"Aku tak menyangka seorang Arkan Syahreza mulai tertarik ke gadis polos."
Sebelum benar-benar pergi, Lala dan pasangannya memperhatikan Naura yang menghabiskan minuman dari Arkan. Pria dingin itu jarang mau berdekatan dengan gadis muda dan menawarkan minum secara sukarela.Namun, Naura adalah pengecualian.Lucunya lagi, Naura menghabiskannya dalam sekali teguk!Hal ini membuat Arkan tampak terkesan."Kamu suka minum?" tanyanya. Entah mengapa, dia jadi ingin menuangkan minuman kembali ke gelas Naura.Naura hanya mengangguk sembari kembali meneguk minuman di depannya.Dia memang pernah meminum bir kalengan–sisa kakaknya. Tapi, tidak banyak.Hanya saja, apa perlu dia menjelaskannya pada Arkan?Toh, itu sama saja, kan? Terlebih, mereka baru kenal dan dia hanya menunggu Lala di sini.“Om, apakah om tahu ke mana temanku pergi?” tanya Naura mendadak."Om …?" Alih-alih menjawab, Arkan justru tertawa mendengar ucapan Naura yang memanggilnya Om."Berapa usiamu? Apa seusia dengan Lala?" tanyanya lagi.Naura mengangguk sembari meneguk minuman yang dituangkan ke gelasnya lagi."Lantas, kenapa kamu memanggilku, Om?""Karena wanita yang datang ke sini, biasanya sudah 30 ke atas."Arkan tertawa mendengar ucapan Naura. "Jadi, menurutmu berapa usiaku?"Naura berpikir sejenak lalu berucap asal, "Mungkin 40? Aku salah satu pelanggan tetap di sini jadi aku tahu.""Benarkah, apa aku setua itu?"Arkan tertawa terbahak-bahak, terlebih kala melihat Naura mengangguk.Hal itu rupanya tak luput dari pandangan Rendy yang sedang menari di lantai dansa."Sepertinya temanmu berhasil mengambil hati Arkan," bisiknya pada Lala.Teman Naura itu sontak menoleh pada Naura dan Arkan yang sedang berbincang.Hanya saja, ekspresi Naura tampak mulai berubah menjadi takut kala menatap Arkan."Sepertinya aku harus menemui temanku," ujar Lala."Hei, biarkan saja. Lagi pula temanmu itu sudah dewasa. Dia pasti tau cara menikmati kesenangan." Rendy menarik tangan Lala, hingga gadis tak bisa berkutik.Terlebih, kala Rendy merangkulnya dan mengajak menjauh dari sana–ke tempat lebih privat.Di sisi lain, Naura terus melihat ke lantai dansa.Dia mencari sosok Lala di tengah keramaian.Naura mulai merasa tak nyaman.Hal itu menarik perhatian Arkan. Sudut bibirnya terangkat. Ia lalu menuangkan minuman racikannya ke gelas Naura."Minumlah."Naura menarik gelas tanpa menoleh ke arah Arkan dan meneguknya kembali.Hanya saja, dia mendadak memikirkan aromanya yang begitu kuat."Kenapa?" tanya Arkan."Enggak apa-apa," jawab Naura asal sembari mencari Lala.Arkan tersenyum. Dia pun meminum kembali. Tak lupa, ia menuangkan minuman untuk Naura.Entah mengapa, ekspresi Naura dan reaksinya tiap meneguk minuman begitu lucu.Keduanya terus minum, hingga akhirnya Naura tampak mabuk."Aku mau pulang," ucap perempuan itu dengan suara berat.Mendadak, Naura pun bangkit dari kursinya.Arkan sontak memegang tangan Naura, sembari memperhatikan keberadaan Randy dan Lala.Sayangnya, keduanya tampak sudah menghilang dari lantai dansa."Biar aku antar pulang," ucapnya.Keduanya sempat bertatapan, sampai Naura tiba-tiba muntah di baju Arkan!"Oek, maaf aku …," ucapnya lalu kembali muntah.Arkan mencengkeram bahu Naura. Dia benar-benar jijik dengan muntahan!Segera, pria itu menarik tangan Naura."Kamu harus membayar semuanya nanti!" ucapnya, lalu mengangkat tubuh Naura–masuk ke dalam mobil mewahnya.***Arkan menghentikan shower setelah selesai membersihkan diri dari muntahan Naura.Sial, memang!Tapi, salahnya juga yang terus mencekoki Naura dengan minuman itu.Arkan lantas memilih keluar dari kamar mandi–hanya dengan melilitkan handuk di pinggangnya.Namun, begitu sampai di kasur, tubuh polos Naura menyambutnya.“Shit….” umpatnya, tak nyaman. Dia tadi memang melepaskan baju Naura yang kotor karena tak seorang pun yang bisa dipanggilnya.Baju Naura juga sudah ia taruh ke tempat cucian.Segera saja, dia menutup tubuh Naura dengan selimut. Namun, mendadak gadis itu menatapnya.“Om Arkan….” lirih Naura mendadak.Entah mengapa, Arkan merasa aliran darahnya mengalir cepat.Dia memang bukan pria polos.Hanya saja, Arkan bukanlah tipe yang suka melakukannya tanpa consent, apalagi dengan Naura yang tidak sadar seperti ini.Pria itu hendak pergi, tetapi Naura justru mendadak menarik dan mencium bibirnya.“Hemmmph…”“Jangan pergi!” pinta Naura memelas.Hanya saja, itu membuat tali tipis kesadaran Arkan putus.Terlebih, Naura mendekapnya erat!Kemolekan tubuh yang belum pernah terjamah oleh pria manapun itu membuat Arkan terlena….“Kau akan menyesal,” ucap Arkan dengan suara berat. Namun, Naura justru menggeleng.Entah siapa yang memulai kembali, sentuhan-sentuhan keduanya semakin liar.Erangan dan desahan memenuhi kamar dengan cepat.Suasana di kamar itu pun semakin panas.Keduanya berkeringat meskipun AC di sana sudah diatur menjadi yang terendah.Arkan sampai dibuat takjub.Bagaimana bisa di lingkungan yang bebas ini masih ada wanita yang masih perawan dan luar biasa seperti Naura…?Cukup lama bermain, keduanya akhirnya sama-sama puas.Sesaat Arkan menoleh ke arah Naura yang masih tak sadarkan diri dan memperhatikan wanita polos itu.Setelah ini, apakah Naura ingin apa yang sudah terjadi bersamanya?Drrrt!Dering ponsel menyadarkan Arkan dari lamunannya."Di mana kamu? Bikin malu keluarga saja!” omel mamanya pada Arkan sebelum pria itu sempat mengucapkan salam.“Cepat pulang!” bentaknya lagi.Arkan bahkan sampai menjauhkan ponselnya."Bukannya mereka sudah pulang?” balas pria itu pada akhirnya, “Ini sudah jam tiga pagi!""Kamu benar-benar membuat malu keluarga. Mereka datang jauh-jauh hanya ingin melihat kamu. Kapan lagi ada wanita yang mau menikah dengan pria yang berstatus duda seperti kamu!"Arkan memijat pelipisnya sembari mendengarkan ocehan ibunya.Dia memang kabur dari acara perjodohan yang dibuat sang ibu karena tak ingin terikat lagi dengan pernikahan.Kegagalan di masa lalu membuat Arkan malas berurusan serius dengan wanita.Hanya saja, dia tak menyangka temannya malah membawa gadis semenarik Naura.Sebuah ide pun muncul mendadak."Mah, aku akan menikah," ucapnya pada akhirnya."Benarkah?” pekik sang ibu senang, “Baguslah! Mamah akan menghubungi keluarga Om Irwan agar segera menyiapkan pernikahan kalian. Kamu–""Ma, aku tidak akan menikah dengan anaknya Om Irwan,” potong Arkan, “aku akan menikah dengan wanita lain."Arkan menoleh ke arah Naura yang tertidur pulas di ranjangnya.Sementara itu, sang ibu sepertinya kecewa.Helaan napas panjang terdengar oleh Arkan dari telepon, sebelum akhirnya berkata, "Kalau gitu, bawa wanita itu ke rumah."Tut!Sang ibu langsung memutus panggilan.Segera ia memakai kembali pakaiannya untuk mengurus masalah esok hari–tak lupa ia menyelimuti tubuh polos Naura dengan selimut.Perempuan itu tampak tertidur nyenyak, sampai akhirnya merasakan dingin di sekujur tubuhnya di pagi hari.Naura menggeser kakinya mencari selimut.Namun, saat tangannya mengenai dadanya, ia merasakan suatu keanehan.Seketika ia membuka mata lalu melihat ke bawah."Argh ...." jerit Naura kala melihat tubuhnya sudah tak memakai pakaiannya sama sekali.Ia sontak terduduk melihat ke sekeliling. "Ini bukan kamarku. Di mana aku?" panik Naura yang berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya.Deg!"Pria itu?" lirihnya kala kejadian kemarin mulai tersusun.Bersamaan itu, pintu kamar mendadak terbuka.Namun, Naura menahan diri untuk tidak menjerit kala melihat Arkan yang bertelanjang dada."Kamu sudah bangun?" tanya pria itu mendekat ke arah Naura.Tak lupa, dengan senyum yang begitu menggoda!"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri. "Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku." Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan. "Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?" "Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan." "Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!" "Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai. Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura. "Ak-aku ...." Naura kehilangan kata-kata. Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri! Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan? ***** "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas." "Argh ...!" Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang ter
“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk."Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”Mendengar itu, Naura mengangguk.Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.Naura sontak tertunduk lesu. Dia a
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N