Kira-kira rencana apa yang sedang di pikirkan Naura? Penasaran, yuk buka bab selanjutnya.
Naura terus merengek meminta ikut dengan Arkan yang memang malas mengajaknya ke klub malam. "Klub malam bukan tempatmu lagi. Jadi, berhentilah merengek untuk ikut pergi!" Naura hanya diam ketika Arkan membentaknya dengan begitu kencang. Tanpa merasa bersalah Arkan berlalu meninggalkan Naura sendiri di dalam kamar. [Naura : kamu sudah tidur?] Naura sengaja mengirimkan pesan ke Devan setelah penolakan yang ia lakukan benerapa menit lalu. [Devan : Belum, aku lagi ada di klub malam nemenin Papah ketemu rekan bisnisnya.] [Naura : Oh, baiklah have fun ya.] Dibalik kata have fun Naura pun ingin bersenang-senang di Bali.Namun, sayangnya Arkan tak memperbolehkannya keluar dan pria yang ia pikir bisa diajak keluar ternyata sedang sibuk."Sial, kenapa aku jadi penunggu kamar!" protesnya.Brak ... brak. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Naura masih terjaga tak mempedulikan suara ketukan pintu yang terus berulang.Hingga akhirnya suara ketukan pintu kembali terdengar, kali ini diiringi
Dengan napas terengah-engah Naura berlari masuk ke dalam kelasnya."Selamat pagi, Pak."Bukan menjawab dosen itu malah melihat jam tangannya. "Kamu telat dua menit, selesai kelas kumpulkan tugas teman-temanmu dan bawa ke meja Bapak.""Baik, Pak. Makasih."Naura berjalan ke kursi kosong yang berada di belakang. Sembari mendengarkan dosen yang sedang menjelaskan ia melihat ke sekeliing mencari keberadaan Lala."Apa dia enggak masuk kuliah ya," batinnya.Tak terasa satu jam pelajaran pun berakhir. Naura memilih istirahat di kantin sebelum kelas berikutnya di mulai."Naura," panggil Lala melambaikan tangannya.Dengan tidak sopannya Lala merebut air minum Naura menghabiskan hingga tandas"Aku telat, kenapa kamu enggak bangunin aku," sambung Lala."Gimana aku mau bangunin kamu, aku sendiri telat masuk," ucap Naura.Kekesalan Naura memuncak saat ia melihat minumannya sudah di habiskan oleh Lala. "Isi ulang minumanku." Lala tertawa lalu pergi ke kantin untuk mengganti minuman Naura. "Ini. Se
Naura masuk ke dalam apartemen dengan mengendap-ngendap, ia tahu betul jika Arkan mengetahui jadwal kuliahnya dan hari ini naura terlambat pulang. "Sepertinya dia belum pulang," tutur Naura berlari ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Tepat saat ia selesai mengganti pakaian tedengar suara bel berbunyi. Naura mempercepat megganti pakaiannya lalu melihat tamu yang datang melalui interkom. "Oops ... Mamah," gumamnya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Naura dalam hati sembari melihat ke ruang tamu. Ia tak mungkin sempat membersihkan semuanya jadi, Naura memaksakan diri untuk menyambut mertuanya meski ia yakin akan ada drama rumah tangga seperti di film-film. Cklek "Mamah ... Mamah sendiri aja. Ayo, masuk." Tanpa menjawab ucapan Naura, Sinta pun masuk ke dalam apartemen. "Sikapnya sama persis dengan anaknya," batin Naura. Tanpa Naura duga, Sinta membuka kamar Arkan. Ia bergeser ke sisi kamarnya yang berantakan agar mertuanya itu tidak membuka kamarnya. "Ma-Mamah mau minum apa?"
Arkan tersentak ketika mendengar ucapan Naura. Ia pikir Naura kabur apa lagi kopernya sudah tidak ada di lemarinya. "Kamu di mana?" tanya Arkan panik karena Naura tiba-tiba saja meminta tolong. "Aku di rumah Mamah." "Mamah, apa Adelia yang menculikmu?" Terdengar helaan napas. "Mamah Om yang menculik aku. Aku lagi di rumah Om." "Hah, kok bisa?" "Cepat jemput aku. Aku takut," ujar Naura merengek minta pulang. Arkan mematikan panggilannya, ia lalu mengambil kunci mobilnya lalu keluar dari apartemennya. Sementara itu di tempat lain, Naura menutup matanya karena memang ia ngantuk. Tok ... tok, "Permisi Non." "Hm ... masuk Bi." Naura enggan turun dari ranjangnya membiarkan Surti masuk ke dalam kamar. "Non, Pak Teddi sudah datang, Bu Sinta menyuruh Nona untuk segera turun," jelasnya. Naura menghela napasnya, ia terlalu lelah hingga tak ingin berajak dari ranjangnya. "Aku mandi dulu Bi." "Iya, Non." Naura memandang langit di kamar Arkan. "Cepatlah datang, Om." Meski berat Naur
Hening, sepasang mata hanya saling menatap. Di saat suasana terasa canggung, Arkan malah tertawa terbahak-bahak."Aku menyukaimu sebagai istri sewaanku."Naura memalingkan wajahnya, ia merasakan panas di pipinya kala mendengar pengakuan Arkan ."Brengsek, aku pikir dia benar-benar menyukaiku," batin Naura merutuki kebodohannya."Hei, kamu pasti kecewa karena aku enggak suka sama kamu kan?"Naura berbalik. "Iya, awalnya aku sangat kecewa. Tapi setelah Om bilang menyukaiku karena aku istri sewaan, aku pun bahagia. Karena pernikahan kita enggak akan berlangsung lama.""Apa ...?""Tetaplah menjaga perasaan Om, aku pun akan melakukan hal yang sama agar hubungan kita cepat selesai."Setelah mengucapkan semua yang ada di hatinya, Naura pun membelakangi Arkan."Sial," gumam Arkan yang masih bisa di dengar oleh Naura. Namun, dengan kasarnya Arkan menarik bantal yang di gunakan oleh Naura."Ini bantalku!" ucapnya.Tak hanya bantal, Arkan juga menarik selimut yang sedang di gunakan oleh istriny
Atmosfir di sekitar mereka berubah seketika. Naura bisa melihat ketegangan di antara Arkan dan juga Devan. Suara Naura tercekat, ia tak bisa menyangkal ucapan Arkan."Suami?" Naura melirik Devan, ingin rasanya ia menghilang saat tertangkap basah sudah memiliki suami. Gelak tawa terdengar dari mulut Naura, ia berusaha senyaman mungkin tertawa untuk mengalihkan perhatian mereka berdua. "April mop ...!" seru Naura bersemangat. "Sepertinya aku telat ke kampus, kalau gitu kita pergi dulu ya. Bye, Devan." Dengan cepat Naura menarik tangan Arkan seraya menundukan kepalanya karena malu. Arkan menepis tangan Naura setelah mereka jauh dari pandangan Devan. "Siapa dia, apa dia pacarmu atau pria yang kamu suka?" "Apa sih, bukan siapa-siapa." "Yakin, terus kenapa kamu terlihat menutupi status kita?" Mengingat pernikahaan mereka hanya sebuah perjanjian, sebisa mungkin Naura ingin menutupi rahasia pernikahannya dari Devan.Selain itu, ia tak ingin menyandang status janda yang sering mendapat
Gosip pernikahan Naura dengan Om-Om pun seketika menyeruak di kampusnya. Hampir setiap mahasiswa yang ia lewati terus membicarakannya. Hal itu imbas dari pertikaian Naura dan juga Leni. Alhasil si mulut racun itu menyebarkan gosip yang bukan-bukan. "Sepertinya gosip tentang kamu begitu hits beberapa hari ini," ucap Lala menoleh ke sekitarnya. "Hm ... menjadi topik utama ternyata menyenangkan. Bagi si pencari gosip mereka akan mendekatiku, bagi si bodoh mereka akan menjauhiku dan bagi manusia yang enggak punya perasaan sepertimu, itu hal yang biasa." Lala menghela napas berat mendengar ucapan Naura. "Berarti aku si orang yang gak punya perasaan dong!" "Hm ... kamu yang paling terbaik dari yang terburuk. Terima kasih selalu ada di sampingku," tutur Naura tulus. "Yang benar saja, masa dari yang terburuk." Naura tersenyum lalu memeluk tubuh Naura dengan erat. "Aku ingin ngecamp besok, sepertinya sudah lama kita enggak liburan." "Serius, ayo. Aku akan mengajak Rendy." "Kenapa menga
Lampu yang temaram menyamarkan pandangan Arkan saat melihat ke trotoar. Perlahan mobil yang di kemudikan Arkan menepi di jembatan tempatnya menurunkan Naura di sana. "Ke mana dia pergi," gumam Arkan. Perlahan ia membuka ponselnya lalu menghubungi nomor ponsel Naura, tapi panggilan selalu di alihkan. "Argh, si bodoh itu cepat sekali jalannya. Apa dia naik taksi ya?" Tak ingin berpikir yang bukan-bukan Arkan pun kembali mengemudikan mobilnya ke apartemen mereka. Sementara itu, Naura tengah memandangi wajahnya di depan cermin. "Aku ingin beli baju ini," tutur Naura. Ya saat ini Naura sedang membeli pakaian untuk ia gunakan nge-camp bersama Lala. "Jaketnya terlalu tebal. Pakai ini saja." Lala memberikan hoodie untuk Naura gunakan. "Sepertinya bagus," ujar Naura memutar tubuhnya di depan cermin. Melihat penampilan Naura yang rapih dengan mini dress yang menempel di tubuhnya membuat Lala penasaran. "Sebenarnya kamu habis dari sama sama Arkan?" Naura terdiam lalu mengambil celana