafin aku udah bohong sama Ibu!'"Ooh." Nay hanya ber'oh'ria. Kemudian wanita berusia 40 tahunan itu pun melanjutkan bacaan yang ada di tangannya.Dengan segera Natasya menuju ke arah kamar, kemudian lanjut ke kamar mandi untuk mengecek urine-nya.Dengan degup jantung yang bertalu kencang, Natasya memeriksa benda mirip termometer di tangannya yang gemetar."Ya Allah ...," lirihnya kemudian
"Assalamu alaikum."Tiba-tiba terdengar suara berat mengucap salam dan menginterupsi omongan Natasya. Ya, itu Steven Arnold yang seketika tertegun ketika melihat sang putri dan Ardian berpegangan tangan."Wa alaikumus sallam warahmatullah. Dad ...," sahut Ardian sembari bangkit dan langsung menuju ke arah lelaki yang masih berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Sang menantu mengulurkan tangan hendak bersalaman.Akan tetapi, telapak tangan Ardian seketika tergantung di udara ketika dengan refleks Steven menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. Sorot mata pria paruh baya itu begitu tajam melihat ke arah pria yang ia sangka telah mengkhianati sang putri kesayangan.Ardian yang menyadari penolakan ayah mertuanya, kontan mundur selangkah dengan tatapan pelas dan hati yang terasa tertusuk. Ia sadar, Steven tentu tidak terima dengan suatu pengkhianatan. Apalagi itu terjadi pada putri kandungnya sendiri."Ada apa lagi kamu kemari?" tanya Steven dengan nada bicara yang sangat dingin, "dan
Semua orang terdiam dan terperanjat mendengar ucapan Naura."Kamu jangan bohong! Dasar perempuan penggoda!!!" Tiba-tiba Natasya bangkit dari duduknya dan menunjuk ke arah Naura. Sorot matanya nyalang penuh dendam."Tasya, tenang ...." Nay ikut bangkit dan berusaha menenangkan putrinya."Ardian nggak pernah nyentuh kamu. Jadi, nggak mungkin kamu hamil! Pendusta kamu!!!" cetus Natasya dengan berapi-api. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang Naura sampaikan barusan–Oh, tidak! Natasya berharap kalau yang dikatakan Naura itu adalah suatu kebohongan. Ia benar-benar berharap."Aku ada bukti!" Naura tampak menantang sorot mata Natasya. Ia seakan tidak mau kalah dengan istri sah dari Ardian tersebut dan bangkit berdiri.Degup jantung Natasya berkejaran dengan deru napasnya yang kini membuat dadanya naik-turun. Emosinya sungguh-sungguh sudah mencapai ke ubun-ubun sekarang. Ia sudah capek dengan kemungkinan kalau ia kembali dibohongi. Apakah itu oleh Ardian, ataukah Naura.Ardian mengusa
"Ayah nggak ngerti, Ar. Kamu bilang, kamu nggak ingat apa pun malam itu. Tapi, sekarang Naura bisa hamil. Bagaimana bisa?" tanya Hardi kepada putranya.Ya, saat ini Ardian sedang berada di rumah orang tuanya. Ia ingin mendapatkan dukungan moril dari orang terdekat yang pasti selalu memberikan kasih sayang tulus kepadanya itu.Nina hanya diam menyimak. Di dalam hatinya juga mempercayai Ardian yang memang dikenal sejak kecil sebagai anak yang patuh dan shalih. Akan tetapi, dengan berita kehamilan Naura, dirinya juga tidak bisa membela Ardian."Aku nggak tahu, Yah ...." Ardian memegang kepalanya yang terasa mau pecah. Setitik air menetes dari pelupuk matanya. Ia tidak bisa memungkiri kerapuhan hatinya saat ini.Hardi menghela napas berat dan panjang lalu mengembuskannya perlahan. Pria setengah baya itu mengusap punggung putra kesayangannya mencoba menyalurkan kekuatan. "Kamu bilang apa ke orang tua Naura, Ar?" tanya Nina akhirnya.Ardian mengusap matanya yang basah dan menghela napas seb
"Kamu tolong hibur Tasya ya, Fik. Kasihan, dari kemarin dia nangis terus ...," pinta Nay tatkala Afika sampai di rumahnya."Oke, in syaa Allah, Tan. Aku ... boleh masuk ke dalam?" tanya Afika sembari menunjuk ke arah pintu kamar Natasya."Iya, masuk aja," ujar Naysilla sambil berisyarat kepada Fika untuk segera masuk ke dalam kamar itu.Tok! Tok! Tok!"Syaaa ... gue ke dalem yaaa!" teriak Afika meminta izin untuk masuk ke dalam kamar Natasya. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu menekan handle pintu dan benda itu pun terbuka.Terlihat Natasya merebah di tempat tidur dengan mata yang sembab. Afika lalu menutup pintu kamar tersebut dengan perlahan. Lalu ia berjalan mendekat ke arah sang sahabat. Natasya tampak kembali menitikkan air mata ketika melihat sahabat karibnya datang.Afika mengambil duduk di pinggir tempat tidur. Kemudian ia membelai rambut panjang Natasya yang sedikit berantakan di wajahnya sebab terkena air mata."Rasanya pengen mati aja gue, Fik ....""Huush! Ngomong jangan