Pagi itu, langit cerah menyambut kedatangan Abigail dan Violet di kantor.
Mereka berdua memasuki gedung dengan langkah mantap, persiapan yang matang telah mereka lakukan sebelumnya untuk pertemuan penting yang akan dihadapi siang nanti. Suasana kantor begitu sibuk dan penuh semangat, namun Abigail dan Violet tetap fokus pada tujuan mereka. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya pertemuan dimulai. “Semoga meeting ini menghasilkan kesepakatan yang bagus ya, Violet.” ucap Abigail penuh harap. Mendengar itu, Violet pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Melihat dokumen kerja sama yang akan diperbincangkan ini, Saya cukup yakin bahwa perusahaan Tuan Abigail memiliki progres yang bagus, juga tidak menyodorkan keuntungan yang tidak masuk akal sehingga pembisnis yang sebenarnya tidak akan merasa cuma omong kosong saja.” Ucapan Violet barusan benMendengar ucapan Alenta, Ron pun mengepalkan tangannya. Benar, sepertinya dia pun sanggup untuk menikahi Aruna. Namun, sorot mata Alenta menatapnya saat ini seperti tengah mencemooh hal itu. “Kau memukulinya hampir setiap hari, kau menghinanya, merendahkannya, memperlakukan seolah-olah dia bukanlah manusia yang memiliki akal sehat, dan ego yang bisa merasakan sakit.” Alenta tersenyum, namun kesan senyum yang ditunjukkan seolah luka mendalam begitu terasa di hatinya. “Jangan mencoba untuk mencari Aruna, biarkan dia hidup dengan tenang. Luka yang kau berikan padanya tidak akan pernah bisa menghilang biar sejuta kali kau terus mengucapkan kata maaf padanya. Ibu mohon.... Dia adalah gadis yang terhormat, anak yang dicintai oleh kedua orang tuanya dan juga keluarganya. Bebaskan dia, kau tidak berhak menghukum dia, kau bahkan bukan siapapun yang pantas untuk memberikan rasa sakit padanya.” Ron meninggalkan kediaman Alenta dan juga Edward setelah uca
Violet membasuh wajahnya dengan hati-hati, tidak terlalu banyak air violet jelas tidak ingin merusak riasan wajahnya yang digunakan malam itu. “Kenapa sih aku ngantuk sekali,” gerutu Violet. “Apa aku kelelahan, ya?” tanya Violet, bergumam seorang diri sembari menatap pantulan wajahnya pada cermin yang ada di wastafel, di depannya. Sudah akan bangkit meski merasa rasa kantuk itu belum hilang, Violet membalikkan tubuhnya. Namun, saat itu keterkejutannya benar-benar tidak bisa dielak. Seorang pria masuk ke dalam, tersenyum miring saat tatapan matanya bertemu dengan Violet. “Presdir Reiner, untuk apa kau masuk ke toilet perempuan?” tanya Violet, matanya menyalak marah. Mendengar pertanyaan itu, Reiner hanya tersenyum tanpa memiliki minat untuk menanggapinya. Dia berdiri tepat di hadapan Violet, matanya menatap penuh maksud membuat tubu
Violet termenung di tepi jendela, pikirannya melayang pada apa yang diucapkan Reiner saat demamnya tinggi beberapa waktu lalu. Namun, begitu Reiner sudah mulai bangun, demamnya juga sudah mulai turun, pria itu lagi-lagi terlihat menyebalkan bagi Violet. Violet meminta Reiner untuk memberitahu kode pintu supaya dia bisa keluar dari kamar hotel itu, tapi Reiner menolak dengan tegas. “Kita adalah suami istri, jadi bukan kesalahan jika kita berada di kamar hotel, bukan?” ucap Reiner sambil menatap Violet dengan ekspresi serius. Violet merasa kesal, dia menatap Reiner dengan mata yang berkobar. “Kau benar-benar tidak akan pernah bisa memahami betapa tidak nyamannya saat berada di dekatmu. Aku muak, rasanya kakiku gatal ingin cepat berlari menjauh!” Suara Violet terdengar meninggi. Reiner menatap Violet dengan tatapan yang tajam, waj
Violet mengerutkan dahinya, dia melihat begitu banyak panggilan suara yang berasal dari Abigail. Bahkan, sudah ada hampir 30 pesan dikirimkan pria itu padanya. “Mau kau angkat atau tidak?” tanya Reiner, dia lah orang yang pertama kali mengetahui ponsel violet ada yang menghubungi. Mendengar pertanyaan itu, Violet pun hanya bisa menghela nafasnya. Mau mengangkat telepon itu, rasanya Violet sendiri bingung apa yang harus dibicarakan kepada Abigail di depan Reiner. “Tidak usah, aku-” Violet melotot kaget, nyatanya Reiner menekan tombol untuk menerima panggilan telepon. “Ada apa, Tuan muda Abigail yang terhormat?” ucap Reiner begitu sambungan telepon terhubung. Violet mengulurkan tangannya, niatnya untuk merebut ponselnya dari tangan Reiner. Namun, Reiner justru lebih gesit sehingga tangan Violet tak
Violet melirik, menunjukkan perasaan kesalnya terhadap Reiner. Kamar benar-benar dalam keadaan yang sangat berantakan, mirip seperti baru saja terlindas truk tronton. Melihat tatapan mata Violet yang begitu sinis dan juga kesal, Reiner pun dengan segera melihat ke arah lain, entah mengapa nyalinya ciut. “Kau benar-benar paling hebat membuat suasana hati orang lain selalu kesal!” Suara Violet terdengar meninggi. Reiner masih tidak memiliki keberanian untuk menjawab, wajah Violet benar-benar sangat marah membuat Reiner memutuskan untuk memilih diam saja. “Ambil ini!” titah Violet, menyerahkan sapu dan juga pengki yang baru saja mereka beli secara online. Biasanya, untuk membersihkan lantai selalu ada robot pembersih. Namun, karena sudah porak-poranda isi kamarnya, robot pembersih mana yang sanggup untuk mengerjakannya? Reiner mengambil dua alat itu, sangat asing baginya hingga dia kebingungan bagaimana car
Violet dengan ragu mulai memotong daging steak buatan Reiner. “Bentuknya memang bagus, tapi siapa tahu bagaimana rasanya, kan? Bahkan, aku juga cukup takut kalau nantinya daging ini sudah diberikan racun.” batin Violet. Reiner menatap Violet, menunggu wanita itu menyuapkan daging tersebut ke mulutnya, lalu memberikan komentar tentang masakannya. Violet meletakkan daging potongan itu, lalu menatap Reiner dengan tatapan serius. “Ayo bertukar makanan, aku curiga kau sudah memberikan racun di makanan ku!” Reiner terdiam, sungguh kehilangan kata. Tanpa mengatakan apapun, Reiner menyerahkan piring miliknya, bertukar dengan milik Violet. Langsung saja Reiner memasukkan potongan daging steak yang tadi akan dimakan oleh Violet ke mulutnya, mengunyah dengan ekspresi sebal karena tuduhan Violet itu benar-b
“James, aku benar-benar sangat berterima kasih karena kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu, kau selalu datang bahkan tanpa perlu aku memintanya. Namun, untuk saat ini aku benar-benar masih sangat trauma dengan sebuah hubungan yang melibatkan dua orang.” Aruna tertunduk lesu, tidak tega memberikan penolakan kepada James, tapi dia juga masih trauma dengan hubungan yang dijalaninya bersama dengan Ron. Benar, dia dan Ron bukanlah sepasang suami istri sampai-sampai bisa disebut dengan trauma hubungan. Hanya saja, lebih tepatnya lagi saat ini Aruna sedang berhati-hati dalam menata kehidupan, terutama tentang hubungan bersama dengan pria. Kedepannya, bukan hanya tentang dirinya lagi, tetapi ada kedua orang tuanya, ada violet yang perlu dilibatkan, dan adanya anak yang akan dia lahirkan nanti. Semua akan menjadi satu kesatuan, tidak bisa Arun
Setelah menghubungi Violet namun tidak bisa menemuinya secara langsung, akhirnya Althea pun harus menghadapi Reiner. Benar saja seperti yang Reiner katakan sebelumnya, Violet langsung menghubungi Reiner saat ada salah satu anggota keluarga Samuel yang mencoba untuk berbicara dengan Violet, terutama menemuinya. Tidak ingin membuat Violet terlibat, juga tidak ingin Violet kesulitan sendiri mengingat Violet juga adalah orang yang naif, ini adalah salah satu cara Reiner untuk melindungi wanita yang kini telah menjadi istrinya. “Katakan, apa yang ingin kau bicarakan dengan Violet, hanya aku yang bisa digunakan untuk menjadi telinganya mulai sekarang.” ucap Reiner, wajahnya menunjukkan dengan tegas keseriusannya. Mendengar ucapan Reiner, Althea pun merasa gugup, dan bingung. Namun, dia sudah bertekad untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan, sudah tidak ada lagi jalan untuk diambil mundur. J
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y