“Kenapa kau sangat terobsesi untuk memiliki anak, apa kau pikir hamil adalah hal yang mudah?” protes Violet.
Mendengar itu, Reiner pun tersenyum. “Tentu saja aku tahu, hamil memang bukan hal yang mudah. Tapi, meski tidak bisa ikut merasakan hamil, aku kan bisa membantumu dengan memenuhi harapanmu saat hamil, kan?” Mendengar ucapan Reiner, Violet pun tersenyum karena dia merasa begitu tertarik. “Jadi, kalau aku bisa hamil, artinya semua yang aku inginkan akan kau penuhi tanpa terkecuali?” Violet ingin memastikan lagi. Reiner dengan seksama memperhatikan cara violet tersenyum, jelas ada begitu banyak maksud terselubung dibalik senyum itu. Pada akhirnya, Reiner seperti bisa mengendus sesuatu yang ada di dalam pikiran Violet. “Jangan pikir saat kau hamil, lalu meminta bercerai atau sesuatu yang menjurus kepada perpisahan, maka itu tidak akan pernah aku kabulkan!” tegasnya.Violet menatap Reiner dengan tatapan yang dalam, memancarkan rasa penasaran yang mendalam. “Kenapa kau terus menolak Althea, seorang gadis secantik dan sebaik dia, kenapa kau tidak menginginkannya?” tanya Violet, mencoba mengetahui alasan di balik sikap Reiner. Reiner menatap Violet, lalu tersenyum tipis. “Karena Althea bukan kau, Violet,” jawabnya dengan jujur. Tatapan mata Reiner yang mengisyaratkan kejujuran itu membuat Violet terdiam. Mendengar jawaban itu pun, Violet merasa tersentuh namun berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya. Dia masih merasa kesal pada Reiner karena sikapnya di masa lalu, namun perubahan yang terjadi pada Reiner belakangan ini membuat hati Violet semakin goyah. “Ada banyak wanita di luar sana yang lebih baik dariku, yang memiliki latar belakang bagus dan sempurna, presdir Reiner. Kenapa kau terus memaksaku untuk bersamamu, bahkan di luaran
Violet dan Reiner tengah berada dalam genggaman hasrat yang menggebu-gebu di atas ranjang mereka. Kulit mereka bersentuhan, saling merasakan detak jantung dan nafas yang tersengal-sengal. Kini, Violet tak lagi menundukkan wajahnya dalam rasa malu seperti sebelumnya. Ia menatap mata Reiner dengan penuh kepercayaan, seolah menyerahkan diri sepenuhnya kepada pria yang dicintainya itu. Saat itu, perasaan panas yang membara antara mereka terus bergulir, saling memadu dan menyatu dalam satu irama. Tak ada kata yang terucap, hanya suara desahan dan bisikan lembut yang mengisi ruang. Tangan Violet terjalin erat di belakang leher Reiner, menunjukkan keteguhan hatinya untuk melanjutkan perjalanan ini bersama. Mereka berdua terus berusaha mencapai puncak kebahagiaan yang mereka dambakan, tanpa mengindahkan waktu yang terus berlalu. Dan akhirnya
Reiner tersenyum miring, tatapan matanya jelas terarahkan hanya kepada Violet seseorang. Apa yang diinginkan oleh Violet sebenarnya adalah hal yang lumrah saja. Tapi, entah apa yang ada di dalam kepala wanita itu hingga meminta permintaan yang bahkan tanpa dia mengatakannya, Reiner jelas akan melakukan itu. “Kenapa reaksimu seperti itu?” tanya Violet keheranan. Menatap dengan bingung, Violet masih menunggu bagaimana tanggapan dari Reiner untuk apa yang dia ucapkan sebelumnya. Rainer menegakkan posisi duduknya, menatap violet dengan tatapan yang serius lalu berkata, “Apa kau pikir aku tidak memiliki empati sama sekali? Juga, angan-anganmu yang sampai sejauh itu aku sendiri sudah tidak bisa menyelamatkannya. Masalah perceraian karena masa depan kita sendiri juga tidak tahu, aku akan memakluminya.” Violet masih terus menatap Reiner, tidak terlalu paham apa makna dari ucapan Rein
Aruna duduk dengan cemas di kursi ruang tunggu dokter kandungan. “Duh, tumben lama sekali, ya...” gumam Aruna. Ibunya duduk di sampingnya, sementara ayahnya berdiri, mengecek ponselnya. “Sabar, nak. Mungkin Sebentar lagi,” ujar Ibunya Aruna. Tiba-tiba, nama Aruna dipanggil oleh suster. Ketiganya pun masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter yang ramah dan perhatian menjelaskan satu persatu tentang bagian tubuh janin yang ada di dalam perut Aruna. Dengan lembut, ia menyampaikan bahwa tidak ada kecacatan fisik pada janin dan ukuran serta beratnya juga dalam keadaan normal. Aruna dan orang tuanya menarik napas lega.“Terima kasih, Dokter,” ucap Aruna dengan tulus. Setelah selesai pemeriksaan, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran terdekat.
Ron melangkah gontai menuju kamar hotelnya, hatinya terasa berat saat mengingat senyuman bahagia Aruna bersama James. Aruna, wanita yang pernah menjadi miliknya, kini menemukan kebahagiaan di pelukan pria lain. Ron menghela napas panjang, menyesali setiap kali dia menyakiti Aruna di masa lalu, tanpa pernah menyadari bahwa suatu saat dia akan kehilangan wanita itu untuk selamanya. “Ternyata rasanya seperti ini ya, Aruna?” Ron bergumam seorang diri, bergelut dengan pemikirannya saat ini. Menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, Ron menatap langit-langit kamar hotel dengan pandangan kosong. Pikirannya terus melayang pada Aruna yang kini tengah hamil. Tidak bisa dipungkiri, perasaan tidak rela menyelimuti hatinya. Namun, dia sadar bahwa dia tidak memiliki hak untuk keberatan. Bagaimanapun juga, dia telah melepaskan Aruna dengan perbuatan sendiri. “Aruna, apa secepat itu kau memilih
Aruna berjalan menuju ke kamarnya dengan hati-hati, perutnya semakin membesar sekarang. 5 bulan telah berlalu, kini hanya tinggal menunggu waktu saja bayi yang ada di dalam perut Aruna lahir ke dunia. Malam itu, Aruna benar-benar tidak bisa tidur karena perasaan tidak nyaman yang dia rasakan. Entah mengapa dia begitu gelisah, bahkan juga terus berkeringat dingin. Suhu di kamarnya jelas dalam keadaan yang normal, nyaman juga untuk beristirahat. “Aruna,” panggil Karem, dia menyadari jika Aruna masih belum tidur karena dari tadi mondar-mandir saja. “Masih belum tidur juga?” tanya Karem seraya mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamar Aruna. Tersenyum kepada Karem, Aruna benar-benar tidak ingin membuat Ayahnya itu merasa khawatir. “Belum bisa, Yah. Entahlah...” Aruna mengusap perutnya dengan lembut. “Mungkin karena sudah dekat dengan waktunya untuk melahirkan, aku jadi sedikit gugup, dan juga merasa takut. Aku mungkin ge
Ron memegangi perutnya yang terasa sakit, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya, sementara tubuhnya gemetar tak terkendali. “Akhhhhhh” Ron mengeratkan pegangannya pada perutnya. Dia meringkuk di atas ranjang, mencoba meredakan rasa sakit perut yang terasa seperti disayat-sayat pisau tajam. “Kenapa tiba-tiba perutku sakit seperti ini, sih?!” tanya Ron yang merasai sakit itu semakin terasa. Jelas ini bukan karena keinginan untuk pergi ke toilet, Ron yakin itu bukan masalahnya. Dalam keadaan menderita, Ron mencoba untuk menenangkan diri, namun sakit perutnya semakin menjadi-jadi. Rasa sakit itu menjalar hingga ke punggungnya, seolah-olah sedang ditusuk-tusuk dengan jarum panas, lalu merambat ke seluruh tubuhnya. Ron memekik kesakitan, namun sayup-sayup tangisannya hanya terdengar oleh dinding-dinding kamarnya yang sunyi.
“Nyonya Alenta sudah berjanji untuk tidak akan pernah membuat kita dalam masalah, entah seberapa besar kesulitan yang akan diberikan oleh pria itu kepada kita.” ucap Karem menjelaskan, berharap itu dapat membuat istrinya merasa tenang dan juga berhenti untuk mengkhawatirkan tentang Aruna dan juga anaknya. Ibunya Aruna menganggukkan kepalanya, dia sendiri juga sudah mendengar janji itu diucapkan secara langsung oleh Alenta sebelum mereka semua berangkat ke luar negeri untuk menjalani kehidupan yang baru. “Yah, kita tidak mungkin akan terus berada di tempat ini, kita tidak akan pernah mungkin terus melarikan diri, bukan?” ujar Ibunya Aruna. Karem menganggukkan kepalanya, jelas apa yang diucapkan oleh istrinya barusan adalah sebuah fakta yang tidak bisa untuk dielak. Mereka tidak akan pernah mungkin menggantungkan kehidupan mereka kepada Alenta seumur hidup, masa lalu tidak boleh menggunakan mereka. Walaupun benar ada sejarah yang terja
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y