"Dengar, Naura! Enggak ada salahnya kamu cuti kuliah dan mengejarnya tahun depan."
"Benar! Kasihan kakakmu yang mau melanjutkan S2-nya di Amerika."Naura Anindya terdiam mendengar ucapan kedua orang tuanya.Sejak kecil, kakak perempuannya selalu menjadi prioritas orang tuanya, sedangkan dia selalu di-nomor-dua-kan.Padahal, kakaknya itu tidak pernah bekerja sejak lulus S1. Dia juga tak terlihat ingin mencari pengalaman kerja sama sekali.Lantas, haruskah Naura mengalah?"Maaf, Mah. Aku akan tetap kuliah," tolaknya memberanikan diri, "walau tanpa biaya dari kalian."Ucapan Naura itu sontak membuat ketiga orang di hadapannya terkejut.“Naura Anindya!” bentak sang ayah, “Berani kamu melawan?”“Jika kamu yakin bisa membiayai kuliahmu, sekalian saja kamu pergi dari rumah ini!”Naura mengepalkan tangan–menahan emosi.Namun, dia sungguh lelah.Tanpa kata, Naura memilih segera menaiki anak tangga—masuk ke dalam kamarnya.Dimasukkannya semua pakaian ke dalam koper dan bersiap pergi.Sayangnya begitu dia membuka pintu kamar, Adelia–sang kakak–sudah menunggunya."Kamu mau ke mana?" ketus perempuan itu, “Emangnya kamu pikir gampang cari pekerjaan buat membiayai hidupmu sendiri? Apa susahnya sih mengalah setahun?”Mendengar itu, Naura sontak menatap tajam sang kakak. "Kenapa aku yang harus berhenti kuliah?”“Kenapa gak Kakak aja yang menunda kuliah kakak di Amerika dan menggunakan ijazah S1 kakak itu dulu untuk cari kerja?” lanjutnya memberanikan diri.Ini adalah pertama kalinya Naura melawan begitu keras.Hal ini jelas membuat Adelia murka."Maksud kamu?" bentaknya, "Kamu pikir ijazah S1-ku enggak berguna gitu?"Tanpa basa-basi, Adelia menarik rambut Naura dengan kencang, hingga kepala perempuan itu tetarik ke belakang."Sialan, Kau!" makinya pada Naura."Arrgh,” erang Naura kesakitan, “Lepas, Kak! Aku hanya bicara fakta. Jika kakak langsung S2, perusahaan mana yang mau menerima?”“Sekarang, mereka mencari orang yang pengalaman kerja segudang!"Setelahnya, Naura tak tinggal diam.Dia berusaha melepaskan diri dari Adelia.Namun, kakak perempuannya itu sepertinya tak siap dengan perlawanannya, sehingga ia pun tersungkur di lantai."Mama! Tolong aku!" rengek Adelia mendadak.Suaranya jelas memancing kepanikan sang ibu dan ayah."Naura! Apa yang kamu lakukan?" teriak wanita tua itu pada Naura.Plak!Sebuah tamparan mendadak mendaarat di pipi Naura.Gadis itu jelas tak menyangka jika ayah yang selama ini selalu melindungi kini malah berbuat kasar kepadanya."Ayah ...." lirihnya, pedih.Pria tua itu juga tersentak dengan apa yang dia lakukan.Hanya saja, emosinya semakin memuncak kala melihat Naura memilih menarik kopernya menuju luar rumah."Naura!” bentaknya, “Sekali kamu keluar dari rumah ini, jangan harap bisa menginjakkan kakimu kembali!"Naura menghentikan langkahnya dan menatap pedih sang ayah. "Aku enggak akan pernah menginjakkan kakiku di rumah ini lagi."Dengan tekad kuat, Naura keluar dari rumah itu.Tak peduli bahwa dia hanya bermodalkan pakaian serta motor butut bekas sang kakak yang selalu dia pakai.***"Serius kamu mau kerja?"Teman Naura memastikan kembali apa yang dia dengar.Dia bahkan sampai menghampiri Naura yang sedang menyeduh mie instan untuk disantap."Iya, aku harus mencari uang untuk biaya kuliah," balas gadis itu pada akhirnya, “Kerja apa aja aku mau yang penting menghasilkan uang, La"Naura memang butuh uang secepatnya. Ditambah lagi, dia tak punya tempat untuk berlindung.Tak mungkin jika dia merepotkan temannya terus-menerus, kan?Sementara itu, Lala hanya mengangguk saja.Namun, sudut bibirnya terangkat ketika ponselnya bergetar.Lala pun sedikit menjauh agar Naura tak mendengar pembicaraannya."Halo, Sayang," sapanya.“Kamu mau ketemuan di mana? Lalu, adakah dresscode yang harus kupakai?”" ... "Benar saja, Naura tak menangkap inti percakapan itu. Hanya saja, mengetahui Lala akan pergi, dia menunjuk dirinya agar ikut serta."Ish ... kamu beneran mau ikut? Kerjaan aku tuh kotor, tapi duitnya banyak. Aku enggak mau ngerusak kamu, nanti aku cari kerjaan yang lain saja.""Memangnya kamu kerja apa?""Jualan," jawab Lala sambil memakan mie yang sudah matang."Wah, hebat banget! Pantes kamu bisa tinggal di apartemen begini. Ternyata kamu pebisnis," puji Naura kagum.Mendengar itu, perempuan di hadapan Naura hanya bisa menghela napas.Dia kesal karena sahabatnya itu sepertinya tidak paham dengan arah pembicaraan mereka.Tapi, dijelaskan pun, Lala sanksi jika Naura paham."Habis makan, ganti pakaianmu,” ucapnya pada akhirnya, “temani aku kerja.""Siap!" seru Naura bersemangat lalu menghabiskan mie yang ia buat.Hanya saja, semangat itu mulai runtuh kala Naura tiba di tempat tujuan.Dentuman musik menggema, menghipnotis para pengunjung yang sedang berada di batas kesadaran.Mereka melenggak-lenggokkan tubuhnya mengikuti irama yang dimainkan seorang DJ."La, kita—?”Belum sempat berbicara, sang sahabat memotong ucapannya, “Kamu tunggu di sini ya. Aku ke meja situ dulu."Terpaksa, Naura mengangguk sambil memperhatikan Lala yang berjalan ke sebuah meja.Dia memicingkan matanya kala melihat Lala dirangkul seorang pria.Hanya saja, mendadak pria di meja yang sama duduk menatap ke arah Naura.Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi tak lama Lala melambaikan tangan ke arah Naura."Sini!"Tak menunggu lama, gadis itu pun berjalan mendekati Lala. "Kenalin ini temen aku, namanya Naura."Naura hanya tersenyum menyapa dua orang pria yang sedang duduk."Kamu ‘gak turun, Arkan?" ucap pria yang sedari tadi merangkul bahu Lala.Pria yang dipanggil Arkan itu pun duduk tegap–membuat Naura bisa melihat wajahnya dengan jelas."Ganteng banget," batin Naura tanpa sadar memperhatikannya.Dengan mata tajam, pria itu pun bergumam entah apa dan menyeruput minuman yang ada di gelasnya.Hanya saja, Lala dan pasangannya tampak mengangguk. Mereka pun berdiri–menuju lantai dansa."Tunggu di sini ya, aku ke sana dulu," pamitnya pada Naura yang terdiam.Jujur, gadis itu tidak tahu harus berkata apa.Cukup lama keduanya terdiam, hingga akhirnya suara bariton pria di sampingnya terdengar. "Apa kamu mau minum?""Aku tak menyangka seorang Arkan Syahreza mulai tertarik ke gadis polos." Sebelum benar-benar pergi, Lala dan pasangannya memperhatikan Naura yang menghabiskan minuman dari Arkan. Pria dingin itu jarang mau berdekatan dengan gadis muda dan menawarkan minum secara sukarela. Namun, Naura adalah pengecualian. Lucunya lagi, Naura menghabiskannya dalam sekali teguk! Hal ini membuat Arkan tampak terkesan. "Kamu suka minum?" tanyanya. Entah mengapa, dia jadi ingin menuangkan minuman kembali ke gelas Naura. Naura hanya mengangguk sembari kembali meneguk minuman di depannya. Dia memang pernah meminum bir kalengan–sisa kakaknya. Tapi, tidak banyak. Hanya saja, apa perlu dia menjelaskannya pada Arkan? Toh, itu sama saja, kan? Terlebih, mereka baru kenal dan dia hanya menunggu Lala di sini. “Om, apakah om tahu ke mana temanku pergi?” tanya Naura mendadak. "Om …?" Alih-alih menjawab, Arkan justru tertawa mendengar ucapan Naura yang memanggilnya Om. "Berapa usiamu? Apa seusia dengan Lal
"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri. "Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku." Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan. "Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?" "Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan." "Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!" "Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai. Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura. "Ak-aku ...." Naura kehilangan kata-kata. Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri! Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan? ***** "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas." "Argh ...!" Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang ter
“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk."Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”Mendengar itu, Naura mengangguk.Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.Naura sontak tertunduk lesu. Dia a
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura