"Dengar, Naura! Enggak ada salahnya kamu cuti kuliah dan mengejarnya tahun depan." "Benar! Kasihan kakakmu yang mau melanjutkan S2-nya di Amerika." Naura Anindya terdiam mendengar ucapan kedua orang tuanya. Sejak kecil, kakak perempuannya selalu menjadi prioritas orang tuanya, sedangkan dia selalu di-nomor-dua-kan. Padahal, kakaknya itu tidak pernah bekerja sejak lulus S1. Dia juga tak terlihat ingin mencari pengalaman kerja sama sekali. Lantas, haruskah Naura mengalah? "Maaf, Mah. Aku akan tetap kuliah," tolaknya memberanikan diri, "walau tanpa biaya dari kalian." Ucapan Naura itu sontak membuat ketiga orang di hadapannya terkejut. “Naura Anindya!” bentak sang ayah, “Berani kamu melawan?” “Jika kamu yakin bisa membiayai kuliahmu, sekalian saja kamu pergi dari rumah ini!” Naura mengepalkan tangan–menahan emosi. Namun, dia sungguh lelah. Tanpa kata, Naura memilih segera menaiki anak tangga—masuk ke dalam kamarnya. Dimasukkannya semua pakaian ke dalam koper dan bersiap perg
"Aku tak menyangka seorang Arkan Syahreza mulai tertarik ke gadis polos." Sebelum benar-benar pergi, Lala dan pasangannya memperhatikan Naura yang menghabiskan minuman dari Arkan. Pria dingin itu jarang mau berdekatan dengan gadis muda dan menawarkan minum secara sukarela. Namun, Naura adalah pengecualian. Lucunya lagi, Naura menghabiskannya dalam sekali teguk! Hal ini membuat Arkan tampak terkesan. "Kamu suka minum?" tanyanya. Entah mengapa, dia jadi ingin menuangkan minuman kembali ke gelas Naura. Naura hanya mengangguk sembari kembali meneguk minuman di depannya. Dia memang pernah meminum bir kalengan–sisa kakaknya. Tapi, tidak banyak. Hanya saja, apa perlu dia menjelaskannya pada Arkan? Toh, itu sama saja, kan? Terlebih, mereka baru kenal dan dia hanya menunggu Lala di sini. “Om, apakah om tahu ke mana temanku pergi?” tanya Naura mendadak. "Om …?" Alih-alih menjawab, Arkan justru tertawa mendengar ucapan Naura yang memanggilnya Om. "Berapa usiamu? Apa seusia dengan Lal
"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri. "Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku." Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan. "Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?" "Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan." "Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!" "Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai. Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura. "Ak-aku ...." Naura kehilangan kata-kata. Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri! Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan? ***** "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas." "Argh ...!" Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang ter
“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk."Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”Mendengar itu, Naura mengangguk.Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.Naura sontak tertunduk lesu. Dia a
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp