"Naura ...."Teriakan Arkan menggema di seluruh ruangan. Membuat Naura yang berada di dalam kamar pun bergegas memakai pakaiannya. Brak! "Arrgh ... Om aku belum selesai pakai baju! " Tak mendengar ucapan Naura, Arkan malah menerobos masuk ke dalam kamarnya. "Apa yang kamu lakukan dengan meja kerjaku? " tanya Arkan dengan nada tinggi. Naura memakai kaosnya yang tadi belum sempat karena ia terkejut dengan kedatangan Arkan. "Aku hanya membersihkannya semalam. Memangnya kenapa?""Kenapa kamu tanya kenapa? Itu semua berkas meeting yang harus aku bawa siang ini. Argh, suruh siapa kamu membersihkan ruang kerjaku!""I-itu—""Lalu kamu kemanakan semua berkas yang ada di meja?"Jantung Naura berdegup begitu kencang, ini kali pertama ia merasakan takut hingga tangannya bergetar. "Ada, aku rapi kan di laci meja," jawab Sera dengan suara bergetar. Sera berlari ke ruang kerja Arkan untun mengambil berkas yang sudah ia rapi kan. "I-ini, " sambung Naura. Arkan merebut dengan kasar—membuka sa
Naura terus memikirkan apa yang harus dia lakukan. Sementara hubungannya dengan orang tuanya saja sedang tidak baik-baik saja. "Kenapa harus menikah si, kan kesepakatannya cuma pacar palsu," gerutunya. Dengan kesal Naura beranjak dari ranjang ke kamar Arkan. Brak! "Om ... Om." Naura tak melihat sosok Arkan di kamarnya. Ia pun pergi ke ruang kerja, tapi hasilnya sama. "Kemana dia?" Naura duduk di sofa, memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk menghindari pernikahan mereka. "Aku harus kabur. Ya aku harus kabur." Naura mengambil kopernya lalu memasukkan pakaian ke dalam koper. [Naura : La tolong jemput aku di apartemen.] Tulisannya mengirimkan pesan kepada sahabatnya itu. [Lala : Oke.] Ini kesempatan bagi Naura untuk kabur dari apartemen Arkan. Ia tidak mau menghancurkan mimpinya karena pernikahan. Duda? Yang benar saja ini kali pertama Naura mengetahui status Arkan dan hal itu cukup membuatnya semakin di kucilkan oleh keluarganya. Naura pun bergegas keluar dari rumah A
Otak Naura berputar dengan cepat ketika mendengar penawaran Arkan. "Mobil, apa mobil itu atas namaku?" tanya Naura."Hm ... atas namamu. Bahkan aku akan memberikan apartemen untukmu kalau kamu mau menjadi istri sewaan.""Istri sewaan?" batinnya.Naura menyingkirkan pikiran anehnya yang terpenting dia akan mendapatkan mobil serta apartemen jika mah menikah dengan Arkan.Bodoh jika ia menolak tawaran Arkan karena selama ini pria yang ada di hadapannya itu lah yang memenuhi kebutuhannya."Meski aku setuju sama pernikahan ini, tetap saja orang tuaku enggak akan setuju aku menikah sama Om."Arkan mendekat lalu menepuk pundaknya. "Kamu tenang saja aku punya rencana yang bisa membuat orang tuamu setuju dengan pernikahan kita."Naura mengerutkan dahinya, entah apa yang akan di lakukan Arkan yang pasti Naura ingin hidup bebas.***Diperjalanan Naura meminta Arkan menghentikan mobilnya."Kita harus membawa makanan. Mamahku pasti mengoceh kalau aku pulang enggak bawa buah tangan."Arkan mengang
Toni hanya diam memikirkan Naura meski anak sulung serta istrinya terus menjelekkan putrinya."Aku enggak percaya, kenapa Naura bisa kenal sama cowok kaya. Aku yakin Naura hamil, cowok itu pewaris Global Grup mana mau sama Naura kalau dia enggak punya senjata buat menaklukkan dia.""Benar juga, Mamah masih memikirkan hal ini. Pah, apa Papah mau diem aja ngeliat anaknya berulah?"Brak!Suara dentuman meja seketika membuat Adelia dan Desi diam. "Berulah, memangnya Naura melakukan apa sama kalian sampai membuat kalian selalu berkata buruk tentang dia?""Dia ....""Dia apa? Apa pernah Naura melakukan kesalahan sama kamu. Dengar Adelia, Papah selama ini diam saat kamu menghina Naura. Meski dia enggak pernah melakukan kesalahan seperti yang kamu tuduhkan.""Pah, kenapa Papah malah marahin Adelia sih. Jelas-jelas Naura yang membuat masalah, kenapa Papah bela dia sih?!" Tak ingin membuat masalah semakin runyam, Toni pun berlalu meninggalkan Adelia dan Desi yang masih menggerutu. Penasaran,
Suara ketukan sepatu terus beradu dengan lantai. Naura tak bisa menghentikan kakinya yang terus bergerak. "Papah pasti syok, baru tadi sore aku bilang mau menikah dan besok hari pernikahanku. Haruskah aku kabur?" Naura terus berpikir apa yang harus dia lakukan. Hingga pikiran jahat pun muncul di kepalanya. Naura keluar dari kamar ia membuka pintu kamar Arkan lyang terlihat kosong. Ia alu beralih ke ruang kerjanya dan hasilnya pun nihil. "Sepertinya dia sudah pergi." Naura kembali ke kamar untuk membawa kopernya keluar tapi saat ia akan pergi suara bel mengalihkan perhatiannya. "Siapa?" tanya Naura sembari berjalan ke arah pintu. "Lala," ujarnya melihat dari lubang pintu. Cklek Naura membuka pintu apartemennya. "Malam Sayangku, kita harus merayakan hari terakhirmu menyandang status singel." "Maksud kamu?" "Alah pura-pura enggak tau lagi, besok kan kamu menikah. Akan resmi jadi istri Arga Syahreza." Baru juga beberapa menit yang lalu mereka membahas pernikahan. Gosipnya sudah
Suara ketukan pintu membangunkan Naura dari tidur. Dengan wajah bantal serta rambut yang acak-acakan ia pun berjalan membukakan pintu. Cklek. "Selamat siang, Kak. Ayo, kita ganti bajunya dulu." Tiga wanita menerobos masuk ke dalam kamar hotel, membuat Naura kebingungan. "Tunggu, apa yang kalian lakukan?!" "Kita harus cepat-cepat makeup, kak." "Enggak!" teriak Naura. "Sepertinya kalian salah kamar, sebaiknya kalian pergi dari sini!" Mereka bertiga hanya saling beradu pandang sebelum akhirnya mereka terpaksa memegangi Naura. "Hei, kalian salah orang. Untuk apa memakai mekeup!" "Sebentar, aku telepon sahabatku dulu." Perlahan mereka melepaskan tangan Naura. Secepatnya Naura mengambil ponsel— menghubungi Lala. "Halo, La. Ini ada tiga orang cewek datang ke kamar hotel. Kamu pesan make up?" "Oh ya, aku lupa ngasih tahu kamu, biarin mereka memake-up wajahmu dulu, aku lagi di jalan menuju ke hotel." "Oke." Naura berbalik melihat ke arah para wanita yang siap medandaninya. "Seben
Gemercik air membasahi tubuh Naura yang berada di bawah shower. Entah mengapa ia begitu bersemangat menyambut hari barunya. Di tengah lantunan lagu yang mengiringi, tiba-tiba saja dering ponsel mengalihkan perhatian Naura. "Nomor baru, siapa?" Naura mengabaikan panggilan tersebut dan satu menit kemudian suara ketukan pintu mengagetkannya. "Naura ... kamu sedang apa, cepatlah keluar!" "Arrgh, si tua bangka itu selalu menggangu ketenanganku saja," gerutu Naura lalu membuka pintu kamar mandi. "Ada apa?" "Mana kado pemberian Papah?" tanya Arkan sembari mengadahkan tangannya. Naura menonyongkan bibirnya sembari berkata, "Tuh." Arkan menoleh ke belakang untuk mencari kado pemberian ayahnya itu. Dengan kasar Arkan membuka kado pemberian ayahnya untuk Naura. "Itu kadoku kenapa kamu membukanya," ucap Naura dengan merebut kado yang sudah di buka Arkan secara paksa. "Buka kadonya!" "Ini kadoku, kenapa Om penasaran sama kadoku!" hardik Naura kesal melihat kelakuan pria yang ada di hadap
Deburan ombak menjadi saksi kedekatan Naura dan Devan. Keduanya berjalan beriringan sembari menikmati hantaman ombak yang mengenai kaki yang polos tanpa alas."Kamu nginap di hotel mana?" tanya Devan.Tubuh Naura berputar ke sebelah kiri dan—"Ini hotel tempatku menginap," jawab Naura menunjuk hotel mewah yang berada tepat di depan mereka."Ah, ternyata hotel kita berdekatan. Kapan kamu balik ke Jakarta?""Entahlah, tergantung Om-ku. Paling dua sampai tiga harian."Mata Naura terus memandangi hotel yang ia tinggali hingga akhirnya matanya tertuju pada sosok pria yang sedang menatapnya."Kenapa dia ada di sana, mengganggu saja," gerutu Naura."Aku pergi dulu. Oh ya, aku boleh kan ngehubungi kamu?"Ini kali pertama Devan meminta nomor ponselnya. Dengan hati yang berbunga-bunga, Naura mengetik nomor ponselnya."Ini, nomorku sudah ada?""Hah!" Devan mengambil alih ponselnya dan melihat nama Naura yang sudah tersimpan di ponselnya sejak lama. "Ah, ternyata udah ada," ucapnya dengan gugup."