"Ini, Non." Parmin menyerahkan sesuatu kepada Natasya.Natasya meraih bungkusan dari tangan Parmin dengan segera. "Pak Parmin, please ... jangan bilang siapa-siapa kalau aku minta beliin testpack ini ya!" pintanya kepada supir keluarganya itu."Baik, Non," sahut Parmin sembari menganggukkan kepala meskipun ia tidak mengerti mengapa Tasya mesti menutupi hal itu. Pria paruh baya tersebut pun pamit, lantas berbalik dan melenggang menjauh."Kamu beli apa, Sya?"Deg! Natasya terkejut tatkala sang ibu tiba-tiba bertanya dari arah belakangnya."Ah, ini obat magh, Bu," sahut Natasya berbohong. 'Ya Allah, maafin aku udah bohong sama Ibu!'"Ooh." Nay hanya ber'oh'ria. Kemudian wanita berusia 40 tahunan itu pun melanjutkan bacaan yang ada di tangannya.Dengan segera Natasya menuju ke arah kamar, kemudian lanjut ke kamar mandi untuk mengecek urine-nya.Dengan degup jantung yang bertalu kencang, Natasya memeriksa benda mirip termometer di tangannya yang gemetar."Ya Allah ...," lirihnya kemudian
"Assalamu alaikum."Tiba-tiba terdengar suara berat mengucap salam dan menginterupsi omongan Natasya. Ya, itu Steven Arnold yang seketika tertegun ketika melihat sang putri dan Ardian berpegangan tangan."Wa alaikumus sallam warahmatullah. Dad ...," sahut Ardian sembari bangkit dan langsung menuju ke arah lelaki yang masih berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Sang menantu mengulurkan tangan hendak bersalaman.Akan tetapi, telapak tangan Ardian seketika tergantung di udara ketika dengan refleks Steven menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. Sorot mata pria paruh baya itu begitu tajam melihat ke arah pria yang ia sangka telah mengkhianati sang putri kesayangan.Ardian yang menyadari penolakan ayah mertuanya, kontan mundur selangkah dengan tatapan pelas dan hati yang terasa tertusuk. Ia sadar, Steven tentu tidak terima dengan suatu pengkhianatan. Apalagi itu terjadi pada putri kandungnya sendiri."Ada apa lagi kamu kemari?" tanya Steven dengan nada bicara yang sangat dingin, "dan
Semua orang terdiam dan terperanjat mendengar ucapan Naura."Kamu jangan bohong! Dasar perempuan penggoda!!!" Tiba-tiba Natasya bangkit dari duduknya dan menunjuk ke arah Naura. Sorot matanya nyalang penuh dendam."Tasya, tenang ...." Nay ikut bangkit dan berusaha menenangkan putrinya."Ardian nggak pernah nyentuh kamu. Jadi, nggak mungkin kamu hamil! Pendusta kamu!!!" cetus Natasya dengan berapi-api. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang Naura sampaikan barusan–Oh, tidak! Natasya berharap kalau yang dikatakan Naura itu adalah suatu kebohongan. Ia benar-benar berharap."Aku ada bukti!" Naura tampak menantang sorot mata Natasya. Ia seakan tidak mau kalah dengan istri sah dari Ardian tersebut dan bangkit berdiri.Degup jantung Natasya berkejaran dengan deru napasnya yang kini membuat dadanya naik-turun. Emosinya sungguh-sungguh sudah mencapai ke ubun-ubun sekarang. Ia sudah capek dengan kemungkinan kalau ia kembali dibohongi. Apakah itu oleh Ardian, ataukah Naura.Ardian mengusa
"Ayah nggak ngerti, Ar. Kamu bilang, kamu nggak ingat apa pun malam itu. Tapi, sekarang Naura bisa hamil. Bagaimana bisa?" tanya Hardi kepada putranya.Ya, saat ini Ardian sedang berada di rumah orang tuanya. Ia ingin mendapatkan dukungan moril dari orang terdekat yang pasti selalu memberikan kasih sayang tulus kepadanya itu.Nina hanya diam menyimak. Di dalam hatinya juga mempercayai Ardian yang memang dikenal sejak kecil sebagai anak yang patuh dan shalih. Akan tetapi, dengan berita kehamilan Naura, dirinya juga tidak bisa membela Ardian."Aku nggak tahu, Yah ...." Ardian memegang kepalanya yang terasa mau pecah. Setitik air menetes dari pelupuk matanya. Ia tidak bisa memungkiri kerapuhan hatinya saat ini.Hardi menghela napas berat dan panjang lalu mengembuskannya perlahan. Pria setengah baya itu mengusap punggung putra kesayangannya mencoba menyalurkan kekuatan. "Kamu bilang apa ke orang tua Naura, Ar?" tanya Nina akhirnya.Ardian mengusap matanya yang basah dan menghela napas seb
"Kamu tolong hibur Tasya ya, Fik. Kasihan, dari kemarin dia nangis terus ...," pinta Nay tatkala Afika sampai di rumahnya."Oke, in syaa Allah, Tan. Aku ... boleh masuk ke dalam?" tanya Afika sembari menunjuk ke arah pintu kamar Natasya."Iya, masuk aja," ujar Naysilla sambil berisyarat kepada Fika untuk segera masuk ke dalam kamar itu.Tok! Tok! Tok!"Syaaa ... gue ke dalem yaaa!" teriak Afika meminta izin untuk masuk ke dalam kamar Natasya. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu menekan handle pintu dan benda itu pun terbuka.Terlihat Natasya merebah di tempat tidur dengan mata yang sembab. Afika lalu menutup pintu kamar tersebut dengan perlahan. Lalu ia berjalan mendekat ke arah sang sahabat. Natasya tampak kembali menitikkan air mata ketika melihat sahabat karibnya datang.Afika mengambil duduk di pinggir tempat tidur. Kemudian ia membelai rambut panjang Natasya yang sedikit berantakan di wajahnya sebab terkena air mata."Rasanya pengen mati aja gue, Fik ....""Huush! Ngomong jangan
"Lo mau, relain gitu aja mereka menikah, sementara pernikahan lo sendiri hancur berantakan? Lo rela mereka bahagia dengan keluarga yang lengkap, tapi lo terpuruk sendirian? Dan lo rela anak dari perempuan itu punya ayah, sementara anak lo sendiri nggak punya??" lanjut Afika berceramah.Natasya terdiam dan tertegun dengan apa yang sang sahabat sampaikan. Apalagi ketika Afika menyenggol tentang anak di dalam kandungannya. Itu sangat menyentil hatinya. Ya, itu semua benar. Jika memang ia jadi bercerai dengan Ardian, maka semua yang dikatakan Afika itu bisa jadi benar. Tiba-tiba setitik air kembali menetes dari pelupuk mata Natasya. "Terus ... memangnya gue mesti gimana, Fiiik?" tanyanya sembari menatap sedih ke arah Afika. Bulir bening membasahi kedua pipinya lagi.Sungguh Afika juga sangat sedih melihat Natasya seperti ini. Ia juga tidak rela jika sang sahabat jatuh terpuruk. Ia teringat betapa dulu Natasya mempunyai perasaan yang dalam kepada Hendi. Namun, ketika akhirnya perasaan Tasy
"Baik, aku telepon Naura dulu," ujar Ardian sembari bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan ke arah kamar hendak mengambil ponsel dan menghubungi Naura.Dari ruang tengah itu, Natasya melihat Ardian yang tengah bercakap di saluran teleponnya. Dengan gerakan perlahan dia bangkit kemudian berjalan menuju ke arah pintu unit. Tasya membuka pintu itu sedikit, sehingga tidak lagi tertutup rapat.Setelah itu, Natasya kembali ke tempat duduknya dan meraih cangkir teh yang disajikan Ardian tadi untuknya. Wanita cantik itu menyesap cairan hangat beraroma daun khas tersebut beberapa tegukan."Naura on the way kemari." Ardian melangkah mendekati Natasya dan duduk di tempatnya semula.Natasya hanya melempar sedikit senyuman yang tipis ke arah sang suami. "Oke, kita tunggu aja," sahutnya singkat.Hening ....Entah mengapa suasana terasa begitu canggung di antara dua insan yang sebenarnya masih menyimpan perasaan mereka masing-masing itu. Ya, permasalahan mereka bisa dikatakan cukup pelik hingga mem
Dengan perlahan Ardian menurunkan Natasya dari atas pangkuannya. Wajah pria itu terasa memanas karena malu. Ia sedikit kesal, sebab sempat lupa daratan seperti tadi. Sampai-sampai ia juga terlupa, kalau Naura sedang dalam perjalanan menuju ke tempatnya. "Wa–wa alaikumus sallam," jawabnya gugup.Sementara itu, Natasya hanya diam. Bibirnya sedikit berkedut. 'Sebenarnya aku malu. Tapi, aku sengaja memancing Ardian. Dan pas banget waktunya. Hahaha ... lihat wajah perempuan penggoda itu. Rasakan!' Hati Natasya tertawa keras melihat kekesalan di wajah Naura karena melihat adegan yang cukup intim antara dirinya dan sang suami."Sepertinya waktu kedatanganku kurang tepat ya? Soalnya, jadi mengganggu kenyamanan kalian," cetus Naura lagi sembari mengambil duduk di sebuah sofa single di sana.Ardian lalu bangkit dari duduknya. "Maaf. Abang ambil minuman dulu. Kamu mau minum apa, Dek?" tanya pria tersebut mengalihkan pembicaraan.Sementara itu, Natasya merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan