Setelah menghubungi Violet namun tidak bisa menemuinya secara langsung, akhirnya Althea pun harus menghadapi Reiner.
Benar saja seperti yang Reiner katakan sebelumnya, Violet langsung menghubungi Reiner saat ada salah satu anggota keluarga Samuel yang mencoba untuk berbicara dengan Violet, terutama menemuinya. Tidak ingin membuat Violet terlibat, juga tidak ingin Violet kesulitan sendiri mengingat Violet juga adalah orang yang naif, ini adalah salah satu cara Reiner untuk melindungi wanita yang kini telah menjadi istrinya. “Katakan, apa yang ingin kau bicarakan dengan Violet, hanya aku yang bisa digunakan untuk menjadi telinganya mulai sekarang.” ucap Reiner, wajahnya menunjukkan dengan tegas keseriusannya. Mendengar ucapan Reiner, Althea pun merasa gugup, dan bingung. Namun, dia sudah bertekad untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan, sudah tidak ada lagi jalan untuk diambil mundur. J“Bagaimana pertemuan mu dengan Althea tadi?” tanya Violet yang merasa penasaran. Reiner yang tengah membuka kancing kemejanya, baru saja pulang dari kantor hanya bisa sejenak mengabaikan pertanyaan itu. Tidak nyaman berbicara dengan keadaan sibuk, dia akan menyelesaikan itu dulu, baru bisa bicara dengan tenang nantinya. “Kenapa kau diam saja?” tanya lagi Violet yang semakin penasaran. “Apa terjadi sesuatu yang buruk di luar kendali?” Reiner menoleh, menatap wajah Violet dengan tatapan kesal. “Apa kau sedang mengkhawatirkan Abigail sekarang, Violet?” Violet menghela nafasnya, tentu dia mencemaskan semua orang yang bersangkutan tentunya. “Apa khawatir juga tidak boleh?” Violet membuang pandangannya. Reiner memasukkan pakaiannya ke k
Pagi itu, suasana di meja makan apartemen mereka terasa begitu tenang. Violet dan Reiner tengah menikmati sarapan yang terdiri dari sandwich yang baru saja Violet buat. Mereka terlihat menikmati sarapan sambil sesekali mengobrol ringan, terutama tentang perkembangan bisnis. Setelah selesai menyantap sarapan, mereka duduk sejenak sambil menikmati secangkir kopi. Reiner lalu mengambil kesempatan untuk mengangkat topik yang sejak lama mengganjal di hatinya. “Violet, mungkin sudah saatnya kita mulai memikirkan soal anak,” ucap Reiner dengan lembut. Pembahasan ini sangat penting, Reiner tahu kalau soal anak itu akan sensitif. Violet terlihat terkejut dan jelas keberatan dengan topik yang dibawa suaminya itu. “Presdir Reiner, kau tahu aku belum siap untuk itu. Bahkan, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak de
Violet terbangun dengan perasaan pusing yang luar biasa, tubuhnya terasa lemas dan nyeri. Rasa panas menjalar dari hidung, bibir, hingga kelopak matanya. Tidak bisa dipungkiri lagi, dia sedang demam. Namun, Violet merasa begitu lelah dan tidak berdaya untuk bangun dari tempat tidur, bahkan untuk mengambil kain basah yang biasa digunakan untuk mengompres dahinya. “Jam 7 malam, bagusnya memang aku tidur saja lagi.” ujar Violet. Dalam keadaan setengah sadar, Violet memutuskan untuk tetap berbaring di tempat tidur, berharap dengan cukup beristirahat, demamnya akan reda dengan sendirinya. Dia menarik selimut tebal dan mencoba menutup matanya kembali, berusaha meredakan rasa pusing yang menyiksa. Sementara itu, Reiner pulang ke apartemen setelah seharian bekerja. Begitu membuka pintu, dia langsung merasakan aura yang berbeda. Suasana apartemen teras
Matahari pagi baru saja menyinari kamar apartemen, memberi tahu bahwa pagi telah berlalu, siang sudah akan tiba. “Jam berapa, sih?” tanya Violet seorang diri. Violet merasa malas untuk bangun, namun ia teringat bahwa Reiner sudah pergi bekerja sekitar satu jam yang lalu. Ponselnya berdering, mengingatkannya bahwa Reiner telah mengirimkan pesan-pesan untuk menjaga diri, banyak istirahat, dan meminum obat. “Orang ini apa sengaja sok perhatian padaku supaya aku sedikit luluh?” gumamnya sebal. Violet menghela napas, merasa tidak ingin berdebat dengan Reiner dan memutuskan untuk bangun dari ranjangnya. Dengan perlahan, Violet mengusap matanya yang masih mengantuk dan berjalan keluar dari kamarnya. Sesampainya di meja dapur, dia terkejut melihat meja yang telah disiapkan dengan penuh makanan lezat. Tampaknya Reiner t
Lelehan air mata mengalir deras dari sepasang mata Violet.Tangannya yang gemetaran mulai terulur ingin meraih kain penutup yang menutupi seseorang yang sudah tak lagi bernyawa. Begitu sampai di rumah sakit, petugas langsung mengantarkan Violet ke kamar mayat, didampingi juga oleh pihak berwajib. Violet terisak-isak sedih, hatinya bergetar hebat karena ketakutan.“Tidak, tidak mungkin Reiner, kan? Tidak, aku mohon...” Pikirannya terus menerka-nerka, apakah benar pria yang sudah tak lagi bernyawa itu adalah Reiner. Kepalanya tak lagi berbentuk karena terlindas ban truk, membuat Violet semakin takut untuk melihat lebih jauh. Begitu membuka penutup itu, hati Violet serasa hancur.“Bukan, pasti bukan Reiner...,” isaknya, tak kuasa menahan rasa sakit yang menyayat hatinya. Wajah pria yang selama ini selalu mengganggu perasaannya, kini tak lagi bisa dilihat. Violet merasa tubuhnya lemas, lututnya gemeta
“Kenapa kau sangat terobsesi untuk memiliki anak, apa kau pikir hamil adalah hal yang mudah?” protes Violet. Mendengar itu, Reiner pun tersenyum. “Tentu saja aku tahu, hamil memang bukan hal yang mudah. Tapi, meski tidak bisa ikut merasakan hamil, aku kan bisa membantumu dengan memenuhi harapanmu saat hamil, kan?” Mendengar ucapan Reiner, Violet pun tersenyum karena dia merasa begitu tertarik. “Jadi, kalau aku bisa hamil, artinya semua yang aku inginkan akan kau penuhi tanpa terkecuali?” Violet ingin memastikan lagi. Reiner dengan seksama memperhatikan cara violet tersenyum, jelas ada begitu banyak maksud terselubung dibalik senyum itu. Pada akhirnya, Reiner seperti bisa mengendus sesuatu yang ada di dalam pikiran Violet. “Jangan pikir saat kau hamil, lalu meminta bercerai atau sesuatu yang menjurus kepada perpisahan, maka itu tidak akan pernah aku kabulkan!” tegasnya.
Violet menatap Reiner dengan tatapan yang dalam, memancarkan rasa penasaran yang mendalam. “Kenapa kau terus menolak Althea, seorang gadis secantik dan sebaik dia, kenapa kau tidak menginginkannya?” tanya Violet, mencoba mengetahui alasan di balik sikap Reiner. Reiner menatap Violet, lalu tersenyum tipis. “Karena Althea bukan kau, Violet,” jawabnya dengan jujur. Tatapan mata Reiner yang mengisyaratkan kejujuran itu membuat Violet terdiam. Mendengar jawaban itu pun, Violet merasa tersentuh namun berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya. Dia masih merasa kesal pada Reiner karena sikapnya di masa lalu, namun perubahan yang terjadi pada Reiner belakangan ini membuat hati Violet semakin goyah. “Ada banyak wanita di luar sana yang lebih baik dariku, yang memiliki latar belakang bagus dan sempurna, presdir Reiner. Kenapa kau terus memaksaku untuk bersamamu, bahkan di luaran
Violet dan Reiner tengah berada dalam genggaman hasrat yang menggebu-gebu di atas ranjang mereka. Kulit mereka bersentuhan, saling merasakan detak jantung dan nafas yang tersengal-sengal. Kini, Violet tak lagi menundukkan wajahnya dalam rasa malu seperti sebelumnya. Ia menatap mata Reiner dengan penuh kepercayaan, seolah menyerahkan diri sepenuhnya kepada pria yang dicintainya itu. Saat itu, perasaan panas yang membara antara mereka terus bergulir, saling memadu dan menyatu dalam satu irama. Tak ada kata yang terucap, hanya suara desahan dan bisikan lembut yang mengisi ruang. Tangan Violet terjalin erat di belakang leher Reiner, menunjukkan keteguhan hatinya untuk melanjutkan perjalanan ini bersama. Mereka berdua terus berusaha mencapai puncak kebahagiaan yang mereka dambakan, tanpa mengindahkan waktu yang terus berlalu. Dan akhirnya
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y