"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.
Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura.
Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan."Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?"
Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor."Naura mengangguk.Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?""Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik."Arkan tersenyum.Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos.Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya."Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mobil, sedangkan Naura masih mengagumi rumah Arkan yang begitu mewah seperti di film-film."Semoga Ibunya memberiku uang satu miliar agar aku berpisah dengan si Om atau mereka menyuruh aku pindah ke luar negeri dan semua di biayai mereka," batinnya polos sembari menyunggingkan senyum bahagia."Hei, senyum sendiri. Lagi yang mikirin yang jorok-jorok, ya?"Naura sontak mendelik lalu mengikuti langkah kaki Arkan.Namun tepat di ruang tamu, Naura melingkarkan tangannya di lengan Arkan."Kita harus terlihat mesra," ujar Naura mengedipkan satu matanya.Arkan menggeleng pelan, berjalan beriringan dengan Naura."Malam semua," sapa pria itu.Seketika semua orang yang ada di ruang makan menoleh ke arah Naura dan Arkan. Naura pun meneliti wajah mereka yang sedang berkumpul di sana."Yang mana Ibunya Om Arkan?" batin Bella."Arkan ...!" Seorang wanita paru baya berjalan mendekati Arkan. "Apa kamu gila, kenapa kamu datang bersama—"Wanita paruh baya itu menghentikan ucapannya, sesaat melirik ke arah Naura."Kamu tahu ini acara apa! Kenapa kamu datang membawa wanita ini?" sambungnya dengan merekatkan giginya karena kesal.Bukannya menjawab ucapan wanita itu, Arkan malah melewatinya sembari memegang erat jemari Naura."Maaf, perjodohan ini harus dibatalkan karena aku akan menikahi kekasihku."Naura menelan saliva-nya melihat pandangan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan sinis.Salah satunya wanita muda yang memberinya tatapan membunuh."Mati aku! Apa dia akan memukulku atau menjambak rambutku karena merebut Om Arkan?" Naura hanya bisa membatin sembari menahan rasa takutnya."Arkan, apa kamu gila. Kita sudah menentukan tanggal pernikahan kita!" protes wanita cantik yang mendekat ke arah mereka berdua.Arkan menarik Naura agar berada di belakangnya.Dari awal, aku enggak pernah setuju dengan perjodohan ini. Keluargamu saja yang terus datang ke rumahku dan melakukan hal-hal konyol agar kita cepat menikah,” tegas Arkan.Mendengar itu, Sinta melipat bibirnya.Bagaimana bisa Arkan berterus terang seperti itu di depan besan yang akan menjadi mertuanya?"Tutup mulut, Arkan!" bisik Ibu Arkan itu cepat."Maaf atas ketidaksopanan putraku. Sebaiknya kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin."Hanya saja, orang tua wanita itu tampak tak senang."Cukup, Bu Sinta. Sepertinya, Nak Arkan sudah menjelaskan semuanya. Saya cukup sadar diri karena saya memang meminta menjodohkan putriku dengan Nak Arkan, tanpa memikirkan apa Nak Arkan sudah mempunyai pasangan atau tidak.""Papa!" protes Sonia yang memang ingin sekali menikah dengan Arkan.Selain kaya, Arkan juga memiliki wajah yang tampan hingga ia disukai banyak wanita. Bahkan, para orang tua pun mendatangi Sinta hanya untuk menjodohkan mereka.Peduli setan, statusnya yang duda."Tunggu, dulu Pak Hadi," cegah Sinta. Dia berusaha menenangkan kerabatnya itu.Namun, diam-diam, dia memaki Arkan dalam hati.Sayangnya, Hadi hanya mengangguk sopan, lalu berjalan melewati Arkan dan Naura.Tak lupa, ia menarik tangan Sonia agar ikut dengannya dan sang istri."Ayo, kita pulang," ucap Arkan menyadarkan Naura dari lamunan.Sungguh, dia merasa seperti menonton film-film keluarga konglomerat barusan.Namun, sayangnya di mana bagian ibu pihak pria menawarinya uang tidak ada di sana.Naura menghela napasnya, harapan pertamanya ingin di beri uang seperti di film pun hilang."Tunggu, apa mereka akan membunuhku karena enggak mau melepaskan Om Arkan," batinnya."Hei ... Ayo, kita pulang!""Secepat itu? Kita enggak makan dulu?" tanya Naura pada akhirnya.Bukan karena ingin makan, sebenarnya Naura ingin mengulur waktu agar bisa bernegosiasi dengan Sinta.Arkan menahan kesal akan kepolosan kekasih kecilnya itu."Ikut saja, aku akan memberimu makan, tapi enggak di sini," ucapnya, lalu menarik tangan Naura agar segera pergi dari rumah orang tuanya.Naura memilih menurut.Dia pun tersenyum kala berjalan beriringan.Namun, langkah keduanya terhenti saat berpapasan dengan Sinta."Apa kamu puas, Arkan?" tanyanya dengan tatapan tajam."Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N
Suara alarm sama sekali tak membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur.Padahal ia menyalakan alarm perlima menit sekali ketika sudah jam enam pagi. Hingga akhirnya suara Arkan lah yang menjadi alarm baginya."Hei, bangun. Ini udah siang Naura ...!"Seketika Naura terbangun dan mendapati Arkan berdiri di depan wajahnya dengan membawa air yang siap di lempar ke wajahnya."Ap-apa yang sedang Om lakukan?"Arkan berdecak, ia menurunkan lagi tangannya melihat Naura bangun. Padahal dia sudah bersiap menyiramkan air ke wajahnya jika tak kunjung bangun."Cepat bangun, buatkan sarapan!" Setelah mengatakan itu Arkan menarik tangan Naura lalu memberikan air yang sebelumnya ia bawa. "Cuci wajahmu!"Naura yang nyawanya belum semua terkumpul hanya memegangi bak kecil pemberian Arkan. Perlahan Naura beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi yang berada di seberang lemari pakaiannya. Selesai mencuci wajahnya, Naura bergegas ke dapur saat ia mencium aroma masakan yang begitu nikmat menurutny
Naura merasakan kebas ditangannya setelah menampar wajah Adelia hingga ia mengaduh kesakitan. "Tutup mulutmu. Kamu enggak berhak menghakimi hidup orang lain apa lagi kamu enggak pernah berada di posisi dia." Adelia mengusap pipinya yang terasa sakit lalu menatap Naura dengan tajam. "Beraninya kamu menamparku!" "Jelas aku berani karena aku enggak salah. Lagi pula untuk apa kamu datang ke sini, hah. Ingin mencari tahu kenapa aku bisa kembali kuliah di sini?" "Kuliah, jadi benar Naura kembali kuliah," batin Adelia. "Yang benar saja. Aku ke sini hanya ingin mengatakan kepadamu jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di rumah setelah aku pergi ke Amerika."Naura berdecak lalu berkata, "Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan pernah menginjakkan kakiku lagi di sana. Baik ada kamu atau pun enggak ada." "Baguslah, ini lihat." Adelia memberikan kertas dan langsung di ambil oleh Naura. Betapa terkejutnya Naura melihat kartu keluarga yang sudah tidak ada namanya lagi. "Coba lihat, Pap
Naura begitu terkejut melihat Arkan yang memberinya tatapan sinis."A-aku bary pulang dari kampus," kilah Naura.Jelas Arkan tidak percaya begitu saja. Apa lagi dia tahu jadwal pulang Naura dari kampus."Bukannya kamu pulang jam dua, kenapa sampai ke apartemen jam lima sore?""Itu ... karena aku ada kerja kelompok dirumah teman.""Teman yang mana?"Naura melipat bibirnya, bukankan ini keterlaluan. Mengapa dia harus tau apa yang Naura lakukan."Ak—""Cukup, buatin aku makanan karena aku sudah lapar."Naura melempar tasnya ke atas ranjang lalu keluar dari kamar mengikuti Arkan. "Kamu mau masak apa?" tanya Arkan bersandar di lemari pendingin.Naura berpikir sejenak, ia mencari menu dengan bahan yang tidak terlalu banyak serta mudah baginya."Nasi goreng."Arkan terperangah, ia tak percaya Naura akan memasak nasi goreng untuk makan malam mereka."Enggak, aku enggak mau nasi goreng. Aku mau ayam lada hitam dan capcay."Naura sadar betul jika pria yang ada di dekatnya itu sedang mengujinya
"Naura ...."Teriakan Arkan menggema di seluruh ruangan. Membuat Naura yang berada di dalam kamar pun bergegas memakai pakaiannya. Brak! "Arrgh ... Om aku belum selesai pakai baju! " Tak mendengar ucapan Naura, Arkan malah menerobos masuk ke dalam kamarnya. "Apa yang kamu lakukan dengan meja kerjaku? " tanya Arkan dengan nada tinggi. Naura memakai kaosnya yang tadi belum sempat karena ia terkejut dengan kedatangan Arkan. "Aku hanya membersihkannya semalam. Memangnya kenapa?""Kenapa kamu tanya kenapa? Itu semua berkas meeting yang harus aku bawa siang ini. Argh, suruh siapa kamu membersihkan ruang kerjaku!""I-itu—""Lalu kamu kemanakan semua berkas yang ada di meja?"Jantung Naura berdegup begitu kencang, ini kali pertama ia merasakan takut hingga tangannya bergetar. "Ada, aku rapi kan di laci meja," jawab Sera dengan suara bergetar. Sera berlari ke ruang kerja Arkan untun mengambil berkas yang sudah ia rapi kan. "I-ini, " sambung Naura. Arkan merebut dengan kasar—membuka sa