Kawan-kawan jangan lupa baca juga WANITA DAMBAAN TUAN OTORITER yaa. Itu novel prekuel kisah ini .... tentu juga seruuuu. Kuuyy! jangan lupa tinggalkan jejak yaaaa! Terima kasiiih! ❤️❤️❤️❤️❤️
"Assalamualaikum!" seru Arya ketika kakinya telah turun dari mobil. Wajahnya tampak begitu bahagia melihat orang-orang terdekat yang menyambut kedatangannya di teras rumah.Semua orang menjawab salamnya dengan serentak dan memasang wajah semringah.Saking semangat melihat putra kesayangan, sang ayah pun turun dari teras rumah ke halaman, lalu menghambur memeluk pemuda itu. "Kamu sehat, Nak?" tanya Hardi seraya menarik kedua sudut bibirnya dengan lebar."Alhamdulillah, aku sehat aja, Yah. Ayah dan Mama juga sehat 'kan?" sahut Arya sembari mengeratkan pelukannya kepada ayahnya."Alhamdulillah ... kami sehat," jawab Hardi sambil merenggangkan pelukannya. Ditatapnya sang putra dengan rasa bangga. Sudah sekitar tiga bulan putranya itu merantau ke negeri orang demi melanjutkan pendidikan. Ia berharap kelak Arya bakal berhasil menjadi seorang yang bisa ia banggakan seperti kepada Ardian dulu.Sopir mobil menurunkan tas jinjing milik Arya di sana. "Oh iya. Ini, Pak!" Arya berbalik, lalu mero
"Hai, Bumil ... akhirnya kita ketemu lagi yaaa!" Seorang wanita berkerudung hijau botol memeluk Natasya kemudian membelai perut wanita cantik yang masih belum terlalu kelihatan buncitnya jika mengenakan daster longgarnya itu."Hai, Fik. Akhirnya lo kemari juga," sahut Natasya menyambut sahabat kentalnya itu. Ia senang, sekarang Afika sudah pindah ke Tangerang. Jadi, mereka berdua tidak terlalu berjauhan lagi satu sama lain.Afika lantas melenggang mengekori Natasya masuk ke dalam unit."Duduk sini!" ajak Tasya mempersilakan Afika duduk di ruang tamu sekaligus ruang tengah unit apartemen tersebut."Laki lo lagi kerja nih, sekarang?" tanya Afika sembari menjatuhkan bobotnya ke atas sofa empuk itu."Iya, dua hari ini dia udah mulai kerja lagi. Dikasih libur dua hari aja resepsi kemarin," imbuh Natasya sembari melenggang ke arah dapurnya yang memang tidak bersekat dengan ruang tamu. Ia hendak membuatkan minuman untuk sang sahabat."Dapet juga dia cuti nikah untuk kedua kali?" Afika terkik
"Mama sama Ayah ke pasar dulu, Nak. Mau belanja sekalian olah raga jalan pagi. Kamu sarapan aja ya, udah Mama siapin itu di meja," ujar Nina kepada Naura yang baru keluar kamar berganti pakaian sebab baru saja selesai mandi pagi.Ini hari ke tiga wanita yang hamil tiga bulan itu tinggal di rumah keluarga Hardi. Hari memang masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jarak rumah Hardi dengan pasar tradisional tidak begitu jauh. Jika menggunakan sepeda motor, hanya butuh lima menit. Akan tetapi, Nina dan Hardi ingin sambil berolahraga, sehingga keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja dari rumah mereka."Ah, iya, Ma." Naura mengangguk dan mengulas sebuah senyuman ke arah Nina."Sudah siap?" tanya Hardi kepada sang istri. Ia baru muncul dari balik kamarnya."Sudah, Yah. Ayo!" ajak Nina kepada suaminya."Pergi dulu, Naura," pamit Nina kepada sang calon menantu. Hardi pun melempar senyum sebentar ke arah Naura sebelum berbalik badan, kemudian melenggang menjauh bersama sang is
"Ini mau ditanam di sini, Yah?" tanya Arya memastikan posisi lahan yang pas untuk menanam bibit pohon jeruk nipis milik ayahnya. Tangannya memegang sebuah cangkul, siap untuk menggali tanah."Iya, di situ aja." Hardi mengiyakan posisi yang sang putra tunjukkan.Arya pun mulai mencangkul tanah. Baru saja pria itu sekali mencangkul, tiba-tiba datang sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. "Aakh!" "Arya!" teriak Hardi keras.Tanpa sengaja Arya salah mengarahkan cangkul itu. Kaki kirinya terkena sabetan cangkul sedikit, tetapi cukup parah karena luka itu tampak cukup dalam. Darah pun mengucur dari kakinya yang terluka."Arya kenapa?! Kena cangkul?!" Ternyata yang barusan datang itu adalah Ardian dan juga Natasya di sana.Natasya yang berada di belakang Ardian tampak meringis sekaligus bergidik ngeri melihat darah yang cukup deras mengalir di kaki Arya.Hardi gegas berlari kencang ke arah dalam rumahnya. Tak lama kemudian pria paruh baya itu datang lagi dan langsung menumpahkan bubuk kop
Naura tampak sedikit terkesiap dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Arya. Sontak bola matanya berlarian ke sana kemari. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa gugup. "Aah ... itu, tentu saja aku yakin kalau ini benih Bang Ardian," tukas wanita itu mencoba bersikap normal.Hening .... Arya menatap lekat ke arah Naura yang seperti menghindari kontak mata darinya. "Jujur ... kalau memang itu benihku, aku akan bertanggungjawab, Nau," ungkap pria itu dengan perasaan yang tidak menentu. Entah mengapa, semenjak Arya mendengar kejadian skandal antara sang kakak lelaki dengan gadis yang duduk di hadapannya itu, ada segumpal kekecewaan di dalam hatinya. Akan tetapi, ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Ia tidak pernah merasakan hal demikian terhadap perempuan lain.Ya, memang selama ini Arya adalah pria yang senang menggoda wanita. Namun, ia tidak pernah terpengaruh sampai sejauh ini. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah S-2 sendiri pun, salah satu alasannya adalah
Naura tampak meringis sebentar dan menahan napas ketika sadar tubuhnya sedang menimpa sang pria. Dengan segera wanita itu beringsut ke sebelah Arya dengan wajah yang bersemu merah. Lantas Naura pun duduk, lalu dengan perlahan mengusap perutnya sendiri."Naura ... ka–mu nggak apa-apa?" Arya dengan cepat memegang perut Naura yang sudah mulai menonjol itu. Pria tersebut terlihat begitu khawatir. Ia takut Naura dan bayi di dalam perutnya kenapa-napa."Eng–nggak apa-apa ...," jawab Naura tampak gugup. Ia memang merasa tidak terjadi apa-apa pada perutnya. Justru jantungnyalah yang kini berdebar tidak keruan akibat insiden barusan. Ia lalu bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki keluar dari kamar itu.Akan tetapi, dengan gerakan cepat Arya menangkap pergelangan tangannya, sehingga langkah sang wanita pun terhenti. "Tunggu, Nau ...," ucap Arya kemudian mendekat. Degup jantung Naura entah mengapa terasa berdegup kencang sekarang. Saat ini tidak ada orang lain di dalam rumah, hanya ada
"Oke, Yah! Aku meluncur sekarang!" Mendengar berita yang sang ayah sampaikan entah mengapa, ada yang membuncah di dalam hati Ardian. 'Yaa ... Allah, semoga bayiku dan Naura selamat,' doanya dalam hati.Ardian segera pamit dan mengucap salam kepada ayahnya, lantas menutup saluran telepon. Gegas pria itu membuka almari untuk mengambil kemeja. 'Aku harus segera menyusul ke klinik.'"Ada apa?" tanya Natasya ketika melihat sang suami sibuk berkemas. Alisnya bertaut kencang.Ardian sampai lupa untuk langsung menyampaikan kepada Tasya soal informasi tadi. Mungkin karena perasaan yang begitu membuncah sampai membuatnya gugup seperti ini."Ah, iya, Sya! Ayah baru aja ngasih kabar. Naura sudah mau melahirkan. Ayo, kita ke klinik bersalinnya sekarang!" ajak pria itu pada Tasya. Ardian pun lanjut mengenakan kemeja dan celana hitamnya. Kemudian ia berjalan cepat menuju keluar, lantas meraih kunci mobil dari atas bufet yang ada di depan pintu kamar.Berbeda dengan Ardian yang tampak tergesa, Natasy
"Boleh, Yah!" seru Ardian dengan senyuman lebar di bibirnya. Tampak sekali kalau pria itu begitu antusias menyambut kelahiran putra pertama baginya."Ayah mau kasih nama ke bayi kamu, Anugerah Argantara. Gimana?" tanya Hardi dengan wajah semringah."Artinya apa itu, Pak Hardi?" tanya Lukman sembari tersenyum karena mendengar nama yang bagus yang diusulkan Hardi."Anugerah itu 'kan, ya pemberian yang baik, bagus, membahagiakan. Kalau Argantara itu artinya sesuatu yang luas tak terbatas.""Waah ... maa syaa Allah, bagus banget artinya, Yah! Aku setuju!" seru Ardian riang.Natasya hanya diam menatap ke arah sang suami di sana dengan menahan rasa perih di hati karena panasnya api cemburu."Nanti kita tanya Naura dulu," sela Nina sambil menepuk pundak Ardian, "dia juga berhak memberi pendapat ....""Iya benar," sahut Hardi tersenyum.Tak lama kemudian keluar seorang bidan senior dari dalam ruangan. Namun, wanita berusia sekitar 40 tahunan itu tidak menyampaikan apa pun. Ia hanya mengulas s
"Apa maksud omongan kamu tadi, Ya?" tanya Ardian dengan melempar tatapan setajam peluru, "kalian berduaan seperti ini di dalam kamar. Dan Naura, kamu membuka dadamu di hadapan, Arya. Apa pantas?" Lelaki itu menoleh ke arah sang istri."Ba–Bang, akuu ... aku bisa jelasin semuanya." Naura tergagap di tempatnya."Bang, aku dan Naura mau jelasin sesuatu," sela Arya. Ia lalu mencoba mendekati sang kakak.Namun, Ardian segera menjauh, ia mencoba menenangkan diri dengan menjaga jarak. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa single yang ada di kamar tersebut. "Oke, jelaskan!" tegasnya.Arya dan Naura saling mencuri pandang satu sama lain. Mereka sungguh merasa salah tingkah di hadapan Ardian saat ini.Karena kedua orang itu masih saja tidak memulai omongan, kembali Ardian menyeru, "Ayo! Katanya mau menjelaskan ke Abang? Ada apa dengan kalian? Kedustaan dan tipuan apa yang sudah dilakukan kepada Abang?" sindirnya. Ia tadi sempat mencerna apa yang Arya bicarakan.Arya dan Naura terlihat ge
"Bang, Abang udah di mana?" tanya Arya kepada Ardian."Abang udah nyampe di Banten ini, Ya. Ini lagi dalam perjalanan ke apartemen.""Oh, nggak jadi ke rumah sakit langsung?" "Abang mesti antar Tasya dan Syirisy dulu ke apartemen, Ya. Syirisy tiba-tiba demam, panas badannya. Gimana kabar Papa Lukman? Nanti abis antar mereka, Abang langsung ke rumah sakit!" "Bang ...." Arya menggantung omongannya."Iya?" "Papa Naura ... udah meninggal dunia," lanjut Arya.Deg!Kontan saja Ardian tertegun dan kaku. Lidahnya terasa kelu seketika karena mendengar berita mengejutkan itu."Kenapa, Yah?" tanya Natasya ketika melihat sang suami yang tiba-tiba terdiam begitu saja."Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun," ucap Ardian dengan lirih.Natasya langsung mengernyitkan dahinya. "Papanya Naura meninggal?" tanyanya memastikan.Ardian refleks menganggukkan kepalanya. Natasya beringsut mendekati sang suami. Ia pun meraih telapak tangan Ardian yang bebas dan menggenggamnya erat. Wanita itu sangat menger
Natasya lalu bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak menatap dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami. "Kamu dengar apa yang aku katakan, Ar!" serunya tegas. Kelopak mata Tasya terlihat sembab karena menangis semalaman, tetapi sudah tak ada air mata lagi dari sana saat ini.Wanita itu sudah tidak lagi memanggil Ardian dengan sebutan 'ayah' karena sakit hati yang mendera sejak tadi malam."Iya, Ayah dengar. Tapi, kenapa malah kamu yang minta cerai begini, Bun?" Ardian ikut berdiri, kemudian mendekati sang istri hendak meraih tangannya.Natasya menghindar. "Naura sudah mau mundur, karena dia tahu pernikahan poligami ini nggak bakal berhasil. Aku juga berpendapat sama! So, memang harus ada yang mengalah.""Mengalah apa, Bun? Kita di pernikahan poligami ini baru sebentar, 'kan? Belum juga ada setahun," kilah Ardian memprotes apa yang Natasya sampaikan."Ooh, jadi kamu menikmati pernikahan poligami ini, heh?" cibir Natasya, "laki-laki di mana-mana kayak begini ya! Senang ngoleks
Ardian berteriak memanggil. Ia langsung bangkit dan kelabakan mengejar Natasya.Arya yang melihat hal itu pun segera mengejar kakak lelakinya.Sampai di lift, Ardian tak sempat masuk ke dalam karena Natasya lekas menutup pintunya."Bang, sudahlah. Biar aja dulu Tasya pulang!" bujuk Arya kepada sang kakak."Natasya mesti paham maksud Abang!" seru Ardian sambil terus menekan tombol lift agar segera terbuka.Tak lama kemudian pintu ruang kecil itu pun terbuka. Lelaki itu segera masuk dan Arya pun turut ke dalamnya.Arya melihat ke arah sang kakak dengan perasaan yang tidak menentu. Ingin sekali ia mendesak agar Ardian segera menceraikan Naura supaya tidak ada lagi penghalang baginya untuk mendekati kekasih hatinya itu.Sesampai di lantai bawah, lift berdenting, lantas terbuka lebar.Dengan cepat Ardian berlari hendak menuju ke parkiran mobil. Arya berjalan mengekorinya.Akan tetapi, sekali lagi, Ardian terlambat. Natasya sudah membawa kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang area par
"Maksud kamu apa, Dek? Kok, tiba-tiba minta cerai?" Ardian menautkan kedua alisnya dan memicingkan mata menatap heran ke arah sang istri muda.Natasya terkesiap. Ia melebarkan bola mata sebab begitu kaget dengan apa yang baru saja dipinta oleh Naura kepada sang suami. 'Beneran ini? Ada apa? Masak cuma gara-gara Ardian sakit dan telat nyamperin, dia langsung minta cerai??' tanyanya dalam hati.Sementara Arya yang sudah mengetahui rencana itu memilih diam dan menunduk. Ia menyerahkan semua keputusan kepada Naura. Ia bersyukur akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersatu dengan sang kekasih hati. Apalagi setelah tahu Arga adalah darah dagingnya sendiri, ia merasa sangat bahagia."A–ku rasa nggak bisa lagi menjalankan pernikahan poligami ini, Bang. Aku nggak sanggup. Lebih baik aku mundur," imbuh Naura tanpa mau melihat wajah Ardian.Ardian menoleh ke arah sang mertua yang seakan membuang muka juga di pembaringannya. Lalu bergiliran ia menoleh ke arah Natasya dan juga Arya. Lelaki itu sea
"Ayo, Bun!" seru Ardian kepada Natasya yang ada di belakangnya.Natasya menghela napas lelah. Ia melajukan langkah menyusul sang suami yang sudah berada di lift hotel.Ya, Ardian terbangun pukul setengah 12 malam. Ia baru teringat kalau malam ini dirinya mesti bersama Naura. Ia khawatir kalau Naura kecewa kalau ia tidak datang. Karena jatah Naura berada di kota itu tinggal dua malam saja. Malam ini, dan malam besok. Tentu saja lelaki itu merasa bersalah jika sampai tidak menunaikan kewajibannya. Padahal sudah jauh-jauh Naura berangkat ke kota Pontianak.Sementara Natasya, tadinya ia telah menjelaskan kepada sang suami kalau ia sudah menelepon Naura. Akan tetapi, Ardian yang masih sakit itu tetap berkeras mau mendatangi istri mudanya karena rasa tanggungjawab. Tadinya Natasya marah karena Ardian keras kepala. Namun, akhirnya ia kasihan melihat sang suami yang lemas karena sudah sakit, mesti ditambah pula berdebat dengannya. Akhirnya Natasya mengizinkan sang suami pergi dengan syarat
"Ma–Mama ...?" lirih Naura masih tampak terperanjat dengan kedatangan sang ibu. Tiba-tiba Arga menangis kencang. Bayi lelaki itu terkejut dengan suara keras dari Sufia. "Ya Allah, Nauraaa! Aryaaa! Kenapa kalian melakukan perbuatan setan ini ...?!" pekik Sufia lagi. Arya tampak bingung sekaligus kelabakan karena di depan ada Sufia yang marah-marah, dan di sebelahnya Arga yang terus menangis kencang. Sementara dirinya masih dalam keadaan naked di balik selimut bersama Naura. "Mama Naura, i–ini nggak seperti yang Mama Naura pikirkan," ujar Arya gugup. Ia meraih celananya yang terserak di sana, dan dengan terburu-buru ia berusaha mengenakannya lagi. "Nauraaa ... Mama nggak nyangka bisa kejadian hal seperti ini lagiii? Otak kalian ke mana?!!" bentak Sufia dengan linangan air mata serta tatapan yang nanar. Arya yang sudah mengenakan kembali celananya, dengan cepat mendatangi Arga, lantas meraih bayi kecil itu. "Cup cup cup, diam, Sayang ...." Naura tertunduk dalam sembari terus
Akan tetapi, dua detik kemudian ponselnya berdering. Itu nomor Ardian lagi. Namun, itu sebuah panggilan video, bukan suara."Tuuuh, lo liat! Ardian tidur dan dia memang lagi sakit ... biar lo percaya ...." Suara Natasya terdengar lirih dan geram sambil men-zoom gambar di kamera ponsel itu mengarah ke pembaringan Ardian. Lelaki itu terlihat meringkuk di dalam selimut. Sepertinya Tasya mengambil video dari luar kamarnya. Memang ia sengaja mengambil gambar dari jarak jauh agar jangan sampai Ardian terganggu karena mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Naura.Naura menekan kedua rahangnya dengan keras. "Sudah, 'kan? Lo udah percaya sama gue sekarang? Sorry, ini bikin lo kecewa. Bye!" Kembali Natasya memutuskan sambungan telepon mereka."Aaaaaarrrgh ...!!!" Naura melempar ponselnya ke tempat tidur.Dengan gerakan cepat wanita itu mengambil kimono lingerie-nya, lantas mengenakannya. Kemudian ia melangkah lebar keluar kamar dan menggedor kamar Arga.Brak! Brak! Brak!Tidak butuh wak
"Dek, Arya cuma bilang dia minta masakin sama kamu," tukas Ardian menjelaskan sembari menatap lekat ke arah sang istri muda. Ia juga heran dengan Naura yang seakan tengah melantur dan tidak fokus terhadap pertanyaan Arya.Dahi Naura terlihat mengernyit kencang. Ia berusaha mencerna maksud suaminya."Yaaa, kalau nggak mau masakin aku juga nggak apa-apa. Nggak perlu ngegas juga," ucap Arya cuek. Ia lanjut mengunyah makanannya."Kamu kenapa, Nak? Memangnya kamu pikir Arya bicara apa tadi?" tanya Sufia heran.Bola mata Naura berlari ke sana kemari. Ia juga bingung mengapa pendengaran dan pikirannya jadi ke mana-mana. Sungguh, dia tadi menyangka kalau Arya membicarakan masa lalu mereka berdua di hadapan semua orang dan tentu saja dia mau membantahnya."Hmm, aku udah kenyang. Makasih banyak Tasya dan Bik Jum udah masak makanan yang enak banget siang ini. Tadi aku benar-benar lapar karena dari tadi malam belum sempat menyentuh makanan apa pun," tutur Ardian mengalihkan bahasan. Lelaki itu m