Violet menatap Reiner dengan tatapan yang dalam, memancarkan rasa penasaran yang mendalam. “Kenapa kau terus menolak Althea, seorang gadis secantik dan sebaik dia, kenapa kau tidak menginginkannya?” tanya Violet, mencoba mengetahui alasan di balik sikap Reiner.
Reiner menatap Violet, lalu tersenyum tipis. “Karena Althea bukan kau, Violet,” jawabnya dengan jujur. Tatapan mata Reiner yang mengisyaratkan kejujuran itu membuat Violet terdiam. Mendengar jawaban itu pun, Violet merasa tersentuh namun berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya. Dia masih merasa kesal pada Reiner karena sikapnya di masa lalu, namun perubahan yang terjadi pada Reiner belakangan ini membuat hati Violet semakin goyah. “Ada banyak wanita di luar sana yang lebih baik dariku, yang memiliki latar belakang bagus dan sempurna, presdir Reiner. Kenapa kau terus memaksaku untuk bersamamu, bahkan di luaranViolet dan Reiner tengah berada dalam genggaman hasrat yang menggebu-gebu di atas ranjang mereka. Kulit mereka bersentuhan, saling merasakan detak jantung dan nafas yang tersengal-sengal. Kini, Violet tak lagi menundukkan wajahnya dalam rasa malu seperti sebelumnya. Ia menatap mata Reiner dengan penuh kepercayaan, seolah menyerahkan diri sepenuhnya kepada pria yang dicintainya itu. Saat itu, perasaan panas yang membara antara mereka terus bergulir, saling memadu dan menyatu dalam satu irama. Tak ada kata yang terucap, hanya suara desahan dan bisikan lembut yang mengisi ruang. Tangan Violet terjalin erat di belakang leher Reiner, menunjukkan keteguhan hatinya untuk melanjutkan perjalanan ini bersama. Mereka berdua terus berusaha mencapai puncak kebahagiaan yang mereka dambakan, tanpa mengindahkan waktu yang terus berlalu. Dan akhirnya
Reiner tersenyum miring, tatapan matanya jelas terarahkan hanya kepada Violet seseorang. Apa yang diinginkan oleh Violet sebenarnya adalah hal yang lumrah saja. Tapi, entah apa yang ada di dalam kepala wanita itu hingga meminta permintaan yang bahkan tanpa dia mengatakannya, Reiner jelas akan melakukan itu. “Kenapa reaksimu seperti itu?” tanya Violet keheranan. Menatap dengan bingung, Violet masih menunggu bagaimana tanggapan dari Reiner untuk apa yang dia ucapkan sebelumnya. Rainer menegakkan posisi duduknya, menatap violet dengan tatapan yang serius lalu berkata, “Apa kau pikir aku tidak memiliki empati sama sekali? Juga, angan-anganmu yang sampai sejauh itu aku sendiri sudah tidak bisa menyelamatkannya. Masalah perceraian karena masa depan kita sendiri juga tidak tahu, aku akan memakluminya.” Violet masih terus menatap Reiner, tidak terlalu paham apa makna dari ucapan Rein
Aruna duduk dengan cemas di kursi ruang tunggu dokter kandungan. “Duh, tumben lama sekali, ya...” gumam Aruna. Ibunya duduk di sampingnya, sementara ayahnya berdiri, mengecek ponselnya. “Sabar, nak. Mungkin Sebentar lagi,” ujar Ibunya Aruna. Tiba-tiba, nama Aruna dipanggil oleh suster. Ketiganya pun masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter yang ramah dan perhatian menjelaskan satu persatu tentang bagian tubuh janin yang ada di dalam perut Aruna. Dengan lembut, ia menyampaikan bahwa tidak ada kecacatan fisik pada janin dan ukuran serta beratnya juga dalam keadaan normal. Aruna dan orang tuanya menarik napas lega.“Terima kasih, Dokter,” ucap Aruna dengan tulus. Setelah selesai pemeriksaan, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran terdekat.
Ron melangkah gontai menuju kamar hotelnya, hatinya terasa berat saat mengingat senyuman bahagia Aruna bersama James. Aruna, wanita yang pernah menjadi miliknya, kini menemukan kebahagiaan di pelukan pria lain. Ron menghela napas panjang, menyesali setiap kali dia menyakiti Aruna di masa lalu, tanpa pernah menyadari bahwa suatu saat dia akan kehilangan wanita itu untuk selamanya. “Ternyata rasanya seperti ini ya, Aruna?” Ron bergumam seorang diri, bergelut dengan pemikirannya saat ini. Menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, Ron menatap langit-langit kamar hotel dengan pandangan kosong. Pikirannya terus melayang pada Aruna yang kini tengah hamil. Tidak bisa dipungkiri, perasaan tidak rela menyelimuti hatinya. Namun, dia sadar bahwa dia tidak memiliki hak untuk keberatan. Bagaimanapun juga, dia telah melepaskan Aruna dengan perbuatan sendiri. “Aruna, apa secepat itu kau memilih
Aruna berjalan menuju ke kamarnya dengan hati-hati, perutnya semakin membesar sekarang. 5 bulan telah berlalu, kini hanya tinggal menunggu waktu saja bayi yang ada di dalam perut Aruna lahir ke dunia. Malam itu, Aruna benar-benar tidak bisa tidur karena perasaan tidak nyaman yang dia rasakan. Entah mengapa dia begitu gelisah, bahkan juga terus berkeringat dingin. Suhu di kamarnya jelas dalam keadaan yang normal, nyaman juga untuk beristirahat. “Aruna,” panggil Karem, dia menyadari jika Aruna masih belum tidur karena dari tadi mondar-mandir saja. “Masih belum tidur juga?” tanya Karem seraya mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamar Aruna. Tersenyum kepada Karem, Aruna benar-benar tidak ingin membuat Ayahnya itu merasa khawatir. “Belum bisa, Yah. Entahlah...” Aruna mengusap perutnya dengan lembut. “Mungkin karena sudah dekat dengan waktunya untuk melahirkan, aku jadi sedikit gugup, dan juga merasa takut. Aku mungkin ge
Ron memegangi perutnya yang terasa sakit, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya, sementara tubuhnya gemetar tak terkendali. “Akhhhhhh” Ron mengeratkan pegangannya pada perutnya. Dia meringkuk di atas ranjang, mencoba meredakan rasa sakit perut yang terasa seperti disayat-sayat pisau tajam. “Kenapa tiba-tiba perutku sakit seperti ini, sih?!” tanya Ron yang merasai sakit itu semakin terasa. Jelas ini bukan karena keinginan untuk pergi ke toilet, Ron yakin itu bukan masalahnya. Dalam keadaan menderita, Ron mencoba untuk menenangkan diri, namun sakit perutnya semakin menjadi-jadi. Rasa sakit itu menjalar hingga ke punggungnya, seolah-olah sedang ditusuk-tusuk dengan jarum panas, lalu merambat ke seluruh tubuhnya. Ron memekik kesakitan, namun sayup-sayup tangisannya hanya terdengar oleh dinding-dinding kamarnya yang sunyi.
“Nyonya Alenta sudah berjanji untuk tidak akan pernah membuat kita dalam masalah, entah seberapa besar kesulitan yang akan diberikan oleh pria itu kepada kita.” ucap Karem menjelaskan, berharap itu dapat membuat istrinya merasa tenang dan juga berhenti untuk mengkhawatirkan tentang Aruna dan juga anaknya. Ibunya Aruna menganggukkan kepalanya, dia sendiri juga sudah mendengar janji itu diucapkan secara langsung oleh Alenta sebelum mereka semua berangkat ke luar negeri untuk menjalani kehidupan yang baru. “Yah, kita tidak mungkin akan terus berada di tempat ini, kita tidak akan pernah mungkin terus melarikan diri, bukan?” ujar Ibunya Aruna. Karem menganggukkan kepalanya, jelas apa yang diucapkan oleh istrinya barusan adalah sebuah fakta yang tidak bisa untuk dielak. Mereka tidak akan pernah mungkin menggantungkan kehidupan mereka kepada Alenta seumur hidup, masa lalu tidak boleh menggunakan mereka. Walaupun benar ada sejarah yang terja
Violet tersenyum penuh haru, matanya sampai berair melihat foto bayinya Aruna yang dikirimkan oleh Aruna sendiri belum lama ini. “Ya Tuhan... Ternyata ada ya makhluk kecil yang sangat indah seperti ini, dia benar-benar sangat tampan.” ucap Violet pelan. Saat ini, Violet berada di ruang tamu sedangkan Reiner berada di dalam kamarnya. Saat meninggalkan Reiner tadi, pria itu sedang tertidur karena memang ini sudah waktunya untuk tidur. “Kapan ya aku bisa bertemu dengan keponakan ku?” Violet membuang napas, keinginannya itu pasti akan lama terwujud mengingat situasinya sekarang. Violet kembali menatap wajah keponakannya, tersenyum sembari mengusap dengan lembut layar ponselnya. Harapan terbesarnya saat ini adalah kebahagiaan untuk Aruna, untuk anaknya juga, dan kedua or