"Hai, Bumil ... akhirnya kita ketemu lagi yaaa!" Seorang wanita berkerudung hijau botol memeluk Natasya kemudian membelai perut wanita cantik yang masih belum terlalu kelihatan buncitnya jika mengenakan daster longgarnya itu."Hai, Fik. Akhirnya lo kemari juga," sahut Natasya menyambut sahabat kentalnya itu. Ia senang, sekarang Afika sudah pindah ke Tangerang. Jadi, mereka berdua tidak terlalu berjauhan lagi satu sama lain.Afika lantas melenggang mengekori Natasya masuk ke dalam unit."Duduk sini!" ajak Tasya mempersilakan Afika duduk di ruang tamu sekaligus ruang tengah unit apartemen tersebut."Laki lo lagi kerja nih, sekarang?" tanya Afika sembari menjatuhkan bobotnya ke atas sofa empuk itu."Iya, dua hari ini dia udah mulai kerja lagi. Dikasih libur dua hari aja resepsi kemarin," imbuh Natasya sembari melenggang ke arah dapurnya yang memang tidak bersekat dengan ruang tamu. Ia hendak membuatkan minuman untuk sang sahabat."Dapet juga dia cuti nikah untuk kedua kali?" Afika terkik
"Mama sama Ayah ke pasar dulu, Nak. Mau belanja sekalian olah raga jalan pagi. Kamu sarapan aja ya, udah Mama siapin itu di meja," ujar Nina kepada Naura yang baru keluar kamar berganti pakaian sebab baru saja selesai mandi pagi.Ini hari ke tiga wanita yang hamil tiga bulan itu tinggal di rumah keluarga Hardi. Hari memang masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jarak rumah Hardi dengan pasar tradisional tidak begitu jauh. Jika menggunakan sepeda motor, hanya butuh lima menit. Akan tetapi, Nina dan Hardi ingin sambil berolahraga, sehingga keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja dari rumah mereka."Ah, iya, Ma." Naura mengangguk dan mengulas sebuah senyuman ke arah Nina."Sudah siap?" tanya Hardi kepada sang istri. Ia baru muncul dari balik kamarnya."Sudah, Yah. Ayo!" ajak Nina kepada suaminya."Pergi dulu, Naura," pamit Nina kepada sang calon menantu. Hardi pun melempar senyum sebentar ke arah Naura sebelum berbalik badan, kemudian melenggang menjauh bersama sang is
"Ini mau ditanam di sini, Yah?" tanya Arya memastikan posisi lahan yang pas untuk menanam bibit pohon jeruk nipis milik ayahnya. Tangannya memegang sebuah cangkul, siap untuk menggali tanah."Iya, di situ aja." Hardi mengiyakan posisi yang sang putra tunjukkan.Arya pun mulai mencangkul tanah. Baru saja pria itu sekali mencangkul, tiba-tiba datang sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. "Aakh!" "Arya!" teriak Hardi keras.Tanpa sengaja Arya salah mengarahkan cangkul itu. Kaki kirinya terkena sabetan cangkul sedikit, tetapi cukup parah karena luka itu tampak cukup dalam. Darah pun mengucur dari kakinya yang terluka."Arya kenapa?! Kena cangkul?!" Ternyata yang barusan datang itu adalah Ardian dan juga Natasya di sana.Natasya yang berada di belakang Ardian tampak meringis sekaligus bergidik ngeri melihat darah yang cukup deras mengalir di kaki Arya.Hardi gegas berlari kencang ke arah dalam rumahnya. Tak lama kemudian pria paruh baya itu datang lagi dan langsung menumpahkan bubuk kop
Naura tampak sedikit terkesiap dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Arya. Sontak bola matanya berlarian ke sana kemari. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa gugup. "Aah ... itu, tentu saja aku yakin kalau ini benih Bang Ardian," tukas wanita itu mencoba bersikap normal.Hening .... Arya menatap lekat ke arah Naura yang seperti menghindari kontak mata darinya. "Jujur ... kalau memang itu benihku, aku akan bertanggungjawab, Nau," ungkap pria itu dengan perasaan yang tidak menentu. Entah mengapa, semenjak Arya mendengar kejadian skandal antara sang kakak lelaki dengan gadis yang duduk di hadapannya itu, ada segumpal kekecewaan di dalam hatinya. Akan tetapi, ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Ia tidak pernah merasakan hal demikian terhadap perempuan lain.Ya, memang selama ini Arya adalah pria yang senang menggoda wanita. Namun, ia tidak pernah terpengaruh sampai sejauh ini. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah S-2 sendiri pun, salah satu alasannya adalah
Naura tampak meringis sebentar dan menahan napas ketika sadar tubuhnya sedang menimpa sang pria. Dengan segera wanita itu beringsut ke sebelah Arya dengan wajah yang bersemu merah. Lantas Naura pun duduk, lalu dengan perlahan mengusap perutnya sendiri."Naura ... ka–mu nggak apa-apa?" Arya dengan cepat memegang perut Naura yang sudah mulai menonjol itu. Pria tersebut terlihat begitu khawatir. Ia takut Naura dan bayi di dalam perutnya kenapa-napa."Eng–nggak apa-apa ...," jawab Naura tampak gugup. Ia memang merasa tidak terjadi apa-apa pada perutnya. Justru jantungnyalah yang kini berdebar tidak keruan akibat insiden barusan. Ia lalu bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki keluar dari kamar itu.Akan tetapi, dengan gerakan cepat Arya menangkap pergelangan tangannya, sehingga langkah sang wanita pun terhenti. "Tunggu, Nau ...," ucap Arya kemudian mendekat. Degup jantung Naura entah mengapa terasa berdegup kencang sekarang. Saat ini tidak ada orang lain di dalam rumah, hanya ada
"Oke, Yah! Aku meluncur sekarang!" Mendengar berita yang sang ayah sampaikan entah mengapa, ada yang membuncah di dalam hati Ardian. 'Yaa ... Allah, semoga bayiku dan Naura selamat,' doanya dalam hati.Ardian segera pamit dan mengucap salam kepada ayahnya, lantas menutup saluran telepon. Gegas pria itu membuka almari untuk mengambil kemeja. 'Aku harus segera menyusul ke klinik.'"Ada apa?" tanya Natasya ketika melihat sang suami sibuk berkemas. Alisnya bertaut kencang.Ardian sampai lupa untuk langsung menyampaikan kepada Tasya soal informasi tadi. Mungkin karena perasaan yang begitu membuncah sampai membuatnya gugup seperti ini."Ah, iya, Sya! Ayah baru aja ngasih kabar. Naura sudah mau melahirkan. Ayo, kita ke klinik bersalinnya sekarang!" ajak pria itu pada Tasya. Ardian pun lanjut mengenakan kemeja dan celana hitamnya. Kemudian ia berjalan cepat menuju keluar, lantas meraih kunci mobil dari atas bufet yang ada di depan pintu kamar.Berbeda dengan Ardian yang tampak tergesa, Natasy
"Boleh, Yah!" seru Ardian dengan senyuman lebar di bibirnya. Tampak sekali kalau pria itu begitu antusias menyambut kelahiran putra pertama baginya."Ayah mau kasih nama ke bayi kamu, Anugerah Argantara. Gimana?" tanya Hardi dengan wajah semringah."Artinya apa itu, Pak Hardi?" tanya Lukman sembari tersenyum karena mendengar nama yang bagus yang diusulkan Hardi."Anugerah itu 'kan, ya pemberian yang baik, bagus, membahagiakan. Kalau Argantara itu artinya sesuatu yang luas tak terbatas.""Waah ... maa syaa Allah, bagus banget artinya, Yah! Aku setuju!" seru Ardian riang.Natasya hanya diam menatap ke arah sang suami di sana dengan menahan rasa perih di hati karena panasnya api cemburu."Nanti kita tanya Naura dulu," sela Nina sambil menepuk pundak Ardian, "dia juga berhak memberi pendapat ....""Iya benar," sahut Hardi tersenyum.Tak lama kemudian keluar seorang bidan senior dari dalam ruangan. Namun, wanita berusia sekitar 40 tahunan itu tidak menyampaikan apa pun. Ia hanya mengulas s
"Menurut lo apa yang menyebabkan Ardian bisa jatuh cinta sama perempuan itu?" tanya Fika seraya menatap lekat ke arah Natasya.Tasya tampak berpikir sejenak. "Aku nggak tahu, Fik .... Buatku, setiap perempuan itu pasti ada sisi menarik di mata laki-laki. Nggak peduli perempuan itu jelek ataupun cantik. Apa lagi yang memang cantik. Dan Naura termasuk cantik, 'kan?""Yaa ... tapi nggak secantik elo, sih. Lo 'kan, turunan bule, Grandpa lo bule asli." Afika berkata jujur apa adanya."Hhhh ... Naura juga keliatannya nggak banyak nuntut, Fik. Waktu itu dia bilang nggak mau banyak ngebebanin suami." Natasya teringat ketika Naura yang mengatakan hal itu kepada Ardian."Lo sendiri apa banyak nuntut?" Afika memicingkan mata ke arah sang sahabat."Dari surat perjanjian yang aku buat untuk mereka sebelum mereka menikah di KUA, itu bukti aku banyak nuntut ke Ardian, Fik. Dan ...." Natasya menggantung omongannya."Dan ... apa?" "Dan sampai sekarang kami juga masih pisah ranjang."Afika seketika me