“James, aku benar-benar sangat berterima kasih karena kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu, kau selalu datang bahkan tanpa perlu aku memintanya. Namun, untuk saat ini aku benar-benar masih sangat trauma dengan sebuah hubungan yang melibatkan dua orang.” Aruna tertunduk lesu, tidak tega memberikan penolakan kepada James, tapi dia juga masih trauma dengan hubungan yang dijalaninya bersama dengan Ron.
Benar, dia dan Ron bukanlah sepasang suami istri sampai-sampai bisa disebut dengan trauma hubungan. Hanya saja, lebih tepatnya lagi saat ini Aruna sedang berhati-hati dalam menata kehidupan, terutama tentang hubungan bersama dengan pria. Kedepannya, bukan hanya tentang dirinya lagi, tetapi ada kedua orang tuanya, ada violet yang perlu dilibatkan, dan adanya anak yang akan dia lahirkan nanti. Semua akan menjadi satu kesatuan, tidak bisa ArunSetelah menghubungi Violet namun tidak bisa menemuinya secara langsung, akhirnya Althea pun harus menghadapi Reiner. Benar saja seperti yang Reiner katakan sebelumnya, Violet langsung menghubungi Reiner saat ada salah satu anggota keluarga Samuel yang mencoba untuk berbicara dengan Violet, terutama menemuinya. Tidak ingin membuat Violet terlibat, juga tidak ingin Violet kesulitan sendiri mengingat Violet juga adalah orang yang naif, ini adalah salah satu cara Reiner untuk melindungi wanita yang kini telah menjadi istrinya. “Katakan, apa yang ingin kau bicarakan dengan Violet, hanya aku yang bisa digunakan untuk menjadi telinganya mulai sekarang.” ucap Reiner, wajahnya menunjukkan dengan tegas keseriusannya. Mendengar ucapan Reiner, Althea pun merasa gugup, dan bingung. Namun, dia sudah bertekad untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan, sudah tidak ada lagi jalan untuk diambil mundur. J
“Bagaimana pertemuan mu dengan Althea tadi?” tanya Violet yang merasa penasaran. Reiner yang tengah membuka kancing kemejanya, baru saja pulang dari kantor hanya bisa sejenak mengabaikan pertanyaan itu. Tidak nyaman berbicara dengan keadaan sibuk, dia akan menyelesaikan itu dulu, baru bisa bicara dengan tenang nantinya. “Kenapa kau diam saja?” tanya lagi Violet yang semakin penasaran. “Apa terjadi sesuatu yang buruk di luar kendali?” Reiner menoleh, menatap wajah Violet dengan tatapan kesal. “Apa kau sedang mengkhawatirkan Abigail sekarang, Violet?” Violet menghela nafasnya, tentu dia mencemaskan semua orang yang bersangkutan tentunya. “Apa khawatir juga tidak boleh?” Violet membuang pandangannya. Reiner memasukkan pakaiannya ke k
Pagi itu, suasana di meja makan apartemen mereka terasa begitu tenang. Violet dan Reiner tengah menikmati sarapan yang terdiri dari sandwich yang baru saja Violet buat. Mereka terlihat menikmati sarapan sambil sesekali mengobrol ringan, terutama tentang perkembangan bisnis. Setelah selesai menyantap sarapan, mereka duduk sejenak sambil menikmati secangkir kopi. Reiner lalu mengambil kesempatan untuk mengangkat topik yang sejak lama mengganjal di hatinya. “Violet, mungkin sudah saatnya kita mulai memikirkan soal anak,” ucap Reiner dengan lembut. Pembahasan ini sangat penting, Reiner tahu kalau soal anak itu akan sensitif. Violet terlihat terkejut dan jelas keberatan dengan topik yang dibawa suaminya itu. “Presdir Reiner, kau tahu aku belum siap untuk itu. Bahkan, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak de
Violet terbangun dengan perasaan pusing yang luar biasa, tubuhnya terasa lemas dan nyeri. Rasa panas menjalar dari hidung, bibir, hingga kelopak matanya. Tidak bisa dipungkiri lagi, dia sedang demam. Namun, Violet merasa begitu lelah dan tidak berdaya untuk bangun dari tempat tidur, bahkan untuk mengambil kain basah yang biasa digunakan untuk mengompres dahinya. “Jam 7 malam, bagusnya memang aku tidur saja lagi.” ujar Violet. Dalam keadaan setengah sadar, Violet memutuskan untuk tetap berbaring di tempat tidur, berharap dengan cukup beristirahat, demamnya akan reda dengan sendirinya. Dia menarik selimut tebal dan mencoba menutup matanya kembali, berusaha meredakan rasa pusing yang menyiksa. Sementara itu, Reiner pulang ke apartemen setelah seharian bekerja. Begitu membuka pintu, dia langsung merasakan aura yang berbeda. Suasana apartemen teras
Matahari pagi baru saja menyinari kamar apartemen, memberi tahu bahwa pagi telah berlalu, siang sudah akan tiba. “Jam berapa, sih?” tanya Violet seorang diri. Violet merasa malas untuk bangun, namun ia teringat bahwa Reiner sudah pergi bekerja sekitar satu jam yang lalu. Ponselnya berdering, mengingatkannya bahwa Reiner telah mengirimkan pesan-pesan untuk menjaga diri, banyak istirahat, dan meminum obat. “Orang ini apa sengaja sok perhatian padaku supaya aku sedikit luluh?” gumamnya sebal. Violet menghela napas, merasa tidak ingin berdebat dengan Reiner dan memutuskan untuk bangun dari ranjangnya. Dengan perlahan, Violet mengusap matanya yang masih mengantuk dan berjalan keluar dari kamarnya. Sesampainya di meja dapur, dia terkejut melihat meja yang telah disiapkan dengan penuh makanan lezat. Tampaknya Reiner t
Lelehan air mata mengalir deras dari sepasang mata Violet.Tangannya yang gemetaran mulai terulur ingin meraih kain penutup yang menutupi seseorang yang sudah tak lagi bernyawa. Begitu sampai di rumah sakit, petugas langsung mengantarkan Violet ke kamar mayat, didampingi juga oleh pihak berwajib. Violet terisak-isak sedih, hatinya bergetar hebat karena ketakutan.“Tidak, tidak mungkin Reiner, kan? Tidak, aku mohon...” Pikirannya terus menerka-nerka, apakah benar pria yang sudah tak lagi bernyawa itu adalah Reiner. Kepalanya tak lagi berbentuk karena terlindas ban truk, membuat Violet semakin takut untuk melihat lebih jauh. Begitu membuka penutup itu, hati Violet serasa hancur.“Bukan, pasti bukan Reiner...,” isaknya, tak kuasa menahan rasa sakit yang menyayat hatinya. Wajah pria yang selama ini selalu mengganggu perasaannya, kini tak lagi bisa dilihat. Violet merasa tubuhnya lemas, lututnya gemeta
“Kenapa kau sangat terobsesi untuk memiliki anak, apa kau pikir hamil adalah hal yang mudah?” protes Violet. Mendengar itu, Reiner pun tersenyum. “Tentu saja aku tahu, hamil memang bukan hal yang mudah. Tapi, meski tidak bisa ikut merasakan hamil, aku kan bisa membantumu dengan memenuhi harapanmu saat hamil, kan?” Mendengar ucapan Reiner, Violet pun tersenyum karena dia merasa begitu tertarik. “Jadi, kalau aku bisa hamil, artinya semua yang aku inginkan akan kau penuhi tanpa terkecuali?” Violet ingin memastikan lagi. Reiner dengan seksama memperhatikan cara violet tersenyum, jelas ada begitu banyak maksud terselubung dibalik senyum itu. Pada akhirnya, Reiner seperti bisa mengendus sesuatu yang ada di dalam pikiran Violet. “Jangan pikir saat kau hamil, lalu meminta bercerai atau sesuatu yang menjurus kepada perpisahan, maka itu tidak akan pernah aku kabulkan!” tegasnya.
Violet menatap Reiner dengan tatapan yang dalam, memancarkan rasa penasaran yang mendalam. “Kenapa kau terus menolak Althea, seorang gadis secantik dan sebaik dia, kenapa kau tidak menginginkannya?” tanya Violet, mencoba mengetahui alasan di balik sikap Reiner. Reiner menatap Violet, lalu tersenyum tipis. “Karena Althea bukan kau, Violet,” jawabnya dengan jujur. Tatapan mata Reiner yang mengisyaratkan kejujuran itu membuat Violet terdiam. Mendengar jawaban itu pun, Violet merasa tersentuh namun berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya. Dia masih merasa kesal pada Reiner karena sikapnya di masa lalu, namun perubahan yang terjadi pada Reiner belakangan ini membuat hati Violet semakin goyah. “Ada banyak wanita di luar sana yang lebih baik dariku, yang memiliki latar belakang bagus dan sempurna, presdir Reiner. Kenapa kau terus memaksaku untuk bersamamu, bahkan di luaran