Reiner tersenyum miring, tatapan matanya jelas terarahkan hanya kepada Violet seseorang.
Apa yang diinginkan oleh Violet sebenarnya adalah hal yang lumrah saja. Tapi, entah apa yang ada di dalam kepala wanita itu hingga meminta permintaan yang bahkan tanpa dia mengatakannya, Reiner jelas akan melakukan itu. “Kenapa reaksimu seperti itu?” tanya Violet keheranan. Menatap dengan bingung, Violet masih menunggu bagaimana tanggapan dari Reiner untuk apa yang dia ucapkan sebelumnya. Rainer menegakkan posisi duduknya, menatap violet dengan tatapan yang serius lalu berkata, “Apa kau pikir aku tidak memiliki empati sama sekali? Juga, angan-anganmu yang sampai sejauh itu aku sendiri sudah tidak bisa menyelamatkannya. Masalah perceraian karena masa depan kita sendiri juga tidak tahu, aku akan memakluminya.” Violet masih terus menatap Reiner, tidak terlalu paham apa makna dari ucapan ReinAruna duduk dengan cemas di kursi ruang tunggu dokter kandungan. “Duh, tumben lama sekali, ya...” gumam Aruna. Ibunya duduk di sampingnya, sementara ayahnya berdiri, mengecek ponselnya. “Sabar, nak. Mungkin Sebentar lagi,” ujar Ibunya Aruna. Tiba-tiba, nama Aruna dipanggil oleh suster. Ketiganya pun masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter yang ramah dan perhatian menjelaskan satu persatu tentang bagian tubuh janin yang ada di dalam perut Aruna. Dengan lembut, ia menyampaikan bahwa tidak ada kecacatan fisik pada janin dan ukuran serta beratnya juga dalam keadaan normal. Aruna dan orang tuanya menarik napas lega.“Terima kasih, Dokter,” ucap Aruna dengan tulus. Setelah selesai pemeriksaan, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran terdekat.
Ron melangkah gontai menuju kamar hotelnya, hatinya terasa berat saat mengingat senyuman bahagia Aruna bersama James. Aruna, wanita yang pernah menjadi miliknya, kini menemukan kebahagiaan di pelukan pria lain. Ron menghela napas panjang, menyesali setiap kali dia menyakiti Aruna di masa lalu, tanpa pernah menyadari bahwa suatu saat dia akan kehilangan wanita itu untuk selamanya. “Ternyata rasanya seperti ini ya, Aruna?” Ron bergumam seorang diri, bergelut dengan pemikirannya saat ini. Menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, Ron menatap langit-langit kamar hotel dengan pandangan kosong. Pikirannya terus melayang pada Aruna yang kini tengah hamil. Tidak bisa dipungkiri, perasaan tidak rela menyelimuti hatinya. Namun, dia sadar bahwa dia tidak memiliki hak untuk keberatan. Bagaimanapun juga, dia telah melepaskan Aruna dengan perbuatan sendiri. “Aruna, apa secepat itu kau memilih
Aruna berjalan menuju ke kamarnya dengan hati-hati, perutnya semakin membesar sekarang. 5 bulan telah berlalu, kini hanya tinggal menunggu waktu saja bayi yang ada di dalam perut Aruna lahir ke dunia. Malam itu, Aruna benar-benar tidak bisa tidur karena perasaan tidak nyaman yang dia rasakan. Entah mengapa dia begitu gelisah, bahkan juga terus berkeringat dingin. Suhu di kamarnya jelas dalam keadaan yang normal, nyaman juga untuk beristirahat. “Aruna,” panggil Karem, dia menyadari jika Aruna masih belum tidur karena dari tadi mondar-mandir saja. “Masih belum tidur juga?” tanya Karem seraya mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamar Aruna. Tersenyum kepada Karem, Aruna benar-benar tidak ingin membuat Ayahnya itu merasa khawatir. “Belum bisa, Yah. Entahlah...” Aruna mengusap perutnya dengan lembut. “Mungkin karena sudah dekat dengan waktunya untuk melahirkan, aku jadi sedikit gugup, dan juga merasa takut. Aku mungkin ge
Ron memegangi perutnya yang terasa sakit, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya, sementara tubuhnya gemetar tak terkendali. “Akhhhhhh” Ron mengeratkan pegangannya pada perutnya. Dia meringkuk di atas ranjang, mencoba meredakan rasa sakit perut yang terasa seperti disayat-sayat pisau tajam. “Kenapa tiba-tiba perutku sakit seperti ini, sih?!” tanya Ron yang merasai sakit itu semakin terasa. Jelas ini bukan karena keinginan untuk pergi ke toilet, Ron yakin itu bukan masalahnya. Dalam keadaan menderita, Ron mencoba untuk menenangkan diri, namun sakit perutnya semakin menjadi-jadi. Rasa sakit itu menjalar hingga ke punggungnya, seolah-olah sedang ditusuk-tusuk dengan jarum panas, lalu merambat ke seluruh tubuhnya. Ron memekik kesakitan, namun sayup-sayup tangisannya hanya terdengar oleh dinding-dinding kamarnya yang sunyi.
“Nyonya Alenta sudah berjanji untuk tidak akan pernah membuat kita dalam masalah, entah seberapa besar kesulitan yang akan diberikan oleh pria itu kepada kita.” ucap Karem menjelaskan, berharap itu dapat membuat istrinya merasa tenang dan juga berhenti untuk mengkhawatirkan tentang Aruna dan juga anaknya. Ibunya Aruna menganggukkan kepalanya, dia sendiri juga sudah mendengar janji itu diucapkan secara langsung oleh Alenta sebelum mereka semua berangkat ke luar negeri untuk menjalani kehidupan yang baru. “Yah, kita tidak mungkin akan terus berada di tempat ini, kita tidak akan pernah mungkin terus melarikan diri, bukan?” ujar Ibunya Aruna. Karem menganggukkan kepalanya, jelas apa yang diucapkan oleh istrinya barusan adalah sebuah fakta yang tidak bisa untuk dielak. Mereka tidak akan pernah mungkin menggantungkan kehidupan mereka kepada Alenta seumur hidup, masa lalu tidak boleh menggunakan mereka. Walaupun benar ada sejarah yang terja
Violet tersenyum penuh haru, matanya sampai berair melihat foto bayinya Aruna yang dikirimkan oleh Aruna sendiri belum lama ini. “Ya Tuhan... Ternyata ada ya makhluk kecil yang sangat indah seperti ini, dia benar-benar sangat tampan.” ucap Violet pelan. Saat ini, Violet berada di ruang tamu sedangkan Reiner berada di dalam kamarnya. Saat meninggalkan Reiner tadi, pria itu sedang tertidur karena memang ini sudah waktunya untuk tidur. “Kapan ya aku bisa bertemu dengan keponakan ku?” Violet membuang napas, keinginannya itu pasti akan lama terwujud mengingat situasinya sekarang. Violet kembali menatap wajah keponakannya, tersenyum sembari mengusap dengan lembut layar ponselnya. Harapan terbesarnya saat ini adalah kebahagiaan untuk Aruna, untuk anaknya juga, dan kedua or
“Kenapa hal semacam ini pun kau mencoba untuk merahasiakan, membuatku berpikir macam-macam, dan menuduhmu melakukan hal buruk?” tanya Reiner, menatap Violet dengan tatapan menuntut untuk jawaban. Violet membuang nafasnya, merasa begitu kesal namun juga merasa kecewa karena Reiner sudah mengetahuinya apa yang seharusnya tidak diketahui. “Kenapa kau masih menanyakan hal itu?” tanya Violet, mencoba untuk menghindari pertanyaan yang sulit baginya untuk memberikan jawaban. Reiner mengusap wajahnya dengan kesal, tersenyum dengan ekspresi yang selaras, lalu berjalan untuk bisa lebih dekat dengan Violet. Serius wajah Reiner terlihat saat ini, dia sedang tidak ingin bertele-tele. “Violet, apa yang sedang kau pikirkan terhadapku hingga memilih merahasiakan hal ini?” Violet pun tersenyum kesal lalu menjawab, “Karena aku tidak ingin mele
“Selamat, anda berdua akan menjadi orang tua untuk anak anda yang akan lahir 8 bulan ke depan.” ucap Dokter yang memeriksa Violet. Reiner sontak tersenyum lebar, kehamilan Violet jelas adalah sesuatu yang sangat berharga dan juga menggembirakan untuknya. Bukan bahagia karena ingin memiliki anak, Reiner justru lebih merasa bahagia karena pastinya dia dan juga Violet akan terus terikat berkat kehamilannya. “Bagus, sungguh sangat bagus sekali!” Reiner terlihat benar-benar bahagia. Berbeda dengan Reiner, Violet kini terdiam, dia nampak sangat terkejut. Belum lama dia berhenti meminum pil penunda kehamilan, tidak menyangka kalau secepat itu juga dia akan langsung hamil. Ada yang hilang, setelah lama meminum pil penunda kehamilan, biasanya justru akan lebih sulit untuk memiliki anak, nyatanya itu pun tidak terbukti sama sekali. “Kenapa kau diam