Naura menggengam ponselnya sembari tersenyum membalas pesan dari suaminya itu. Hal itu rupanya tak luput dari pandangan Gebi yang sedari tadi memperhatikan Naura dari mejanya. "Ehm, Naura. Ke sini!" "Iya, Bu." [Naura : Makasih Sayang udah bantu jemput Mamah.] Balas Naura saat dia membaca pesan Arkan yang mengatakan jika dirinya akan menjemput Sinta karena meetingnya berjalan dengan cepat. Naura menyimpan ponselnya di atas meja, namun saat dia berjalan ke meja Gebi, wanita itu telah lebih dulu sampai di mejanya. "Apa yang lagi kamu kerjakan kenapa lama sekali di suruh datang ke mejaku!" Belum sempat Naura menjawab ucapan Gebi sudah duduk di kursinya melihat layar komputernya. "Mana file yang aku minta?" "Ada di sana Bu, sudah selesai saya kerjakan dan siap di print." Gebi memutar bola matanya lalukembali fokus dengan komputer Naura. "Harusnya wallpaper komputer itu foto keluarga, pacar atau orang yang kamu sayang kenapa malah artis Korea, dasar penyuka plastik," cibirnya. "I-iy
Tuk ... tuk ... tuk. Suara lampu mobil yang terus berkedip sementara sang pemilik masih berada di dalam dan enggak keluar dari mobilnya. Pelupuk mata Naura sudah di penuhi buliran air mata saat dia menatap Toni yang sedang duduk di depan toko bangunan miliknya. "Papah," gumam Naura. Ya, sebelumnya Toni sudah mengirimkan pesan ke Naura jika dia akan menunggunya sampai Naura datang untuk menemuinya dan benar saja sudah hampir dua jam Naura berada di dalam mobil Toni masih juga belum beranjak dari kursinya. "Ayolah Naura, singkirkan keegoisanmu." Naura menghela napasnya lalu keluar dari dalam mobil. Dia menyunggingkan senyum saat Toni berdiri menyambutnya. "Pah." "Naura, kamu datang Nak." Naura memeluk tubuh Toni dengan erat dan berkata, "Maaf bikin Papah nunggu lama di sini." "Papah juga baru datang kok, duduk Nak." Bohong, itu yang di lakukan Toni agar putrinya tidak khawatir kepadanya. Namun, dia sama sekali tidak sadar jika sedari tadi Naura memperhatikannya. "Papah udah ma
Hembusan angin menerpa kulit mulus Naura yang polos tak tertutup sehelai benang pun. Merasakan dingin menusuk tubuhnya, Naura pun menarik selimutnya.Namun, dia mendapati wajah Arkan yang sedang menatapnya. "Pagi, Sayang."Sudut bibir Naura terangkat, dia pun mendekap tubuh Arkan— menenggelamkan kepalanya di dada suaminya itu."Hari ini kita mau kemana?"Kemana, kata yang cukup membuat Naura berpikir untuk pergi ke suatu tempat yang selama ini dia inginkan. "Mas, aku pengen bersepeda."Arkan mengerutkan dahinya. "Kamu yakin, memangnya mau keliling ke mana?""Di sekitar sini saja. Bukannya romantis kalau bisa bersepeda dengan orang yang kita sayang?"Arkan berpikir sejenak sebelum akhirnya dia menjawab, "Padahal aku sudah memesan tiket ke Singapura."Plak!Naura memukul pelan tangan Arkan. "Kenapa Mas enggak bilang dari tadi. Ya kita liburan aja ke Singapura.""Ya aku kan harus tanya dulu kamu mau enggak ke Singapura. Takutnya kamu sudah punya rencana di weekend ini.""Nyebelin, jelas
Hembusan angin menerpa wajah Naura yang sedang memandangi gedung bertingkat di balkon apartemennya. "Apa kamu baik-baik saja?"Naura menepis air mata yang hampir menetes lalu menoleh ke arah Arkan. Perlahan Naura mendekat dan memeluk Arkan dengan erat. "Aku harap Mas enggak ngecewain aku," tutur Naura."Ngecewain, maksud kamu?""Setelah 21 tahun hidup baru kali ini aku benar-benar merasa menyesal memiliki ibu seperti Mamahku. Meski dulu dia memang sering menyakitiku, tapi kali ini aku benar-benar kecewa.""Apa dia mengatakan sesuatu?"Naura mengangguk. "Dia datang ke sini hanya karena uang dan membuangku karena uang."Arkan memeluk tubuh Naura dengan erat. "Lupakan semua yang dia katakan, anggap saja semua itu hanya omong kosong."Naura mengangguk pelan, dekapan serta hangatnya pelukan Arkan cukup sedikit menghilangkan beban di pundaknya."Oh ya, aku sudah menyuruh Rendi untuk mengurus semua yang di butuhkan Papahmu. Jadi, kamu enggak usah khawatir.""Makasih, Mas. Tapi, kita jadi l
Meski terlihat biasa, namun apa yang di lakukan oleh Arkan cukup berkesan untuk Naura. Dia benar-benar penyelamat di saat orang lain berkomentar buruk terhadapnya. "Sebut username media sosialmu," ujar Arkan. Naura pun menunjukkan layar ponselnya tanpa menyebutkan. "Sejak kapan Mas punya media sosial?" "Sudah lama, tapi udah enggak di pakai." "Benarkah." Naura melihat layar ponselnya saat sebuah notofikasi masuk ke ponselnya. Matanya berbinar karena dia bisa meng-tag media sosial suaminya agar semua orang percaya Arkan cuma miliknya. "Ayo, waktunya kita bersenang-senang." Arkan menarik tangan Naura membawanya ke dalam mobil yang sudah dia sewa sebelumnya untuk berjalan-jalan selama di Singapura. Naura masuk ke dalammobil sementara Arkan memasukkan koper mereka ke dalam bagasi. Sebelum ke hotel, Naura meminta Arkan untuk pergi ke sebuah supermarket. Dia ingin seharian di dalam kamar dan menikmati waktu santainya bersama Arkan."Jangan banyak-banyak nanti enggak kemakan," tutur
Adelia menatap tubuhnya di depan cermin, ada rasa ragu saat teman yang dia temui menyuruhnya untuk bergegas mengganti pakaiannya karena atasan mereka ingin menemuinya. "Jangan terlalu cantik, sepertinya dia sudah terpikat olehmu," ucap Gina. "Siapa?" tanyanya bingung. "Pak Reza. Kalau kamu bisa mendapatkan hatinya kamu pasti akan mendapatkan yang kamu mau," bisik Gina berlalu meninggalkan Adelia yang masih mematung. "Mendapatkan segalanya. Aku harus mendapatkan hatinya, apa pun akan aku lakukan demi mendapatkan apa yang aku mau," desisnya. Adelia mengoleskan lipstrik di bibirnya, menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya untuk memikat atasannya. Setelah siap, dia pun berjalan keluar untuk pergi ke ruangan Reza. Tok ... tok. "Permisi." Perlahan Adelia membuka pintu ruangan Reza, tapi sayangnya sang pemilk sudah tidak ada di sana. "Argh, sial. Sia-sia usahaku," gerutunya. "Maaf dengan Ibu Adelia?" Mendengar suara seorang pria, Adelia pun menoleh ke sumber suara. "Iya, saya sendi
Cahaya matahari menerobos celah tirai yang langsung menyoroti mata Naura. Perlahan dia berbalik karena merasa terganggu dengan sinar matahari yang menyolok matanya."Pagi, Sayang. Mau olah raga?"Meski kesadarannya belum sepenuhnya, tapi Naura tahu apa yang di maksud oleh Arkan. "Mas, aku lelah. Semalam kita olah raga sampai jam dua," keluh Naura berbalik membelakangi Arkan.Bukannya berhenti, Arkan malah semakin gencar menyentuh area sensitifnya. "Kamu tidur saja, biar aku yang kerja," bisiknya.Naura pun pasrah saat Arkan membalikan tubuhnya hingga terlentang. Arkan terus mencumbu tubuhnya."Ah, Mas.""Tidurlah," bisiknya.Gimana Naura bisa tidur jika tubuh terangsang dengan sentuhan Arkan. Meski diam tak melakukan perlawanan tetap saja Naura mendesah karena merasakan sensasi yang selalu membuatnya melayang."Eugh, hangat Sayang," goda Arkan di telinga Naura.Seketika bulu kuduknya meremang, membuatnya membuka mata dan mengikuti gerakan suaminya itu. Tak ingin dirinya puas lebih d
Naura duduk di ruang tunggu sembari melihat ke sekeliling. "Kenapa Mas Arkan suruh aku tunggu di sini, harusnya kan istri ikut kalau suaminya lagi di periksa," gumamnya. "Apa Mas Arkan punya penyakit parah sampai enggak boleh aku tahu?"Pikiran jahat Naura terus berputar di otaknya, banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang terjadi hanya karena dia tak ikut saat suaminya di periksa.Dua puluh menit berlalu, Arkan menghampiri Naura yang sedang tertunduk fokus ke ponselnya. "Bengong aja. Ayo, pulang."Seketika Naura mendongak mendapati Arkan berdiri di depannya. "Udah selesai Mas, kata dokter apa. Mas enggak sakit parah kan?"Arkan berbalik lalu memegang tangan Naura dengan lembut. "Kata dokter aku sehat.""Sehat ... Syukurlah aku takut Mas kenapa-kenapa.""Memangnya aku kenapa?""Pakai nanya lagi, biasanya kalau suami istri itu pasti ikut ke ruang dokter biar tahu penyakit pasangannya. Lah ini aku malah disuruh diam di ruang tunggu," kesal Naura sembari mencebikkan bibirnya.Arkan m