Arkan melipat kedua tangannya di dada, sedangkan Naura masih tertunduk lesu menatap ponsel Arkan yang tergeletak di atas kasurnya. Arkan menghela napasnya. "Kenapa kamu melempar ponselku? Kamu sudah tau password-nya lalu apa lagi yang kamu cari!" kesal Arkan melihat ponselnya rusak karena ulah Naura. Baru beberapa menit yang lalu mereka berbaikan kini harus bertengkar hanya karena masalah ponsel. "Maaf, aku enggak sengaja. Aku cuma penasaran sama nomor yang kamu save dengan nama mantan majikan." Suara Arkan tercekat mendengar penuturan Naura. "Mantan majikan ... itu nomor Mamah." "Hah, Mamah?" Arkan meremas rambutnya frustasi, dia benar-benar tak habis pikir melihat istrinya yang begitu cemburuan dan masih tak percaya dengannya. Perlahan Arkan mendekati Naura— memegang kedua bahunya. "Sebenarnya apa yang kamu cari. Apa kamu mencari nomor Liona?" Naura mengangguk sembari menundukkan kepalanya karena malu. "Dengar Sayang, aku sama sekali enggak menyimpan nomor Liona. Jadi kamu mau
Disinilah Naura berada, dia harus merasakan panas serta sesaknya ibu kota setelah beberapa hari tinggal di Bali.Tangan Arkan melingkar di perut Naura menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Naura. "Apa kamu menyesal ikut aku pulang ke Jakarta?" Naura menggelengkan kepalanya. "Aku hanya cuma kasian sama Mamah.""Mamah?" Arkan menjeda ucapan kemudian memutar tubuh Naura agar berhadapan lurus dengannya. "Memangnya Mamah kenapa?"Naura menghela napasnya. "Mungkin Mas sudah tau apa yang terjadi dengan pernikahan Mamah dan Papah. Meski Mamah terlihat biasa saja tapi senyumnya itu membawa luka.""Mamah cerita sama kamu?" Naura lagi-lagi mengangguk. "Sebenarnya kejadian itu sudah lama saat aku masih SMA tapi sampai saat ini hubungan merek seperti ada jarak meski pun keduanya terlihat mesra ketika berada di dekat kita." "Hm ... aku paham kenapa Mamah bisa bersikap seperti itu. Mungkin menurut pria masalahnya sudah selesai dengan kata maaf. Sedangkan kita yang menjadi korban, luka itu engga
Semua mata tertuju pada Naura yang hanya cuek menikmati makanannya tak mempedulikan orang-orang yang menatap ke arahnya. "Suuuttt ... Naura," bisik Lala yang berada di meja yang sama. Naura tak bergeming membiarkan sahabatnya itu bicara sendiri. "Naura," panggilnya lagi. "Apa?" tanya Naura mengalihkan perhatian semua orang yang sedang makan termasuk Gebi dan rekannya. Lala tertunduk lesu, dia yakin semua seniornya akan mem-bully-nya di kantor. "Tamatlah riwayatku," desisnya. Merasa aneh dengan sikap Lala, Naura pun mengetik sesuatu di ponselnya. [Kita bicara di ponsel saja.] Melihat notif pesan dari Naura, Lala pun seger membalas pesan dari sahabatnya. [Hati-hati dengan Gebi dan ketiga temannya. Mereka bakalan nge-bully kita karena mereka enggaksuka anak baru dekat dengan staf yang sudah lama kerja.] [Apa kamu takut, biasanya kamu yang paling berani menghadapi orang-orang seperti mereka?!] Lala menoleh ke sisi kirinya memastikan jika Gebi tak melihat ke arah mereka. [Ini d
Pagi hari, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Naura merapihkan peralatan bekas mereka makan sedangkan Arkan sibuk membersihkan ranjang bekas mereka tidur. "Sayang, cepat ganti bajumu kita harus cepat ke kantor!" teriak Arkan dari dalam kamar. "Mas, kan aku udah bilang aku berangkat sendiri," ucapnya sambil menghampiri suaminya.Arkan berbalik menatap istrinya. "Biar orang-orang yang menindasmu itu tahu siapa kamu." Naura menggelengkan kepalanya. "Enggak. Mas kan udah janji enggak akan ikut campur kerjaan aku. Kalau mereka tahu aku istri Mas pasti mereka sungkan ngasih kerjaan sama aku. Lagi pula ini peluang untukku biar nanti kalau lulus, aku bisa kerja dengan baik." Arkan hanya berdecak lalu mengambil tasnya. "Kalau begitu aku berangkat kerja duluan. Jangan lupa jemput Mamah, oke." Naura memeluk Arkan dulu lalu mengadahkan wajahnya seolah menanti sang suami mendaratkan kecupan di bibirnya. "Kenapa?" tanya Arkan yang membuat Naura geram."Malah tanya kenapa. Mas, cium. Ih
Naura menggengam ponselnya sembari tersenyum membalas pesan dari suaminya itu. Hal itu rupanya tak luput dari pandangan Gebi yang sedari tadi memperhatikan Naura dari mejanya. "Ehm, Naura. Ke sini!" "Iya, Bu." [Naura : Makasih Sayang udah bantu jemput Mamah.] Balas Naura saat dia membaca pesan Arkan yang mengatakan jika dirinya akan menjemput Sinta karena meetingnya berjalan dengan cepat. Naura menyimpan ponselnya di atas meja, namun saat dia berjalan ke meja Gebi, wanita itu telah lebih dulu sampai di mejanya. "Apa yang lagi kamu kerjakan kenapa lama sekali di suruh datang ke mejaku!" Belum sempat Naura menjawab ucapan Gebi sudah duduk di kursinya melihat layar komputernya. "Mana file yang aku minta?" "Ada di sana Bu, sudah selesai saya kerjakan dan siap di print." Gebi memutar bola matanya lalukembali fokus dengan komputer Naura. "Harusnya wallpaper komputer itu foto keluarga, pacar atau orang yang kamu sayang kenapa malah artis Korea, dasar penyuka plastik," cibirnya. "I-iy
Tuk ... tuk ... tuk. Suara lampu mobil yang terus berkedip sementara sang pemilik masih berada di dalam dan enggak keluar dari mobilnya. Pelupuk mata Naura sudah di penuhi buliran air mata saat dia menatap Toni yang sedang duduk di depan toko bangunan miliknya. "Papah," gumam Naura. Ya, sebelumnya Toni sudah mengirimkan pesan ke Naura jika dia akan menunggunya sampai Naura datang untuk menemuinya dan benar saja sudah hampir dua jam Naura berada di dalam mobil Toni masih juga belum beranjak dari kursinya. "Ayolah Naura, singkirkan keegoisanmu." Naura menghela napasnya lalu keluar dari dalam mobil. Dia menyunggingkan senyum saat Toni berdiri menyambutnya. "Pah." "Naura, kamu datang Nak." Naura memeluk tubuh Toni dengan erat dan berkata, "Maaf bikin Papah nunggu lama di sini." "Papah juga baru datang kok, duduk Nak." Bohong, itu yang di lakukan Toni agar putrinya tidak khawatir kepadanya. Namun, dia sama sekali tidak sadar jika sedari tadi Naura memperhatikannya. "Papah udah ma
Hembusan angin menerpa kulit mulus Naura yang polos tak tertutup sehelai benang pun. Merasakan dingin menusuk tubuhnya, Naura pun menarik selimutnya.Namun, dia mendapati wajah Arkan yang sedang menatapnya. "Pagi, Sayang."Sudut bibir Naura terangkat, dia pun mendekap tubuh Arkan— menenggelamkan kepalanya di dada suaminya itu."Hari ini kita mau kemana?"Kemana, kata yang cukup membuat Naura berpikir untuk pergi ke suatu tempat yang selama ini dia inginkan. "Mas, aku pengen bersepeda."Arkan mengerutkan dahinya. "Kamu yakin, memangnya mau keliling ke mana?""Di sekitar sini saja. Bukannya romantis kalau bisa bersepeda dengan orang yang kita sayang?"Arkan berpikir sejenak sebelum akhirnya dia menjawab, "Padahal aku sudah memesan tiket ke Singapura."Plak!Naura memukul pelan tangan Arkan. "Kenapa Mas enggak bilang dari tadi. Ya kita liburan aja ke Singapura.""Ya aku kan harus tanya dulu kamu mau enggak ke Singapura. Takutnya kamu sudah punya rencana di weekend ini.""Nyebelin, jelas
Hembusan angin menerpa wajah Naura yang sedang memandangi gedung bertingkat di balkon apartemennya. "Apa kamu baik-baik saja?"Naura menepis air mata yang hampir menetes lalu menoleh ke arah Arkan. Perlahan Naura mendekat dan memeluk Arkan dengan erat. "Aku harap Mas enggak ngecewain aku," tutur Naura."Ngecewain, maksud kamu?""Setelah 21 tahun hidup baru kali ini aku benar-benar merasa menyesal memiliki ibu seperti Mamahku. Meski dulu dia memang sering menyakitiku, tapi kali ini aku benar-benar kecewa.""Apa dia mengatakan sesuatu?"Naura mengangguk. "Dia datang ke sini hanya karena uang dan membuangku karena uang."Arkan memeluk tubuh Naura dengan erat. "Lupakan semua yang dia katakan, anggap saja semua itu hanya omong kosong."Naura mengangguk pelan, dekapan serta hangatnya pelukan Arkan cukup sedikit menghilangkan beban di pundaknya."Oh ya, aku sudah menyuruh Rendi untuk mengurus semua yang di butuhkan Papahmu. Jadi, kamu enggak usah khawatir.""Makasih, Mas. Tapi, kita jadi l