Akhirnya Ardian dan terutama Naura mau tidak mau menerima syarat yang diajukan oleh Natasya. Mereka tidak punya pilihan selain setuju karena tidak mau pernikahan formalitas secara hukum negara tertunda hingga membuat kehamilan di luar nikahnya bisa diketahui banyak orang. "Oke, ini tolong kamu print sebentar." Natasya mengulurkan handphone-nya kepada sang suami.Ardian meraih benda itu dan ternyata Natasya telah menyiapkan surat perjanjian di sana dalam bentuk P*f.Ardian menghela napas panjang kemudian bangkit membawa ponsel itu ke PC miliknya yang ada di dalam kamar. Di situ lengkap dengan perlengkapan seperti printer dan kertas-kertas penunjang pekerjaan Ardian sejak ia bekerja di Arnold's Company dulu.Naura hanya melirik apa yang dilakukan oleh calon suaminya di sana.Tak butuh waktu lama, Ardian kembali membawa ponsel Natasya dan meletakkan benda itu beserta berkas surat persetujuan syarat-syarat ajuan Natasya ke atas meja.Naura meraih kertas di hadapannya. Kemudian salah satu
Ardian menghambur ke arah sang istri. Ia ingin menggendong Natasya untuk dibawa ke dalam kamarnya, tetapi kakinya belum terlalu kuat akibat kecelakaan yang dulu menimpanya.Nay menyadari kesulitan Ardian. "Steve ... bantu bawa Tasya ke kamar dulu!" seru Nay ketika melihat sang suami terpaku dan tergamang di tempatnya berdiri. Seakan baru tersadar, Steven pun segera bergerak membantu Ardian mengangkat Natasya dan membawa wanita itu ke dalam kamar, lantas meletakkannya ke atas kasur."Kamu kenapa, Nak? Kelihatannya lemas banget?" tanya Naysilla seraya mendaratkan bokongnya ke pinggir tempat tidur Natasya.Natasya tidak menjawab, wanita yang wajahnya terlihat pasi itu malah menitikkan air matanya."Sya, maafkan aku," ucap Ardian yang juga duduk di ranjang di sebelah sana. Entah mengapa, ia merasa kalau Tasya sakit itu karena terbebani dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di rumah tangga mereka."Ini semua gara-gara ulah kamu tahu?!" sergah Steven geram menatap tajam ke arah sang m
"Hmm, boleh saya bicara dengan Tasya berdua sebentar aja, Nay ... Ardian?" Risa menoleh ke arah Naysilla bergiliran dengan Ardian.Nay dan Ardian saling berpandangan sebentar. "Oke, Mbak," sahut Nay akhirnya, "ayo, Ar, kita keluar sebentar," ajaknya pada Ardian.Ardian menatap Natasya sejenak. Ia masih merasa cemas. Kemudian pria itu memutuskan untuk menuruti sang dokter dan mengekori sang ibu mertua dengan kakinya yang masih sedikit pincang menuju ke arah pintu keluar.Setelah dua orang ibu mertua dan menantu laki-lakinya itu keluar ruangan, Risa lalu menatap lekat ke arah Natasya. "Kamu hamil dan bukan masuk angin, 'kan?" ungkapnya to the point. Itu bukan sekadar tebakan kosong, tapi karena Risa sudah sangat paham ciri-ciri fisik seorang wanita yang tengah mengandung.Refleks Natasya mengangkat pandangannya. Risa benar-benar seorang dokter yang berpengalaman, pikirnya. Ya, hanya dengan memeriksa nadi dan memeriksa tensi, wanita paruh baya itu bisa menebak dengan tepat kondisinya.
"Maksud Mbak Risa, Tasya hamil?!" tanya Nay dengan menarik sedikit kedua sudut bibirnya ke atas. Hatinya bahagia jika hal itu ternyata benar adanya."Ya, begitulah ... ini malah kalian sangka dia masuk angin." Risa mendaratkan bokongnya di sofa di sana. "Selamat, Bro. Kamu bakal punya cucu," ucapnya sembari tersenyum ke arah Steven yang masih tergamang di sana."Apa karena ini dia nggak mau lanjutin tuntutan cerainya?" gumam Steven seolah bicara pada diri sendiri.Ardian juga terlihat kaget bukan kepalang atas informasi barusan. Sudah lama dia menginginkan seorang anak dari Natasya sebenarnya. Akan tetapi, sempat ada rasa trauma, karena mengingat kematian Maira. Namun, akhirnya keinginan itu kembali membesar beberapa bulan belakangan sehingga mengalahkan perasaan traumanya. Ini adalah berita yang sangat membahagiakan untuk pria itu.Semua orang kembali duduk di tempatnya semula dengan pikiran masing-masing."Mbak Risa, silakan minum," tawar Nay sembari menunjuk ke arah meja yang meman
"Aku mau pamit pulang dulu, Bu, Pak," ucap Natasya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Sudah seharian dia berada di rumah keluarga Lukman dan menahan perasaannya yang tidak nyaman. Apalagi dalam keadaan hamil muda seperti ini, bahkan tadi ia sempat muntah di sana.Meskipun banyak orang yang justru kagum terhadap dirinya karena dinilai sebagai istri yang hebat dan shaliha, sebab telah merelakan suaminya berpoligami, hal itu tidak membuatnya merasa bangga. Alasannya karena sebenarnya di dalam hati, ia merasa terpaksa."Oh iya, Nak Tasya ... kasihan juga, kamu butuh istirahat. Baby-nya juga. Di sini mungkin nggak senyaman rumah sendiri," ujar Sufia berusaha memahami. Ia lalu menyambut jabatan tangan Tasya dan memeluknya sejenak.Lukman hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian pria paruh baya itu mengajak sang istri untuk menghampiri seorang teman mereka yang menjadi tamu di acara tersebut."Sya, kamu mau pulang sekarang? Aku antar ya?" tawar Ardian."Nggak usah, aku sama Ibu
"Nanti aku bakal kasih kabar ke Papa dan Mama kalau sudah ada keputusan di mana Naura tinggal ya. Sekarang aku pamit ke rumah Daddy dulu," pamit Ardian. Ia ingin memikirkan pemintaan sang mertua terlebih dahulu. Untuk saat ini, dirinya belum bisa memberi keputusan."Ya udah. Tapi, jangan lama-lama ya, Ar," pesan Lukman."In syaa Allah, Pa." Ardian lalu bangkit dari duduknya dan ia pun mengucap salam kepada kedua orang mertuanya itu, lantas melenggang ke luar rumah.Naura hanya bisa menatap punggung lebar Ardian yang turun dari rumahnya, lalu menghilang di balik kendaraan roda empat. Mobil itu kemudian bergerak semakin menjauh. ***"Daddy mana, Bu?" tanya Ardian ketika sampai di rumah keluarga Arnold dan bertemu dengan ibu sambung sang istri yang menyambut kedatangannya."Daddy sudah tidur di kamar," jawab Nay apa adanya."Oh, gitu. Aku ke kamar dulu, Bu," pamit Ardian seraya melenggang menuju ke kamarnya dan Natasya."Ar!" panggil Nay membuat Ardian menghentikan langkah dan kembali m
"Kayaknya nggak perlu aku jelasin, kamu udah paham juga," sahut Natasya.Hening ....Sedetik. Dua detik."Iya ... aku paham." Akhirnya Ardian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirinya berusaha memahami apa yang dirasakan oleh seorang istri jika mendapati sang suami berselingkuh. Tentu tidak mudah untuk bisa menerima dan memaafkan begitu saja. "Aku mungkin butuh waktu ...." Natasya menatap sendu ke arah pria yang kini telah mengambil hatinya itu."Oke," jawab Ardian kembali mengangguk, meski sebenarnya di dalam hati bagai tertusuk sembilu tajam ... begitu perih.***"Kamu suruh Naura tinggal di sini aja, Nak."Sontak Ardian mengangkat kepalanya dan menatap sang ayah lekat. "Beneran, Yah?" Ardian tadinya hanya ingin meminta pendapat dari ayahnya tentang permintaan sang ayah mertua agar Naura dicarikan tempat tinggal berbeda. Ia sama sekali tidak terpikir untuk membawa Naura ke rumah orang tuanya itu.
Ardian's POVSore ini aku dan Natasya menjemput Naura untuk mengantarkannya ke rumah ayah. Dua hari lalu aku sudah menyampaikan kepada Papa Lukman perihal ini. Syukurlah Naura dan orang tuanya tidak keberatan. Ya, mungkin juga karena tidak ada alternatif lain selain ini."In syaa Allah ini hanya sementara, Dek. Kalau keuangan Abang sudah stabil, nanti akan Abang usahakan untuk cari rumah lain buat kamu setelah kita resmi nikah secara agama," ujarku sambil menyetir mobil menuju ke rumah ayah.Natasya tampak diam saja di kursi di sampingku. Ia memang terlihat tidak senang jika bersama dengan Naura. Begitu juga Naura terhadapnya kini."Iya, Bang. Aku bakal sabar, kok. Nggak usah khawatir. Aku nggak mau jadi istri yang banyak ngebebani suami nanti. Semampu Abang aja," sahut Naura bijak.Aku pun tersenyum mendengar omongannya. "Dengan adanya kamu di antara aku dan Ardian itu sudah jadi beban ...," sindir Natasya."Oh ya? Bukan cuma andil dari aku loh, jadinya seperti ini. Kenapa nggak tany