"Kayaknya nggak perlu aku jelasin, kamu udah paham juga," sahut Natasya.Hening ....Sedetik. Dua detik."Iya ... aku paham." Akhirnya Ardian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirinya berusaha memahami apa yang dirasakan oleh seorang istri jika mendapati sang suami berselingkuh. Tentu tidak mudah untuk bisa menerima dan memaafkan begitu saja. "Aku mungkin butuh waktu ...." Natasya menatap sendu ke arah pria yang kini telah mengambil hatinya itu."Oke," jawab Ardian kembali mengangguk, meski sebenarnya di dalam hati bagai tertusuk sembilu tajam ... begitu perih.***"Kamu suruh Naura tinggal di sini aja, Nak."Sontak Ardian mengangkat kepalanya dan menatap sang ayah lekat. "Beneran, Yah?" Ardian tadinya hanya ingin meminta pendapat dari ayahnya tentang permintaan sang ayah mertua agar Naura dicarikan tempat tinggal berbeda. Ia sama sekali tidak terpikir untuk membawa Naura ke rumah orang tuanya itu.
Ardian's POVSore ini aku dan Natasya menjemput Naura untuk mengantarkannya ke rumah ayah. Dua hari lalu aku sudah menyampaikan kepada Papa Lukman perihal ini. Syukurlah Naura dan orang tuanya tidak keberatan. Ya, mungkin juga karena tidak ada alternatif lain selain ini."In syaa Allah ini hanya sementara, Dek. Kalau keuangan Abang sudah stabil, nanti akan Abang usahakan untuk cari rumah lain buat kamu setelah kita resmi nikah secara agama," ujarku sambil menyetir mobil menuju ke rumah ayah.Natasya tampak diam saja di kursi di sampingku. Ia memang terlihat tidak senang jika bersama dengan Naura. Begitu juga Naura terhadapnya kini."Iya, Bang. Aku bakal sabar, kok. Nggak usah khawatir. Aku nggak mau jadi istri yang banyak ngebebani suami nanti. Semampu Abang aja," sahut Naura bijak.Aku pun tersenyum mendengar omongannya. "Dengan adanya kamu di antara aku dan Ardian itu sudah jadi beban ...," sindir Natasya."Oh ya? Bukan cuma andil dari aku loh, jadinya seperti ini. Kenapa nggak tany
"Assalamualaikum!" seru Arya ketika kakinya telah turun dari mobil. Wajahnya tampak begitu bahagia melihat orang-orang terdekat yang menyambut kedatangannya di teras rumah.Semua orang menjawab salamnya dengan serentak dan memasang wajah semringah.Saking semangat melihat putra kesayangan, sang ayah pun turun dari teras rumah ke halaman, lalu menghambur memeluk pemuda itu. "Kamu sehat, Nak?" tanya Hardi seraya menarik kedua sudut bibirnya dengan lebar."Alhamdulillah, aku sehat aja, Yah. Ayah dan Mama juga sehat 'kan?" sahut Arya sembari mengeratkan pelukannya kepada ayahnya."Alhamdulillah ... kami sehat," jawab Hardi sambil merenggangkan pelukannya. Ditatapnya sang putra dengan rasa bangga. Sudah sekitar tiga bulan putranya itu merantau ke negeri orang demi melanjutkan pendidikan. Ia berharap kelak Arya bakal berhasil menjadi seorang yang bisa ia banggakan seperti kepada Ardian dulu.Sopir mobil menurunkan tas jinjing milik Arya di sana. "Oh iya. Ini, Pak!" Arya berbalik, lalu mero
"Hai, Bumil ... akhirnya kita ketemu lagi yaaa!" Seorang wanita berkerudung hijau botol memeluk Natasya kemudian membelai perut wanita cantik yang masih belum terlalu kelihatan buncitnya jika mengenakan daster longgarnya itu."Hai, Fik. Akhirnya lo kemari juga," sahut Natasya menyambut sahabat kentalnya itu. Ia senang, sekarang Afika sudah pindah ke Tangerang. Jadi, mereka berdua tidak terlalu berjauhan lagi satu sama lain.Afika lantas melenggang mengekori Natasya masuk ke dalam unit."Duduk sini!" ajak Tasya mempersilakan Afika duduk di ruang tamu sekaligus ruang tengah unit apartemen tersebut."Laki lo lagi kerja nih, sekarang?" tanya Afika sembari menjatuhkan bobotnya ke atas sofa empuk itu."Iya, dua hari ini dia udah mulai kerja lagi. Dikasih libur dua hari aja resepsi kemarin," imbuh Natasya sembari melenggang ke arah dapurnya yang memang tidak bersekat dengan ruang tamu. Ia hendak membuatkan minuman untuk sang sahabat."Dapet juga dia cuti nikah untuk kedua kali?" Afika terkik
"Mama sama Ayah ke pasar dulu, Nak. Mau belanja sekalian olah raga jalan pagi. Kamu sarapan aja ya, udah Mama siapin itu di meja," ujar Nina kepada Naura yang baru keluar kamar berganti pakaian sebab baru saja selesai mandi pagi.Ini hari ke tiga wanita yang hamil tiga bulan itu tinggal di rumah keluarga Hardi. Hari memang masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jarak rumah Hardi dengan pasar tradisional tidak begitu jauh. Jika menggunakan sepeda motor, hanya butuh lima menit. Akan tetapi, Nina dan Hardi ingin sambil berolahraga, sehingga keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja dari rumah mereka."Ah, iya, Ma." Naura mengangguk dan mengulas sebuah senyuman ke arah Nina."Sudah siap?" tanya Hardi kepada sang istri. Ia baru muncul dari balik kamarnya."Sudah, Yah. Ayo!" ajak Nina kepada suaminya."Pergi dulu, Naura," pamit Nina kepada sang calon menantu. Hardi pun melempar senyum sebentar ke arah Naura sebelum berbalik badan, kemudian melenggang menjauh bersama sang is
"Ini mau ditanam di sini, Yah?" tanya Arya memastikan posisi lahan yang pas untuk menanam bibit pohon jeruk nipis milik ayahnya. Tangannya memegang sebuah cangkul, siap untuk menggali tanah."Iya, di situ aja." Hardi mengiyakan posisi yang sang putra tunjukkan.Arya pun mulai mencangkul tanah. Baru saja pria itu sekali mencangkul, tiba-tiba datang sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. "Aakh!" "Arya!" teriak Hardi keras.Tanpa sengaja Arya salah mengarahkan cangkul itu. Kaki kirinya terkena sabetan cangkul sedikit, tetapi cukup parah karena luka itu tampak cukup dalam. Darah pun mengucur dari kakinya yang terluka."Arya kenapa?! Kena cangkul?!" Ternyata yang barusan datang itu adalah Ardian dan juga Natasya di sana.Natasya yang berada di belakang Ardian tampak meringis sekaligus bergidik ngeri melihat darah yang cukup deras mengalir di kaki Arya.Hardi gegas berlari kencang ke arah dalam rumahnya. Tak lama kemudian pria paruh baya itu datang lagi dan langsung menumpahkan bubuk kop
Naura tampak sedikit terkesiap dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Arya. Sontak bola matanya berlarian ke sana kemari. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa gugup. "Aah ... itu, tentu saja aku yakin kalau ini benih Bang Ardian," tukas wanita itu mencoba bersikap normal.Hening .... Arya menatap lekat ke arah Naura yang seperti menghindari kontak mata darinya. "Jujur ... kalau memang itu benihku, aku akan bertanggungjawab, Nau," ungkap pria itu dengan perasaan yang tidak menentu. Entah mengapa, semenjak Arya mendengar kejadian skandal antara sang kakak lelaki dengan gadis yang duduk di hadapannya itu, ada segumpal kekecewaan di dalam hatinya. Akan tetapi, ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Ia tidak pernah merasakan hal demikian terhadap perempuan lain.Ya, memang selama ini Arya adalah pria yang senang menggoda wanita. Namun, ia tidak pernah terpengaruh sampai sejauh ini. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah S-2 sendiri pun, salah satu alasannya adalah
Naura tampak meringis sebentar dan menahan napas ketika sadar tubuhnya sedang menimpa sang pria. Dengan segera wanita itu beringsut ke sebelah Arya dengan wajah yang bersemu merah. Lantas Naura pun duduk, lalu dengan perlahan mengusap perutnya sendiri."Naura ... ka–mu nggak apa-apa?" Arya dengan cepat memegang perut Naura yang sudah mulai menonjol itu. Pria tersebut terlihat begitu khawatir. Ia takut Naura dan bayi di dalam perutnya kenapa-napa."Eng–nggak apa-apa ...," jawab Naura tampak gugup. Ia memang merasa tidak terjadi apa-apa pada perutnya. Justru jantungnyalah yang kini berdebar tidak keruan akibat insiden barusan. Ia lalu bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki keluar dari kamar itu.Akan tetapi, dengan gerakan cepat Arya menangkap pergelangan tangannya, sehingga langkah sang wanita pun terhenti. "Tunggu, Nau ...," ucap Arya kemudian mendekat. Degup jantung Naura entah mengapa terasa berdegup kencang sekarang. Saat ini tidak ada orang lain di dalam rumah, hanya ada