"Maksud Mbak Risa, Tasya hamil?!" tanya Nay dengan menarik sedikit kedua sudut bibirnya ke atas. Hatinya bahagia jika hal itu ternyata benar adanya."Ya, begitulah ... ini malah kalian sangka dia masuk angin." Risa mendaratkan bokongnya di sofa di sana. "Selamat, Bro. Kamu bakal punya cucu," ucapnya sembari tersenyum ke arah Steven yang masih tergamang di sana."Apa karena ini dia nggak mau lanjutin tuntutan cerainya?" gumam Steven seolah bicara pada diri sendiri.Ardian juga terlihat kaget bukan kepalang atas informasi barusan. Sudah lama dia menginginkan seorang anak dari Natasya sebenarnya. Akan tetapi, sempat ada rasa trauma, karena mengingat kematian Maira. Namun, akhirnya keinginan itu kembali membesar beberapa bulan belakangan sehingga mengalahkan perasaan traumanya. Ini adalah berita yang sangat membahagiakan untuk pria itu.Semua orang kembali duduk di tempatnya semula dengan pikiran masing-masing."Mbak Risa, silakan minum," tawar Nay sembari menunjuk ke arah meja yang meman
"Aku mau pamit pulang dulu, Bu, Pak," ucap Natasya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Sudah seharian dia berada di rumah keluarga Lukman dan menahan perasaannya yang tidak nyaman. Apalagi dalam keadaan hamil muda seperti ini, bahkan tadi ia sempat muntah di sana.Meskipun banyak orang yang justru kagum terhadap dirinya karena dinilai sebagai istri yang hebat dan shaliha, sebab telah merelakan suaminya berpoligami, hal itu tidak membuatnya merasa bangga. Alasannya karena sebenarnya di dalam hati, ia merasa terpaksa."Oh iya, Nak Tasya ... kasihan juga, kamu butuh istirahat. Baby-nya juga. Di sini mungkin nggak senyaman rumah sendiri," ujar Sufia berusaha memahami. Ia lalu menyambut jabatan tangan Tasya dan memeluknya sejenak.Lukman hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian pria paruh baya itu mengajak sang istri untuk menghampiri seorang teman mereka yang menjadi tamu di acara tersebut."Sya, kamu mau pulang sekarang? Aku antar ya?" tawar Ardian."Nggak usah, aku sama Ibu
"Nanti aku bakal kasih kabar ke Papa dan Mama kalau sudah ada keputusan di mana Naura tinggal ya. Sekarang aku pamit ke rumah Daddy dulu," pamit Ardian. Ia ingin memikirkan pemintaan sang mertua terlebih dahulu. Untuk saat ini, dirinya belum bisa memberi keputusan."Ya udah. Tapi, jangan lama-lama ya, Ar," pesan Lukman."In syaa Allah, Pa." Ardian lalu bangkit dari duduknya dan ia pun mengucap salam kepada kedua orang mertuanya itu, lantas melenggang ke luar rumah.Naura hanya bisa menatap punggung lebar Ardian yang turun dari rumahnya, lalu menghilang di balik kendaraan roda empat. Mobil itu kemudian bergerak semakin menjauh. ***"Daddy mana, Bu?" tanya Ardian ketika sampai di rumah keluarga Arnold dan bertemu dengan ibu sambung sang istri yang menyambut kedatangannya."Daddy sudah tidur di kamar," jawab Nay apa adanya."Oh, gitu. Aku ke kamar dulu, Bu," pamit Ardian seraya melenggang menuju ke kamarnya dan Natasya."Ar!" panggil Nay membuat Ardian menghentikan langkah dan kembali m
"Kayaknya nggak perlu aku jelasin, kamu udah paham juga," sahut Natasya.Hening ....Sedetik. Dua detik."Iya ... aku paham." Akhirnya Ardian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirinya berusaha memahami apa yang dirasakan oleh seorang istri jika mendapati sang suami berselingkuh. Tentu tidak mudah untuk bisa menerima dan memaafkan begitu saja. "Aku mungkin butuh waktu ...." Natasya menatap sendu ke arah pria yang kini telah mengambil hatinya itu."Oke," jawab Ardian kembali mengangguk, meski sebenarnya di dalam hati bagai tertusuk sembilu tajam ... begitu perih.***"Kamu suruh Naura tinggal di sini aja, Nak."Sontak Ardian mengangkat kepalanya dan menatap sang ayah lekat. "Beneran, Yah?" Ardian tadinya hanya ingin meminta pendapat dari ayahnya tentang permintaan sang ayah mertua agar Naura dicarikan tempat tinggal berbeda. Ia sama sekali tidak terpikir untuk membawa Naura ke rumah orang tuanya itu.
Ardian's POVSore ini aku dan Natasya menjemput Naura untuk mengantarkannya ke rumah ayah. Dua hari lalu aku sudah menyampaikan kepada Papa Lukman perihal ini. Syukurlah Naura dan orang tuanya tidak keberatan. Ya, mungkin juga karena tidak ada alternatif lain selain ini."In syaa Allah ini hanya sementara, Dek. Kalau keuangan Abang sudah stabil, nanti akan Abang usahakan untuk cari rumah lain buat kamu setelah kita resmi nikah secara agama," ujarku sambil menyetir mobil menuju ke rumah ayah.Natasya tampak diam saja di kursi di sampingku. Ia memang terlihat tidak senang jika bersama dengan Naura. Begitu juga Naura terhadapnya kini."Iya, Bang. Aku bakal sabar, kok. Nggak usah khawatir. Aku nggak mau jadi istri yang banyak ngebebani suami nanti. Semampu Abang aja," sahut Naura bijak.Aku pun tersenyum mendengar omongannya. "Dengan adanya kamu di antara aku dan Ardian itu sudah jadi beban ...," sindir Natasya."Oh ya? Bukan cuma andil dari aku loh, jadinya seperti ini. Kenapa nggak tany
"Assalamualaikum!" seru Arya ketika kakinya telah turun dari mobil. Wajahnya tampak begitu bahagia melihat orang-orang terdekat yang menyambut kedatangannya di teras rumah.Semua orang menjawab salamnya dengan serentak dan memasang wajah semringah.Saking semangat melihat putra kesayangan, sang ayah pun turun dari teras rumah ke halaman, lalu menghambur memeluk pemuda itu. "Kamu sehat, Nak?" tanya Hardi seraya menarik kedua sudut bibirnya dengan lebar."Alhamdulillah, aku sehat aja, Yah. Ayah dan Mama juga sehat 'kan?" sahut Arya sembari mengeratkan pelukannya kepada ayahnya."Alhamdulillah ... kami sehat," jawab Hardi sambil merenggangkan pelukannya. Ditatapnya sang putra dengan rasa bangga. Sudah sekitar tiga bulan putranya itu merantau ke negeri orang demi melanjutkan pendidikan. Ia berharap kelak Arya bakal berhasil menjadi seorang yang bisa ia banggakan seperti kepada Ardian dulu.Sopir mobil menurunkan tas jinjing milik Arya di sana. "Oh iya. Ini, Pak!" Arya berbalik, lalu mero
"Hai, Bumil ... akhirnya kita ketemu lagi yaaa!" Seorang wanita berkerudung hijau botol memeluk Natasya kemudian membelai perut wanita cantik yang masih belum terlalu kelihatan buncitnya jika mengenakan daster longgarnya itu."Hai, Fik. Akhirnya lo kemari juga," sahut Natasya menyambut sahabat kentalnya itu. Ia senang, sekarang Afika sudah pindah ke Tangerang. Jadi, mereka berdua tidak terlalu berjauhan lagi satu sama lain.Afika lantas melenggang mengekori Natasya masuk ke dalam unit."Duduk sini!" ajak Tasya mempersilakan Afika duduk di ruang tamu sekaligus ruang tengah unit apartemen tersebut."Laki lo lagi kerja nih, sekarang?" tanya Afika sembari menjatuhkan bobotnya ke atas sofa empuk itu."Iya, dua hari ini dia udah mulai kerja lagi. Dikasih libur dua hari aja resepsi kemarin," imbuh Natasya sembari melenggang ke arah dapurnya yang memang tidak bersekat dengan ruang tamu. Ia hendak membuatkan minuman untuk sang sahabat."Dapet juga dia cuti nikah untuk kedua kali?" Afika terkik
"Mama sama Ayah ke pasar dulu, Nak. Mau belanja sekalian olah raga jalan pagi. Kamu sarapan aja ya, udah Mama siapin itu di meja," ujar Nina kepada Naura yang baru keluar kamar berganti pakaian sebab baru saja selesai mandi pagi.Ini hari ke tiga wanita yang hamil tiga bulan itu tinggal di rumah keluarga Hardi. Hari memang masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jarak rumah Hardi dengan pasar tradisional tidak begitu jauh. Jika menggunakan sepeda motor, hanya butuh lima menit. Akan tetapi, Nina dan Hardi ingin sambil berolahraga, sehingga keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja dari rumah mereka."Ah, iya, Ma." Naura mengangguk dan mengulas sebuah senyuman ke arah Nina."Sudah siap?" tanya Hardi kepada sang istri. Ia baru muncul dari balik kamarnya."Sudah, Yah. Ayo!" ajak Nina kepada suaminya."Pergi dulu, Naura," pamit Nina kepada sang calon menantu. Hardi pun melempar senyum sebentar ke arah Naura sebelum berbalik badan, kemudian melenggang menjauh bersama sang is