Kawan-kawan, jangan lupa yaaa. baca juga karyaku yang lain. Terutama WANITA DAMBAAN TUAN OTORITER. Sebab novel itu adalah prekuel dari novel ini. Jangan lupa tinggalkan jejak vote, sate bintang lima dan komen biar buat aku semangat yaaaa! Terima kasiiihh ...!
"Lo mau, relain gitu aja mereka menikah, sementara pernikahan lo sendiri hancur berantakan? Lo rela mereka bahagia dengan keluarga yang lengkap, tapi lo terpuruk sendirian? Dan lo rela anak dari perempuan itu punya ayah, sementara anak lo sendiri nggak punya??" lanjut Afika berceramah.Natasya terdiam dan tertegun dengan apa yang sang sahabat sampaikan. Apalagi ketika Afika menyenggol tentang anak di dalam kandungannya. Itu sangat menyentil hatinya. Ya, itu semua benar. Jika memang ia jadi bercerai dengan Ardian, maka semua yang dikatakan Afika itu bisa jadi benar. Tiba-tiba setitik air kembali menetes dari pelupuk mata Natasya. "Terus ... memangnya gue mesti gimana, Fiiik?" tanyanya sembari menatap sedih ke arah Afika. Bulir bening membasahi kedua pipinya lagi.Sungguh Afika juga sangat sedih melihat Natasya seperti ini. Ia juga tidak rela jika sang sahabat jatuh terpuruk. Ia teringat betapa dulu Natasya mempunyai perasaan yang dalam kepada Hendi. Namun, ketika akhirnya perasaan Tasy
"Baik, aku telepon Naura dulu," ujar Ardian sembari bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan ke arah kamar hendak mengambil ponsel dan menghubungi Naura.Dari ruang tengah itu, Natasya melihat Ardian yang tengah bercakap di saluran teleponnya. Dengan gerakan perlahan dia bangkit kemudian berjalan menuju ke arah pintu unit. Tasya membuka pintu itu sedikit, sehingga tidak lagi tertutup rapat.Setelah itu, Natasya kembali ke tempat duduknya dan meraih cangkir teh yang disajikan Ardian tadi untuknya. Wanita cantik itu menyesap cairan hangat beraroma daun khas tersebut beberapa tegukan."Naura on the way kemari." Ardian melangkah mendekati Natasya dan duduk di tempatnya semula.Natasya hanya melempar sedikit senyuman yang tipis ke arah sang suami. "Oke, kita tunggu aja," sahutnya singkat.Hening ....Entah mengapa suasana terasa begitu canggung di antara dua insan yang sebenarnya masih menyimpan perasaan mereka masing-masing itu. Ya, permasalahan mereka bisa dikatakan cukup pelik hingga mem
Dengan perlahan Ardian menurunkan Natasya dari atas pangkuannya. Wajah pria itu terasa memanas karena malu. Ia sedikit kesal, sebab sempat lupa daratan seperti tadi. Sampai-sampai ia juga terlupa, kalau Naura sedang dalam perjalanan menuju ke tempatnya. "Wa–wa alaikumus sallam," jawabnya gugup.Sementara itu, Natasya hanya diam. Bibirnya sedikit berkedut. 'Sebenarnya aku malu. Tapi, aku sengaja memancing Ardian. Dan pas banget waktunya. Hahaha ... lihat wajah perempuan penggoda itu. Rasakan!' Hati Natasya tertawa keras melihat kekesalan di wajah Naura karena melihat adegan yang cukup intim antara dirinya dan sang suami."Sepertinya waktu kedatanganku kurang tepat ya? Soalnya, jadi mengganggu kenyamanan kalian," cetus Naura lagi sembari mengambil duduk di sebuah sofa single di sana.Ardian lalu bangkit dari duduknya. "Maaf. Abang ambil minuman dulu. Kamu mau minum apa, Dek?" tanya pria tersebut mengalihkan pembicaraan.Sementara itu, Natasya merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan
Akhirnya Ardian dan terutama Naura mau tidak mau menerima syarat yang diajukan oleh Natasya. Mereka tidak punya pilihan selain setuju karena tidak mau pernikahan formalitas secara hukum negara tertunda hingga membuat kehamilan di luar nikahnya bisa diketahui banyak orang. "Oke, ini tolong kamu print sebentar." Natasya mengulurkan handphone-nya kepada sang suami.Ardian meraih benda itu dan ternyata Natasya telah menyiapkan surat perjanjian di sana dalam bentuk P*f.Ardian menghela napas panjang kemudian bangkit membawa ponsel itu ke PC miliknya yang ada di dalam kamar. Di situ lengkap dengan perlengkapan seperti printer dan kertas-kertas penunjang pekerjaan Ardian sejak ia bekerja di Arnold's Company dulu.Naura hanya melirik apa yang dilakukan oleh calon suaminya di sana.Tak butuh waktu lama, Ardian kembali membawa ponsel Natasya dan meletakkan benda itu beserta berkas surat persetujuan syarat-syarat ajuan Natasya ke atas meja.Naura meraih kertas di hadapannya. Kemudian salah satu
Ardian menghambur ke arah sang istri. Ia ingin menggendong Natasya untuk dibawa ke dalam kamarnya, tetapi kakinya belum terlalu kuat akibat kecelakaan yang dulu menimpanya.Nay menyadari kesulitan Ardian. "Steve ... bantu bawa Tasya ke kamar dulu!" seru Nay ketika melihat sang suami terpaku dan tergamang di tempatnya berdiri. Seakan baru tersadar, Steven pun segera bergerak membantu Ardian mengangkat Natasya dan membawa wanita itu ke dalam kamar, lantas meletakkannya ke atas kasur."Kamu kenapa, Nak? Kelihatannya lemas banget?" tanya Naysilla seraya mendaratkan bokongnya ke pinggir tempat tidur Natasya.Natasya tidak menjawab, wanita yang wajahnya terlihat pasi itu malah menitikkan air matanya."Sya, maafkan aku," ucap Ardian yang juga duduk di ranjang di sebelah sana. Entah mengapa, ia merasa kalau Tasya sakit itu karena terbebani dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di rumah tangga mereka."Ini semua gara-gara ulah kamu tahu?!" sergah Steven geram menatap tajam ke arah sang m
"Hmm, boleh saya bicara dengan Tasya berdua sebentar aja, Nay ... Ardian?" Risa menoleh ke arah Naysilla bergiliran dengan Ardian.Nay dan Ardian saling berpandangan sebentar. "Oke, Mbak," sahut Nay akhirnya, "ayo, Ar, kita keluar sebentar," ajaknya pada Ardian.Ardian menatap Natasya sejenak. Ia masih merasa cemas. Kemudian pria itu memutuskan untuk menuruti sang dokter dan mengekori sang ibu mertua dengan kakinya yang masih sedikit pincang menuju ke arah pintu keluar.Setelah dua orang ibu mertua dan menantu laki-lakinya itu keluar ruangan, Risa lalu menatap lekat ke arah Natasya. "Kamu hamil dan bukan masuk angin, 'kan?" ungkapnya to the point. Itu bukan sekadar tebakan kosong, tapi karena Risa sudah sangat paham ciri-ciri fisik seorang wanita yang tengah mengandung.Refleks Natasya mengangkat pandangannya. Risa benar-benar seorang dokter yang berpengalaman, pikirnya. Ya, hanya dengan memeriksa nadi dan memeriksa tensi, wanita paruh baya itu bisa menebak dengan tepat kondisinya.
"Maksud Mbak Risa, Tasya hamil?!" tanya Nay dengan menarik sedikit kedua sudut bibirnya ke atas. Hatinya bahagia jika hal itu ternyata benar adanya."Ya, begitulah ... ini malah kalian sangka dia masuk angin." Risa mendaratkan bokongnya di sofa di sana. "Selamat, Bro. Kamu bakal punya cucu," ucapnya sembari tersenyum ke arah Steven yang masih tergamang di sana."Apa karena ini dia nggak mau lanjutin tuntutan cerainya?" gumam Steven seolah bicara pada diri sendiri.Ardian juga terlihat kaget bukan kepalang atas informasi barusan. Sudah lama dia menginginkan seorang anak dari Natasya sebenarnya. Akan tetapi, sempat ada rasa trauma, karena mengingat kematian Maira. Namun, akhirnya keinginan itu kembali membesar beberapa bulan belakangan sehingga mengalahkan perasaan traumanya. Ini adalah berita yang sangat membahagiakan untuk pria itu.Semua orang kembali duduk di tempatnya semula dengan pikiran masing-masing."Mbak Risa, silakan minum," tawar Nay sembari menunjuk ke arah meja yang meman
"Aku mau pamit pulang dulu, Bu, Pak," ucap Natasya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Sudah seharian dia berada di rumah keluarga Lukman dan menahan perasaannya yang tidak nyaman. Apalagi dalam keadaan hamil muda seperti ini, bahkan tadi ia sempat muntah di sana.Meskipun banyak orang yang justru kagum terhadap dirinya karena dinilai sebagai istri yang hebat dan shaliha, sebab telah merelakan suaminya berpoligami, hal itu tidak membuatnya merasa bangga. Alasannya karena sebenarnya di dalam hati, ia merasa terpaksa."Oh iya, Nak Tasya ... kasihan juga, kamu butuh istirahat. Baby-nya juga. Di sini mungkin nggak senyaman rumah sendiri," ujar Sufia berusaha memahami. Ia lalu menyambut jabatan tangan Tasya dan memeluknya sejenak.Lukman hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian pria paruh baya itu mengajak sang istri untuk menghampiri seorang teman mereka yang menjadi tamu di acara tersebut."Sya, kamu mau pulang sekarang? Aku antar ya?" tawar Ardian."Nggak usah, aku sama Ibu