Maaf, ya, Kawan2 ... badan masih belum fit. jadinya upnya semampunya aja. moga masih setia buat terus nungguin Ardian dan Natasya yaaa!
Ardian sendiri tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Naura dengan Hendra. Sudah dua bulanan ini belum ada kedengaran informasi kelanjutannya, apakah mereka akan melanjutkan rencana pernikahan ataupun tidak.Sepasang suami-istri itu kemudian saling mengobrol bahasan lain sampai tidak terasa hampir pukul sebelas siang. Perut Ardian terasa sangat kenyang, karena sang istri membawakan juga beberapa camilan lain selain kwetiau untuknya. Ia pikir siang ini tidak perlu pergi ke luar kantor lagi untuk mencari makan seperti biasanya. Pagi tadi Ardian sarapan di sebuah kafe sembari melakukan pertemuan bersama seorang klien. Pekerjaan lainnya di perusahaan belum sempat ia kerjakan karena meladeni Arya juga sang istri. Untung saja deadline pekerjaannya masih lama."Kamu hari ini pulang jam berapa?" tanya Natasya kepada sang suami."Belum tahu. Kerjaan masih numpuk sih, tapi aku usahakan pulang nggak terlalu larutlah," sahut Ardian menerangkan. Beberapa hari ini memang pria tampan itu sedang
*Ardian POV"Pak Ardian, pabrik yang berlokasi di Kalimantan Barat sudah beres, dan sudah mulai beroperasi," lapor Pak Sanjaya. Beliau adalah teman Daddy yang saat ini mengurus cabang perusahaan di Kalimantan."Oke, Pak. Terima kasih Bapak sudah datang kemari. Laporan ini akan saya pelajari terlebih dahulu sebelum saya benar-benar terjun ke sana. Saya senang bekerjasama dengan Bapak selama ini. Untuk ke depan, saya masih sangat membutuhkan bimbingan dari Bapak," ujarku."Ah, Pak Ardian tentu lebih memahami. Laporan ini dan hasil pertemuan kita nanti juga akan saya sampaikan ke Tuan Steven Arnold. Saya salut kepada Anda, Pak Ardian. Tidak salah Tuan Steven mempercayakan Anda untuk memimpin cabang perusahaannya di Kalimantan."Aku tersenyum simpul mendengar pujian dari Pak Sanjaya. "Terima kasih atas bantuan Bapak sebelum saya ke sana. In syaa Allah saya akan berusaha yang terbaik untuk memajukan perusahaan."Pak Sanjaya kemudian bangkit dari duduknya. "Kalau begitu saya pamit dulu, Pak
"Ck! Kok, lama banget, sih? Bilangnya tadi mau pulang!" kesal Natasya. Ia kembali melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sang suami yang ditunggu-tunggu masih saja belum sampai.Sekali lagi Natasya menelepon Ardian, tetapi nihil, panggilannya sama sekali tidak diangkat."Baiknya aku susul aja," gumam Natasya pada diri sendiri.Dengan terburu-buru wanita cantik itu pun berkemas diri. Tadinya ia marah karena Ardian tidak langsung pulang, malah ke rumah mantan mertuanya. Akan tetapi, sekarang perasaan Natasya jadi berubah khawatir, ia takut terjadi apa-apa di jalan terhadap sang suami. Hatinya benar-benar tidak tenang.Dengan kecepatan sedang Natasya mengendarai mobilnya. Untung saja lalu lintas tidak begitu padat, sehingga hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit, ia pun sampai di halaman rumah orang tua Maira."Lah, Itu mama dan papanya Maira?" ucap Natasya ketika melihat Sufia menuruni sebuah mobil dan memapah suaminya yang memegang tongkat. Dengan
Tiba-tiba Natasya duduk dan menghadap ke arah sang suami dengan wajah yang bersimbah air mata. Matanya bersorot nanar menatap dengan begitu tajam. "Jangan coba-coba kamu sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" ujarnya dengan penuh penekanan.Ardian menekan gerahamnya sembari menahan emosi yang ada pada dirinya sendiri. Ia sudah habis-habisan disalahkan di rumah Maira sana. Di sini pun, Natasya kembali tidak menekannya. Pria itu merasa benar-benar bingung. Ia harus bicara apa sementara ia juga mewajarkan kalau Natasya marah besar dengan apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri."Selama ini aku kira aku yang salah. Aku berusaha berubah dan bersikap lebih baik pada kamu, Ar.... Setelah aku serahkan diri ini sepenuhnya, justru kamu khianatin aku. Bisa ya ada manusia setega dan sejahat kayak kamu?!" Natasya memicingkan mata menatap ke arah suaminya."Sya, sungguh! Aku yakin aku nggak ngapa-ngapain sama Naura. Kayaknya aku dijebak." Ardian berusaha menjelaskan."Jebakan yang ena
Ketika Natasya sampai di rumah keluarga besarnya di Desa Binar, ayah dan ibunya dibuat sangat heran dan khawatir."Ya Allah, Nak. Kamu kenapa sampe pulang jam segini? Sendirian lagi. Bahaya tahu?!" omel Naysilla kepada sang putri, "apa nggak bisa nunggu besok pagi?" lanjutnya.Natasya menghempaskan bokong ke sofa di ruang tengah rumah mereka dengan dada yang kembali terasa sesak. Ia mengencangkan geraham demi menahan gejolak yang rasa-rasanya sudah akan meledak."Ada apa kamu, Tasya? Ardian mana?" tanya sang ayah tidak sabar."Iya, kenapa kok tengah malam buta begini kamu malah pulang sendirian?" ulang Nay bertanya."Aku mau cerai! Aku mau ceraaai, Buuuu!" Wanita cantik itu menghambur ke pelukan ibunya. Akhirnya pecah juga tangisan Natasya. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan emosi yang menggelegak di dalam hatinya kini. Aliran bening pun bercucuran dari sepasang matanya."Huuuft ...." Steven menghela napas panjang sembari mendaratkan bokongnya di sofa di seberang putri kesayangannya
Steven terkejut mendengar suara orang lain yang mengangkat teleponnya. Ternyata itu dari pihak kepolisian.Melihat ekspresi wajah sang suami yang tiba-tiba terdiam, sontak Nay mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Ia berharap semua baik-baik saja."Bagaimana keadaan Ardian, Pak? Saya mertuanya," ungkap Steven Arnold."Oh, Bapak ayah mertuanya. Kami dari tadi mencoba menghubungi kontak yang kami kira itu adalah istrinya. Tapi, sejak dari tadi tidak juga diangkat," ujar polisi tersebut.Steven diam menyimak. Begitu juga Naysilla, ia menduga memang benar, terjadi sesuatu hal terhadap menantu laki-lakinya. Wanita itu pun menahan diri sampai sang suami selesai bicara dengan orang di seberang sana."Jadi begini, Pak. Menurut saksi mata, saudara Ardian mengendarai mobil cukup kencang. Beliau menghindari bus yang lewat dari arah depannya dengan membanting stir ke kiri. Untung saja itu persawahan jadi tidak ada korban lainnya. Tapi, Saudara Ardian menabrak sebatang pohon. Kaca depan mobilnya
"Gue ... gue nggak bisa terima ini, Fik," ucap Natasya kepada sang sahabat. Wanita cantik itu terisak-isak di saluran telepon.Sekarang Afika sedang berada di Surabaya. Jadi, Tasya tidak bisa segera mendatangi sahabatnya untuk bicara secara langsung. Hanya lewat telepon, ia bisa mencurahkan perasaannya saat ini."Laki lo sendiri bilang apa, Sya?" tanya Afika merasa prihatin dengan kejadian yang dialami sahabat kentalnya itu."Dia bilang, dia nggak inget udah ngelakuin itu. Dia bilang, dia dijebak. Dia nggak mau nyerein gue," imbuh Natasya terdengar sangat sedih, "dengan mata kepala gue sendiri! Gue liat mereka tel@njang berdua, satu selimut di ranjang itu, Fik! Lo bayangin! Siapa yang bisa percaya dengan ucapannya coba??""Hmm ...." Terdengar Afika hanya menggumam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dulu dirinya yang selalu menasehati Natasya untuk bersabar dengan pernikahan mereka. Akan tetapi, setelah mendengar apa yang Tasya sampaikan, jelas saja dia tidak bakal berada di pihak seora
"Ini, Non." Parmin menyerahkan sesuatu kepada Natasya.Natasya meraih bungkusan dari tangan Parmin dengan segera. "Pak Parmin, please ... jangan bilang siapa-siapa kalau aku minta beliin testpack ini ya!" pintanya kepada supir keluarganya itu."Baik, Non," sahut Parmin sembari menganggukkan kepala meskipun ia tidak mengerti mengapa Tasya mesti menutupi hal itu. Pria paruh baya tersebut pun pamit, lantas berbalik dan melenggang menjauh."Kamu beli apa, Sya?"Deg! Natasya terkejut tatkala sang ibu tiba-tiba bertanya dari arah belakangnya."Ah, ini obat magh, Bu," sahut Natasya berbohong. 'Ya Allah, maafin aku udah bohong sama Ibu!'"Ooh." Nay hanya ber'oh'ria. Kemudian wanita berusia 40 tahunan itu pun melanjutkan bacaan yang ada di tangannya.Dengan segera Natasya menuju ke arah kamar, kemudian lanjut ke kamar mandi untuk mengecek urine-nya.Dengan degup jantung yang bertalu kencang, Natasya memeriksa benda mirip termometer di tangannya yang gemetar."Ya Allah ...," lirihnya kemudian
"Apa maksud omongan kamu tadi, Ya?" tanya Ardian dengan melempar tatapan setajam peluru, "kalian berduaan seperti ini di dalam kamar. Dan Naura, kamu membuka dadamu di hadapan, Arya. Apa pantas?" Lelaki itu menoleh ke arah sang istri."Ba–Bang, akuu ... aku bisa jelasin semuanya." Naura tergagap di tempatnya."Bang, aku dan Naura mau jelasin sesuatu," sela Arya. Ia lalu mencoba mendekati sang kakak.Namun, Ardian segera menjauh, ia mencoba menenangkan diri dengan menjaga jarak. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa single yang ada di kamar tersebut. "Oke, jelaskan!" tegasnya.Arya dan Naura saling mencuri pandang satu sama lain. Mereka sungguh merasa salah tingkah di hadapan Ardian saat ini.Karena kedua orang itu masih saja tidak memulai omongan, kembali Ardian menyeru, "Ayo! Katanya mau menjelaskan ke Abang? Ada apa dengan kalian? Kedustaan dan tipuan apa yang sudah dilakukan kepada Abang?" sindirnya. Ia tadi sempat mencerna apa yang Arya bicarakan.Arya dan Naura terlihat ge
"Bang, Abang udah di mana?" tanya Arya kepada Ardian."Abang udah nyampe di Banten ini, Ya. Ini lagi dalam perjalanan ke apartemen.""Oh, nggak jadi ke rumah sakit langsung?" "Abang mesti antar Tasya dan Syirisy dulu ke apartemen, Ya. Syirisy tiba-tiba demam, panas badannya. Gimana kabar Papa Lukman? Nanti abis antar mereka, Abang langsung ke rumah sakit!" "Bang ...." Arya menggantung omongannya."Iya?" "Papa Naura ... udah meninggal dunia," lanjut Arya.Deg!Kontan saja Ardian tertegun dan kaku. Lidahnya terasa kelu seketika karena mendengar berita mengejutkan itu."Kenapa, Yah?" tanya Natasya ketika melihat sang suami yang tiba-tiba terdiam begitu saja."Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun," ucap Ardian dengan lirih.Natasya langsung mengernyitkan dahinya. "Papanya Naura meninggal?" tanyanya memastikan.Ardian refleks menganggukkan kepalanya. Natasya beringsut mendekati sang suami. Ia pun meraih telapak tangan Ardian yang bebas dan menggenggamnya erat. Wanita itu sangat menger
Natasya lalu bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak menatap dengan sorot mata yang nanar ke arah sang suami. "Kamu dengar apa yang aku katakan, Ar!" serunya tegas. Kelopak mata Tasya terlihat sembab karena menangis semalaman, tetapi sudah tak ada air mata lagi dari sana saat ini.Wanita itu sudah tidak lagi memanggil Ardian dengan sebutan 'ayah' karena sakit hati yang mendera sejak tadi malam."Iya, Ayah dengar. Tapi, kenapa malah kamu yang minta cerai begini, Bun?" Ardian ikut berdiri, kemudian mendekati sang istri hendak meraih tangannya.Natasya menghindar. "Naura sudah mau mundur, karena dia tahu pernikahan poligami ini nggak bakal berhasil. Aku juga berpendapat sama! So, memang harus ada yang mengalah.""Mengalah apa, Bun? Kita di pernikahan poligami ini baru sebentar, 'kan? Belum juga ada setahun," kilah Ardian memprotes apa yang Natasya sampaikan."Ooh, jadi kamu menikmati pernikahan poligami ini, heh?" cibir Natasya, "laki-laki di mana-mana kayak begini ya! Senang ngoleks
Ardian berteriak memanggil. Ia langsung bangkit dan kelabakan mengejar Natasya.Arya yang melihat hal itu pun segera mengejar kakak lelakinya.Sampai di lift, Ardian tak sempat masuk ke dalam karena Natasya lekas menutup pintunya."Bang, sudahlah. Biar aja dulu Tasya pulang!" bujuk Arya kepada sang kakak."Natasya mesti paham maksud Abang!" seru Ardian sambil terus menekan tombol lift agar segera terbuka.Tak lama kemudian pintu ruang kecil itu pun terbuka. Lelaki itu segera masuk dan Arya pun turut ke dalamnya.Arya melihat ke arah sang kakak dengan perasaan yang tidak menentu. Ingin sekali ia mendesak agar Ardian segera menceraikan Naura supaya tidak ada lagi penghalang baginya untuk mendekati kekasih hatinya itu.Sesampai di lantai bawah, lift berdenting, lantas terbuka lebar.Dengan cepat Ardian berlari hendak menuju ke parkiran mobil. Arya berjalan mengekorinya.Akan tetapi, sekali lagi, Ardian terlambat. Natasya sudah membawa kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang area par
"Maksud kamu apa, Dek? Kok, tiba-tiba minta cerai?" Ardian menautkan kedua alisnya dan memicingkan mata menatap heran ke arah sang istri muda.Natasya terkesiap. Ia melebarkan bola mata sebab begitu kaget dengan apa yang baru saja dipinta oleh Naura kepada sang suami. 'Beneran ini? Ada apa? Masak cuma gara-gara Ardian sakit dan telat nyamperin, dia langsung minta cerai??' tanyanya dalam hati.Sementara Arya yang sudah mengetahui rencana itu memilih diam dan menunduk. Ia menyerahkan semua keputusan kepada Naura. Ia bersyukur akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersatu dengan sang kekasih hati. Apalagi setelah tahu Arga adalah darah dagingnya sendiri, ia merasa sangat bahagia."A–ku rasa nggak bisa lagi menjalankan pernikahan poligami ini, Bang. Aku nggak sanggup. Lebih baik aku mundur," imbuh Naura tanpa mau melihat wajah Ardian.Ardian menoleh ke arah sang mertua yang seakan membuang muka juga di pembaringannya. Lalu bergiliran ia menoleh ke arah Natasya dan juga Arya. Lelaki itu sea
"Ayo, Bun!" seru Ardian kepada Natasya yang ada di belakangnya.Natasya menghela napas lelah. Ia melajukan langkah menyusul sang suami yang sudah berada di lift hotel.Ya, Ardian terbangun pukul setengah 12 malam. Ia baru teringat kalau malam ini dirinya mesti bersama Naura. Ia khawatir kalau Naura kecewa kalau ia tidak datang. Karena jatah Naura berada di kota itu tinggal dua malam saja. Malam ini, dan malam besok. Tentu saja lelaki itu merasa bersalah jika sampai tidak menunaikan kewajibannya. Padahal sudah jauh-jauh Naura berangkat ke kota Pontianak.Sementara Natasya, tadinya ia telah menjelaskan kepada sang suami kalau ia sudah menelepon Naura. Akan tetapi, Ardian yang masih sakit itu tetap berkeras mau mendatangi istri mudanya karena rasa tanggungjawab. Tadinya Natasya marah karena Ardian keras kepala. Namun, akhirnya ia kasihan melihat sang suami yang lemas karena sudah sakit, mesti ditambah pula berdebat dengannya. Akhirnya Natasya mengizinkan sang suami pergi dengan syarat
"Ma–Mama ...?" lirih Naura masih tampak terperanjat dengan kedatangan sang ibu. Tiba-tiba Arga menangis kencang. Bayi lelaki itu terkejut dengan suara keras dari Sufia. "Ya Allah, Nauraaa! Aryaaa! Kenapa kalian melakukan perbuatan setan ini ...?!" pekik Sufia lagi. Arya tampak bingung sekaligus kelabakan karena di depan ada Sufia yang marah-marah, dan di sebelahnya Arga yang terus menangis kencang. Sementara dirinya masih dalam keadaan naked di balik selimut bersama Naura. "Mama Naura, i–ini nggak seperti yang Mama Naura pikirkan," ujar Arya gugup. Ia meraih celananya yang terserak di sana, dan dengan terburu-buru ia berusaha mengenakannya lagi. "Nauraaa ... Mama nggak nyangka bisa kejadian hal seperti ini lagiii? Otak kalian ke mana?!!" bentak Sufia dengan linangan air mata serta tatapan yang nanar. Arya yang sudah mengenakan kembali celananya, dengan cepat mendatangi Arga, lantas meraih bayi kecil itu. "Cup cup cup, diam, Sayang ...." Naura tertunduk dalam sembari terus
Akan tetapi, dua detik kemudian ponselnya berdering. Itu nomor Ardian lagi. Namun, itu sebuah panggilan video, bukan suara."Tuuuh, lo liat! Ardian tidur dan dia memang lagi sakit ... biar lo percaya ...." Suara Natasya terdengar lirih dan geram sambil men-zoom gambar di kamera ponsel itu mengarah ke pembaringan Ardian. Lelaki itu terlihat meringkuk di dalam selimut. Sepertinya Tasya mengambil video dari luar kamarnya. Memang ia sengaja mengambil gambar dari jarak jauh agar jangan sampai Ardian terganggu karena mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Naura.Naura menekan kedua rahangnya dengan keras. "Sudah, 'kan? Lo udah percaya sama gue sekarang? Sorry, ini bikin lo kecewa. Bye!" Kembali Natasya memutuskan sambungan telepon mereka."Aaaaaarrrgh ...!!!" Naura melempar ponselnya ke tempat tidur.Dengan gerakan cepat wanita itu mengambil kimono lingerie-nya, lantas mengenakannya. Kemudian ia melangkah lebar keluar kamar dan menggedor kamar Arga.Brak! Brak! Brak!Tidak butuh wak
"Dek, Arya cuma bilang dia minta masakin sama kamu," tukas Ardian menjelaskan sembari menatap lekat ke arah sang istri muda. Ia juga heran dengan Naura yang seakan tengah melantur dan tidak fokus terhadap pertanyaan Arya.Dahi Naura terlihat mengernyit kencang. Ia berusaha mencerna maksud suaminya."Yaaa, kalau nggak mau masakin aku juga nggak apa-apa. Nggak perlu ngegas juga," ucap Arya cuek. Ia lanjut mengunyah makanannya."Kamu kenapa, Nak? Memangnya kamu pikir Arya bicara apa tadi?" tanya Sufia heran.Bola mata Naura berlari ke sana kemari. Ia juga bingung mengapa pendengaran dan pikirannya jadi ke mana-mana. Sungguh, dia tadi menyangka kalau Arya membicarakan masa lalu mereka berdua di hadapan semua orang dan tentu saja dia mau membantahnya."Hmm, aku udah kenyang. Makasih banyak Tasya dan Bik Jum udah masak makanan yang enak banget siang ini. Tadi aku benar-benar lapar karena dari tadi malam belum sempat menyentuh makanan apa pun," tutur Ardian mengalihkan bahasan. Lelaki itu m