"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu."
Arkan berkata dengan santai.Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu.Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur.Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura.“Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam.Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi.Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing.Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan."Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.***"Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil.Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada."“Ini mah kecil,” ucapnya lagi.Arkan mengangguk. Dia tau bagaimana orang tua serta kakaknya sendiri memperlakukan Naura dengan tidak baik."Jadi, kamu mau kuliah di mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Aku masih ingin melanjutkan kuliahku di kampus yang lama.""Oke, besok aku akan datang ke kampusmu."Naura seketika menoleh ke arah Arkan. "Om serius?""Aku serius, besok aku akan datang ke kampus dan menjadi walimu. Mereka akan menghubungiku kalau ada apa-apa di kampus."Naura tersenyum menunjukkan baris giginya yang rapi "Makasih, Om."Sungguh, ia merasa senang.Meski dibuang oleh keluarganya, tapi masih ada orang yang mau membantunya.Hanya saja, perhatian Naura mendadak beralih ke ponselnya yang berdering.Begitu melihat sang ibu yang menelpon, dia mengabaikannya.Namun, serangan telepon itu tak berakhir.Kini, sang kakak ikut menelponnya!"Kenapa kamu gak angkat teleponnya?" tanya Arkan menyadarinya.Naura sontak menggeleng pelan.Dia malah memasukkan ponsel ke dalam tas.Untungnya, mobil Arkan pun masuk ke halaman apartemen Lala.Hanya saja, Naura tidak menyangka kedua orang yang dihindarinya tengah berdiri di depan gedung!Sontak ia menunduk dan menenggelamkan kepalanya di bawah dasbor."Om terus jalan," ujar Naura panik.Arkan jelas bingung. Dia pun menoleh dan menemukan sumber kekhawatiran kekasih kecilnya itu."Apa wanita itu Ibumu dan Kakakmu?""Iya,” balas Naura cepat, “Tapi, aku enggak mau nemuin dia. Jadi, cepat bawa aku pergi dari sini."Mendengar itu, Arkan mengendarai mobilnya keluar dari gedung apartemen Lala.Kala dirasa aman, perlahan Naura duduk di kursinya."Ke mana kita?""Hah?" beo Naura tanpa sadar.Pertanyaan Arkan membuatnya terkejut. "I-itu ... hentikan mobilnya di depan halte itu saja.""Memangnya, kamu mau ngapain?" tanya Arkan memastikan."Aku mau menunggu Ibu dan Kakak pergi dari apartemen Lala. Sepertinya sebentar lagi mereka juga pulang."Arkan melihat jam di tangannya. "Ini sudah jam sepuluh. Lagi pula, temanmu itu pasti sedang menghabiskan waktu sama Rendy.""Enggak apa-apa Om. Aku turun di halte saja," elak Naura.Namun bukannya berhenti, Arkan justru menginjak pedal gas.Pria itu mengendarai mobilnya dengan kencang."Om, haltenya kelewatan," panik Naura.Arkan terus saja melajukan mobilnya. "Hari ini, kau akan ke apartemenku.""Hah ... tu-tunggu, Om. Berhenti!"Sayangnya, Arkan tetap pada keputusannya.Kini, Naura berada di apartemen pria itu.Suara gemericik air terdengar dari dapur. Namun, Naura hanya duduk di sofa–tak berani mendekati Arkan yang sedang sibuk di dapur."Apa yang aku lakukan ini sudah benar. Aku enggak mau mengikuti permintaan mereka karena aku berhak bahagia atas pilihanku sendiri," batinnya sembari menatap layar ponsel yang ia pegang.Dengan sadar, Naura memblokir nomor Desi dan juga Adelia.Ia benar-benar tak ingin berhubungan dengan orang-orang yang egois seperti mereka."Naura, ke mari!" panggil Arkan menyadarkan Naura dari lamunan, "Ayo, makan!"Perempuan polos itu pun beranjak dari sofa menghampiri Arkan yang sudah duduk di meja makan.Namun, Naura terpana dengan beberapa menu makanan yang tersedia di atas meja.Baru kali ini ia merasakan masakan seorang pria selain ayahnya sendiri."Terima kasih makanannya. Selamat makan!""Ehm ... Apa kamu suka makanannya?" Arkan bertanya pada Naura yang mulai menyuapkan makanan."Iya, aku suka. Pasti istri Om suka masakannya," ujar Naura hingga Arkan tersedak."Pelan-pelan dong makannya," ujar Naura polos.Arkan mendelik, ia meminum air putih yang ada di gelasnya. "Apa aku terlihat sudah punya istri?"Naura mengangguk sambil menikmati makanannya. "Bahkan, Om terlihat sudah punya anak.'Arkan mengepalkan tangannya mencoba menahan emosi.Tidak pantas baginya bertengkar hanya karena ucapan gadis bodoh seperti Naura. Namun, tak dapat dipungkiri jika perkataan Naura cukup menjatuhkan harga dirinya."Habiskan makananmu lalu beristirahatlah," ketus Arkan.Dia lalu beranjak dari kursinya berlalu meninggalkan Naura sendiri di meja makan.Brak!Tak lama, terdengar suara dentuman pintu yang dilempar begitu kencang.Melihat itu, Naura menggelengkan kepala."Dasar dikit-dikit kesinggung, dikit-dikit marah," gerutunya.Ia pun melanjutkan makan malam setelah itu membersihkan semua peralatan yang sudah ia pakai.Tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas malam.Naura pun mematikan televisi, lalu membuka satu per satu kamar."Ada dua kamar, aku tidur di kamar ini atau ini?" tanya Naura menunjuk dua pintu kamar yang ada di depannya."Udah ah kamar yang ini saja."Tanpa pikir panjang, Naura pun masuk ke kamar yang ia pilih.Ia membaringkan tubuhnya yang terasa lelah lalu menjemput mimpinya–tak menyadari bahwa kamar itu adalah kamar serigala!"Ehmmp...."Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N
Suara alarm sama sekali tak membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur.Padahal ia menyalakan alarm perlima menit sekali ketika sudah jam enam pagi. Hingga akhirnya suara Arkan lah yang menjadi alarm baginya."Hei, bangun. Ini udah siang Naura ...!"Seketika Naura terbangun dan mendapati Arkan berdiri di depan wajahnya dengan membawa air yang siap di lempar ke wajahnya."Ap-apa yang sedang Om lakukan?"Arkan berdecak, ia menurunkan lagi tangannya melihat Naura bangun. Padahal dia sudah bersiap menyiramkan air ke wajahnya jika tak kunjung bangun."Cepat bangun, buatkan sarapan!" Setelah mengatakan itu Arkan menarik tangan Naura lalu memberikan air yang sebelumnya ia bawa. "Cuci wajahmu!"Naura yang nyawanya belum semua terkumpul hanya memegangi bak kecil pemberian Arkan. Perlahan Naura beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi yang berada di seberang lemari pakaiannya. Selesai mencuci wajahnya, Naura bergegas ke dapur saat ia mencium aroma masakan yang begitu nikmat menurutny
Naura merasakan kebas ditangannya setelah menampar wajah Adelia hingga ia mengaduh kesakitan. "Tutup mulutmu. Kamu enggak berhak menghakimi hidup orang lain apa lagi kamu enggak pernah berada di posisi dia." Adelia mengusap pipinya yang terasa sakit lalu menatap Naura dengan tajam. "Beraninya kamu menamparku!" "Jelas aku berani karena aku enggak salah. Lagi pula untuk apa kamu datang ke sini, hah. Ingin mencari tahu kenapa aku bisa kembali kuliah di sini?" "Kuliah, jadi benar Naura kembali kuliah," batin Adelia. "Yang benar saja. Aku ke sini hanya ingin mengatakan kepadamu jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di rumah setelah aku pergi ke Amerika."Naura berdecak lalu berkata, "Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan pernah menginjakkan kakiku lagi di sana. Baik ada kamu atau pun enggak ada." "Baguslah, ini lihat." Adelia memberikan kertas dan langsung di ambil oleh Naura. Betapa terkejutnya Naura melihat kartu keluarga yang sudah tidak ada namanya lagi. "Coba lihat, Pap
Naura begitu terkejut melihat Arkan yang memberinya tatapan sinis."A-aku bary pulang dari kampus," kilah Naura.Jelas Arkan tidak percaya begitu saja. Apa lagi dia tahu jadwal pulang Naura dari kampus."Bukannya kamu pulang jam dua, kenapa sampai ke apartemen jam lima sore?""Itu ... karena aku ada kerja kelompok dirumah teman.""Teman yang mana?"Naura melipat bibirnya, bukankan ini keterlaluan. Mengapa dia harus tau apa yang Naura lakukan."Ak—""Cukup, buatin aku makanan karena aku sudah lapar."Naura melempar tasnya ke atas ranjang lalu keluar dari kamar mengikuti Arkan. "Kamu mau masak apa?" tanya Arkan bersandar di lemari pendingin.Naura berpikir sejenak, ia mencari menu dengan bahan yang tidak terlalu banyak serta mudah baginya."Nasi goreng."Arkan terperangah, ia tak percaya Naura akan memasak nasi goreng untuk makan malam mereka."Enggak, aku enggak mau nasi goreng. Aku mau ayam lada hitam dan capcay."Naura sadar betul jika pria yang ada di dekatnya itu sedang mengujinya
"Naura ...."Teriakan Arkan menggema di seluruh ruangan. Membuat Naura yang berada di dalam kamar pun bergegas memakai pakaiannya. Brak! "Arrgh ... Om aku belum selesai pakai baju! " Tak mendengar ucapan Naura, Arkan malah menerobos masuk ke dalam kamarnya. "Apa yang kamu lakukan dengan meja kerjaku? " tanya Arkan dengan nada tinggi. Naura memakai kaosnya yang tadi belum sempat karena ia terkejut dengan kedatangan Arkan. "Aku hanya membersihkannya semalam. Memangnya kenapa?""Kenapa kamu tanya kenapa? Itu semua berkas meeting yang harus aku bawa siang ini. Argh, suruh siapa kamu membersihkan ruang kerjaku!""I-itu—""Lalu kamu kemanakan semua berkas yang ada di meja?"Jantung Naura berdegup begitu kencang, ini kali pertama ia merasakan takut hingga tangannya bergetar. "Ada, aku rapi kan di laci meja," jawab Sera dengan suara bergetar. Sera berlari ke ruang kerja Arkan untun mengambil berkas yang sudah ia rapi kan. "I-ini, " sambung Naura. Arkan merebut dengan kasar—membuka sa
Naura terus memikirkan apa yang harus dia lakukan. Sementara hubungannya dengan orang tuanya saja sedang tidak baik-baik saja. "Kenapa harus menikah si, kan kesepakatannya cuma pacar palsu," gerutunya. Dengan kesal Naura beranjak dari ranjang ke kamar Arkan. Brak! "Om ... Om." Naura tak melihat sosok Arkan di kamarnya. Ia pun pergi ke ruang kerja, tapi hasilnya sama. "Kemana dia?" Naura duduk di sofa, memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk menghindari pernikahan mereka. "Aku harus kabur. Ya aku harus kabur." Naura mengambil kopernya lalu memasukkan pakaian ke dalam koper. [Naura : La tolong jemput aku di apartemen.] Tulisannya mengirimkan pesan kepada sahabatnya itu. [Lala : Oke.] Ini kesempatan bagi Naura untuk kabur dari apartemen Arkan. Ia tidak mau menghancurkan mimpinya karena pernikahan. Duda? Yang benar saja ini kali pertama Naura mengetahui status Arkan dan hal itu cukup membuatnya semakin di kucilkan oleh keluarganya. Naura pun bergegas keluar dari rumah A