"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri.
"Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku."
Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan.
"Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?"
"Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan."
"Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!"
"Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai.
Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura.
"Ak-aku ...."
Naura kehilangan kata-kata.
Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri!
Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan?
*****
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas."
"Argh ...!"
Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang terasa sesak.
Dia pikir hidupnya akan baik-baik saja setelah keluar dari rumahnya. Namun, malah kemalangan yang menimpanya.
"Naura, kamu kenapa. Apa Arkan melakukan sesuatu sama kamu?"
Mendengar nama Arkan, tangisan Naura semakin menggila.
Ia merasakan sakit hati, sekaligus malu karena tubuhnya sudah disentuh pria itu.
Tidak hanya mengambil keperawanannya, Arkan meninggalkan banyak kissmark yang akan bertahan beberapa hari!
"Pr-pria tua itu menodaiku," ucap Naura dengan suara terisak.
Lala terdiam, syok.
Seandainya dia tidak mengikuti Rendy, temannya itu pasti masih utuh.
Sekarang, apa yang harus dia lakukan?
"Maafin aku, Naura,” ucap Lala pada akhirnya, “Aku enggak tau kalau jadinya seperti ini. Maafin aku.”
Naura tampak menangis. “Pria tua gila,” ucapnya sambil terisak.
Lala ikut menangis, sampai tersadar di satu titik.
“Tunggu ... pria tua? Siapa?" bingungnya, "apa dia memberimu uang?!"
Naura sontak mendelik tajam. Bagaimana bisa di saat seperti itu Lala malah membicarakan tentang uang?
"Apa kamu pikir aku pelacur? Setelah si tua Bangka itu menikmati tubuhku lalu aku meminta bayaran!" kesal Naura.
Lala melipat bibirnya, ia tak bisa berkutik karena memang itu pekerjaannya. Sayangnya, Naura tidak paham-paham, sih!
"Ehm ... harusnya kamu mau menerima uang itu, biar tubuhmu enggak sia-sia," ucap Lala ragu.
"Apa kamu seperti itu?" Naura yang kesal, akhirnya asal berbicara.
Sayangnya, bola mata Naura hampir terlepas mendengar ucapan Lala.
“Iya, aku seperti itu,” ucapnya, "Memangnya kenapa kalau pekerjaanku berjualan tubuh, yang penting menghasilkan uang kan?"
"Sejak kapan kamu melakukan pekerjaan itu?"
Lala berpikir sejenak sebelum akhirnya ia menjawab, "Sejak kita masih sekolah."
"Oh my God! Jadi, kamu sudah begitu-begitu sejak lama?" panik Naura.
Lala mengangguk. "Mau bagaimana lagi. Kamu tahu kan orang tuaku terlalu sibuk dengan keluarga masing-masing sampai lupa kalau mereka punya anak bersama?”
“Karena mimpiku ingin hidup nyaman, aku merelakan apa saja yang penting hidupku terjamin," tambah Lala lagi.
Mendengar itu, Naura jadi merasa tak enak.
Selama ini, temannya itu selalu bersedia mendengar curhatan, bahkan membantunya.
Naamun, Naura tak pernah tahu sama sekali kesulitannya.
Segera saja, dipeluknya tubuh Lala erat. "Sorry, aku gak pernah tahu. Makasih sudah bertahan selama ini, La."
Mendengar itu, Lala tersenyum.
Meski ia harus kehilangan sesuatu dalam hidupnya setidaknya ia masih berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
"Apa kamu mau bergabung sama aku?" godanya pada Naura yang sontak memutar bola matanya.
"Kalau harus bekerja seperti itu—" Naura menjeda ucapannya ia masih bingung dengan pilihannya.
Drrttt!
Untungnya, ponsel Lala bergetar–menginterupsi kecanggungan antara keduanya.
"Tunggu, pacarku telepon," ujarnya, "Halo, Sayang."
"Lala, apa Naura bersamamu?"
Bukannya sang pacar, Arkan-lah yang berbicara.
Lala sontak melihat layar ponselnya, bingung.
Namun, nama Randy yang ada di sana. Seketika saja, otak Lala bekerja cepat.
Pria tua yang dimaksud Naura itu … Arkan?
"Ehm ... untuk apa kamu menanyakan dia? Setelah apa yang kamu lakukan sama dia, bahkan kamu enggak memberikan uang sepeser pun!" ketusnya langsung.
Dari seberang, Arkan terdengar menghela napas panjang. "Ponsel Naura tertinggal di apartemenku. Lagipula, ada yang ingin aku bicarakan serius dengan dia."
Lala menoleh ke arah Naura yang sedang memakan ayam goreng yang baru mereka pesan. "Masalah uang?"
"Iya. Aku tunggu di Cafe Duri sekarang juga."
Tut!
Tanpa basa-basi, panggilan dimatikan begitu saja, hingga membuat Lala kesal.
"Ini chickennya, aku benar-benar lapar jadi tinggal sisanya. Maaf," ujar Naura tiba-tiba, sambil menyunggingkan senyum.
Namun, Lala ambil pusing.
Saat ini, ia sedang berpikir alasan yang tepat untuk mengajak Naura bertemu dengan Arkan.
"Naura, di mana ponselmu?" tanya Lala pada akhirnya.
"Ponsel …?” panik Naura.
"Apa ponselku tertinggal di apartemen si tua bangka itu," ucapnya lagi.
"Mungkin. Ayo, aku antar ke rumah dia?"
Naura sontak menggeleng. "Enggak, aku enggak mau ketemu lagi sama si tua bangka itu lagi."
"Terus ponselmu? Lebih baik, temui saja dan kita ambil ponselnya," usul Lala mencoba meyakinkan Naura.
"Bukannya kamu kenal dia? Bisakah kamu menolongku untuk ambilkan ponsel atau mungkin dia bisa nyuruh ojek online?”
“Hari ini, aku harus ke kampus,” ucap Naura memberi alasan.
Dia memang tidak ingin bertemu Arkan, tetapi dia tidak berbohong.
Baginya, pendidikan tetap nomor satu.
Sejak kecil, Naura bermimpi menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar, seperti sepupunya yang sering keluar negeri bersama atasannya!
Jadi, di sinilah Naura–melangkahkan kakinya dengan cepat karena ia telat masuk kelas.
Dengan napas terengah-engah, ia masuk ke dalam kelas.
"Maaf, Pak. Saya telat," ucap Naura sembari melangkah masuk.
Seketika semua hening, sampai dosen pengajar itu bersuara, "Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu memutuskan keluar dari kampus, Naura?"
"A–apa?”
“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk."Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”Mendengar itu, Naura mengangguk.Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.Naura sontak tertunduk lesu. Dia a
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N
Suara alarm sama sekali tak membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur.Padahal ia menyalakan alarm perlima menit sekali ketika sudah jam enam pagi. Hingga akhirnya suara Arkan lah yang menjadi alarm baginya."Hei, bangun. Ini udah siang Naura ...!"Seketika Naura terbangun dan mendapati Arkan berdiri di depan wajahnya dengan membawa air yang siap di lempar ke wajahnya."Ap-apa yang sedang Om lakukan?"Arkan berdecak, ia menurunkan lagi tangannya melihat Naura bangun. Padahal dia sudah bersiap menyiramkan air ke wajahnya jika tak kunjung bangun."Cepat bangun, buatkan sarapan!" Setelah mengatakan itu Arkan menarik tangan Naura lalu memberikan air yang sebelumnya ia bawa. "Cuci wajahmu!"Naura yang nyawanya belum semua terkumpul hanya memegangi bak kecil pemberian Arkan. Perlahan Naura beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi yang berada di seberang lemari pakaiannya. Selesai mencuci wajahnya, Naura bergegas ke dapur saat ia mencium aroma masakan yang begitu nikmat menurutny